Minggu, 21 Juni 2015

HUKUM_KETENAGAKERJAAN

MAKALAH
HUKUM KETENAGAKERJAAN

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Aspek Hukum Ekonomi
Dosen Pengampu: Ahmad Musadad, S.HI., M.SI.

Disusun oleh  kelompok 10:
Ulfatun Nazilah (120721100096)
Fajar Shodiqi Aprilia (120721100013)
Matliyah (120721100102)
Masjinawati (120721100044)

PRODI EKONOMI SYARIAH 5.A
FAKULTAS ILMU–ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
TAHUN AKADEMIK 2014 

DAFTAR ISI
Daftar Isi
Kata Pengantar
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.    Rumusan Masalah
C.    Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Perlindungan Kerja
B.    Undang-Undang Ketenagakerjaan
C.    Sistem Peradilan Hubungan Internasional
D.    Organisasi Pekerja/Buruh
BAB III PENUTUP
1.     Kesimpulan
2.     Saran
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah SWT. Berkat hidayah, taufik dan inayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini walaupun masih banyak kekurangan.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kejahilan menuju diinul islam wal iman.
Makalah dengan judul “hukum ketenagakerjaan” ini kami tulis selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Aspek hukum ekonomi Lainnya juga untuk memudahkan dan mengenalkan kepada para pembaca tentang koperasi simpan pinjam. Diperoleh melalui kerja kelompok dan bantuan berbagai pihak, baik moral maupun materil. Dan tentunya masih banyak kekurangan, maka kami mengharap kritik dan saran dari para pembaca dan para ahli dalam bidang ini, demi kesempurnaan dan perbaikan bagi tulisan-tulisan kami kedepan. Insya Allah.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca, lebih-lebih kepada mahasiswa yang mengambil mata kuliah Aspek hukum ekonomi. Amin...
Bangkalan, 09 September 2014
                                                                                  Penulis,

BAB I PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Ketika bangsa Indonesia ini mulai ada sudah dikenal adanya system gotong royong, antara anggota masyarakat. dimana gotong royong merupakan suatu system pengerahan tenaga kerja tambahan dari luar kalangan keluarga yang dimaksudkan untuk mengisi kekurangan tenaga, pada masa sibuk dengan tidak mengenal suatu balas jasa dalam bentuk materi sifat gotong royong ini memiliki nilai luhur dan diyakini membawa kemaslahatan karena berintikan kebaikan, kebijakan, dan hikmah bagi semua orang gotong royong ini nantinya menjadi sumber terbentuknya hokum ketanaga kerjaan adat. dimana walaupun peraturannya tidak secara tertulis, namun hokum ketenagakerjaan adat ini merupakan identitas bangsa yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia dan merupakan penjelmaan dari jiwa bangsa Indonesia.
Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja atau buruh. Pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerjadenganmenerimaupahatauimbalandalam bentuk lain.Perjanjian kerja yaitu perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi pekerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak, perjanjian kerja bisa dibuat secara tertulis maka harus dibuat sesuai peraturan perundangan yang berlaku Perjanjian kerja tidak boleh menjajikanpekerjaan yang bertentangan dengan ketertipan umum, kesusilaandan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pekerja haruslah pekerja yang legal yang tidak melanggar norma susila yang berlaku. Apabila pekerja atau buruh melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka selain perjanjian kerja tersebut batal, dan tidak menutup kemungkinan pekerja atau buruh bisa dituntut secara pidana.
B.    RUMUSAN MASALAH
1.     Apa pengertian dan perlindungan tenaga kerja?
2.     Apa Undang-undang ketenagakerjaan?
3.     Apa sistem peradilan hubungan internasional?
4.     Apa saja organisasi buruh/pekerja?
C.    TUJUAN
1.     Untuk mengetahui pengertian dan perlindungan tenaga kerja
2.     Untuk mengetahui  Undang-undang ketenagakerjaan
3.     Untuk mengetahui sistem peradilan hubungan internasional
4.     Untuk mengetahui organisasi buruh/pekerja

BAB II PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN DAN PERLINDUNGAN PEKERJA
1.     Pengertian Tenaga Kerja
Ada banyak definisi tentang tentang tenaga kerja, baik yang disampaikan oleh para ahli maupun oleh para pemerintah yang dituangkan  didalam undang-undang ketenga kerjaan. Beberapa definisi tentang tenaga kerja diantaranya sebagai berikut:
1.     Menurut Undang-undang nomor 13 tahun 2003, tentang ketenaga kerjaan
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di luar hubungan kerja, guna menghasilkan barang atau jasa guna untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Dalam hal ini, tenaga kerja mempunyai peranan sebagai salah satu modal untuk pelaksana pembangunan yang dapat mewujudkan kesejahteraan seluruh masyarakat indonesia, termasuk para tenaga kerja itu sendiri.
Indonesia merupakan slah satu negara yang menganut batasan umur penduduknya yang sudah termasuk kedalam angkatan dunia kerja minimal 15 tahun ke atas tanpa adanya batasan atas, meskipun ada faktanya banyak sekali dijumpai anak-anak dibawah usia 15 tahun sudah berusaha bekerja untuk mencari nafkah demi menghidupi dirinya sendiri maupun keluarganya.
2.     Menurut Sumitro Djojohadikusumo
Tenaga kerja adalah semua orang yang bersedia dan sanggup bekerja, termasuk mereka yang menganggur meskipun bersedia dan sanggup bekerja dan mereka yang menganggur terpaksa akibat tidak ada kesempatan kerja.
Dari definisi diatas tenaga kerja dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tenga kerja adalah keseluruhan warga negara yang sudah mencapai batas minimal usia kerja serta sanggup melakukan kegiatan produksi baik barang maupun jasa, baik ada permintaan dari perusahaan maupun mandiri berwiraswata, baik yang sudah bekerja maupun yang belum bekerja.
2.     Perlindungan Pekerja
Dalam era globalisasi dewasa ini, adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa indonesia sudah mulai merasakan dampaknya .sejak tiga dekade yang lalu gejalanya sudah mulai dirasakan dalam berbagai bidangterutama dalam bidang usaha. Tiga masalah besar bidang ketenagakerjaan saat ini adalah:
1.     Masalah pengangguran
2.     Masalah produktivitas
3.     Masalah law enforcement
Ketiga masalah tersebut mengakibatkan Indonesia tidak dapat betrsaing dan berkompetensi dengan negara-negara lain, secara perlahan-lahan ekonomi Indonesia semakin sulit untuk berkembang.[1]
Menurut Soepomo, perlindungan tenaga kerja dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
1.     Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu bekerja di luar kehendaknya.
2.     Perlindungan sosial, yaitu: perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.
3.     perlindungan teknis, yaitu: perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja.
Berdasarkan objek perlindungan tenaga kerja Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur perlindungan khusus pekerja/buruh perempuan, anak dan penyandang cacat sebagai berikut:
1.     Perlindungan pekerja/buruh Anak
a)     Pengusaha dilarang mempekerjakan anak (Pasal 68), yaitu setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun (Pasal 1 nomor 26).
b)      Ketentuan tersebut dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 tahun sampai 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dari kesehatan fisik, mental dan sosial (Pasal 69 ayat( 1).
c)     Pengusaha yang memperkerjakan anak pada pekerjaan ringan tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1)     Ijin tertulis dari orang tua/wali.
2)     Perjanjian kerja antara orang tua dan pengusaha
3)     Waktu kerja maksimal 3 (tiga) jam
4)      Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah.
5)     Keselamatan dan kesehatan kerja
6)     Adanya hubungan kerja yang jelas
7)      Menerima upah sesuai ketentuan yang berlaku.
d)     Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa (Pasal 72).
e)      Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya (Pasal 73).
f)       Siapapun dilarang mempekerjakan anak pada pekerjaan yang buruk, tercantum dalam Pasal 74 ayat (1). Yang dimaksud pekerjaan terburuk seperti dalam Pasal 74 ayat (2), yaitu:
1)     Segala pekerjaan dalam bentuk pembudakan atau sejenisnya.
2)     Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.
3)     Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, perjudian.
4)     Segala pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.
2.     Perlindungan Pekerja/Buruh Perempuan
Pekerjaan wanita/perempuan di malam hari diatur dalam Pasal 76 UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yaitu sebagai berikut:
a)     Pekerjaan perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 pagi.
b)     Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya, bila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 pagi.
c)     Pengusaha yang mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 pagi wajib:
1.     Memberikan makanan dan minumanbergizi
2.     Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja
d)     Pengusaha yang mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00 pagi wajib menyediakan antar jemput.
e)     Tidak mempekerjakan tenaga kerja melebihi ketentuan Pasal 77 ayat (2) yaitu 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam seminggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam seminggu atau 8 (delapan) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam seminggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam seminggu.
f)      Bila pekerjaan membutuhkan waktu yang lebih lama, maka harus ada persetujuan dari tenaga kerja dan hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam sehari dan 14 (empat belas) jam dalam seminggu, dan karena itu pengusaha wajib membayar upah kerja lembur untuk kelebihan jam kerja tersebut. Hal ini merupakan ketentuan dalam Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2).
g)     Tenaga kerja berhak atas waktu istirahat yang telah diatur dalam Pasal 79 ayat (2) yang meliputi waktu istirahat untuk: Istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja.
h)     Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam seminggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam seminggu.
i)      Cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 (dua belas hari kerja setelah tenaga kerja bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
j)      Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan apabila tenaga kerja telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan tenaga kerja tersebut tidak berhak lagi istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan.
Untuk pekerja wanita, terdapat beberapa hak khusus sesuatu dengan kodrat kewanitaannya, yaitu:
a)     Pekerja wanita yang mengambil cuti haid tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua (Pasal 81 ayat (1)
b)     Pekerja wanita berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan/bidan (Pasal 82 ayat (1)
c)     Pekerja wanita yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan sesuai ketentuan dokter kandungan/bidan (Pasal 82 (2)
d)     Pekerja wanita yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja (Pasal 83)
e)     Pekerja wanita yang mengambil cuti hamil berhak mendapat upah penuh (Pasal 84)
Perlindungan kerja terhadap tenaga kerja/buruh merupakan sesuatu yang mutlak dalam pemborongan pekerjaan, hal ini sesuai dengan KEPMENAKERTRANS No. KEP-101/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/buruh. Setiap pekerjaan yang diperoleh perusahaan dari perusahaan lainnya, maka kedua belah pihak harus membuat perjanjian tertulis yang memuat sekurang-kurangnya:
1.     Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa
2.     Pengesahan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud huruf
Hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa, sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya, untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. (Pasal 4).
B.    UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN
1.     Sejarah Perkembangan
a.     Zaman Hindia –Belanda
Di I ndonesia sejarah perkembangan Undang-Undang tentang buruh /pekerja di mulai pada tahun 1887 ketika pemerintah Hindia-Belanda pertama kali mengeluarkan Ordonasi tentang pengerahan Orang Hindia Belanda untuk melakukan pekerjaan diluar Hindia Belanda (Staatsblad tahun 1887 Nomor 8), kemudian pada tahun 1925 mengeluarkan juga Ordonasi tentang pembatasan Kerja pada Anakdan kerja malam bagi wanita (staatsblad tahun 1925 nomor 647), kemudian pada tahun 1926 mengeluarkan Ordonasi tentang kerja Anak-anak dan orang muda diatas kapal (staatsblad tahun 1926 nomor 87). Selanjutnya, pada tahun 1936 pemerintahmengeluarkan kembali Ordonasi yang mengatur tentang kegiatan-kegiatan mencari calon pekerja (staasblad tahun 1936 Nomor 208)pada tahun 1939 dikeluarkan Ordonasi tentang pemulangan Buruh yang diterima atau dikerahkan dari luar Indonesia (staatsblad tahun 1939 Nomor 545).
Pengaturan dikeluarkan pemerintah Hindia-Belanda untuk memberi perlindungan kepada pekerja/buruh saja, sedangkan yang mengatur hubungan antara majikan dengan pekerja/buruh mauk ke dalam perjanjian (kontrak) yang merupakan bagian dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
b.     Zaman Kemerdekaan
Sejak zaman kemerdekaan, pengaturan mengenai ketenagakerjaan dimulai pada tahun 1949 ketika pemerintah pertama kali menegluarkan Ordonasi tahun 1949 tentang pembatasan kerja pada anak (staatsblad tahun 1949 nomor 8).Pada tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya UU Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya UU Kerja tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia ( Lembaran Negara tahun 1951 Nomor 2) selanjutnya pada tahun 1954 pemerintah mengeluarkan UU Nomer 21 Tahun 1954 tentang perjanjian perburuhan antara serikat buruh dab majikan (Lembaran Negara tahun 1954 Nomor 69, tambahan lembaran Negara Nomor 598a), pada tahun1958 pemerintah mengeluarkan UU Nomor 3 tahun 1958 tentang penempatan  tenaga asing (lembaran Negara tahun 1961 Nomor 207, tambahan lembaran Negara nomor 2270) tahun 1953 pemerintah mengeluarkan UU nomor 7 Pnps tahun 1963 tentng pencegahan pemogokan  dan/atau penutupan (lock out) di perusahaan, jawatan ,dan badan yang vital (lembaran Negara  tahun 1963 nomor 67 ) tahun 1969 pemerintah mengeluarkan UU nomor 14 tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan  pokok  mengenai tenaga kerja (lembaran Negara tahun 1969 nomor 55, tambahan lembaran Negara nomor 2912).
Undang-undang yang dipergunakan sebagai Pedoman dalam Hukum Tenaga Kerja antara lain:[2]
1)     Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
2)     Undang-Undang No. 02 tahun 2004 tentang PPHI
3)     Undang-Undang No. 21 tahun 2003 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan
4)     Undang-Undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri
5)     Undang-Undang No. 1 tahun 2000 tentang Pengesahan ILO CONVENTION NO. 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR THE ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD LABOUR (Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak)
6)     Undang-Undang No. 19 tahun 1999 tentang Pengesahan ILO CONVENTION NO. 105 CONCERNING THE ABOLITION OF FORCED LABOUR (Konvensi ILO mengenai Penghapusan Kerja Paksa)
7)     Undang-Undang No. 03 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
8)     Undang-Undang No. 01 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
Undang-undang yang mengatur buruh dan hubungan di negeri ini merupakan dasar antara perusahaan dan serikat buruh.kelompok undang-undang ini disebut sebagai Perundang-Undangan Kerja.[3]

2.     Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
            Ketika pemerintah mengeluarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, ada beberapa alasan yang menjadi pertimbangan, antara lain:[4]
a.      Bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.     Bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting seba­gai pelaku dan tujuan pembangunan;
c.       Bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan;
d.     Bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesem­patan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha;
e.       Bahwa beberapa undang-undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali;
f.      Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e perlu membentuk Undang-undang tentang Ketenagakerjaan.[5]
Hal-hal pokok dan penting yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 itu antara lain:[6]
1.     Ketentuan umum
2.     Landasan, asas, tujuan
3.     Kesempatan, dan perlakuan yang sama
4.     Perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan
5.     Pelatihan kerja
6.     Penempatan tenaga kerja
7.     Perluasan tenaga kerja
8.     Pengunaan tenaga kerja asing
9.     Hubungan kerja
10.  Perlindungan , pengupahan , dan kesejahteraan
11.  Hubungan industri
12.  Pemutusan hubungan kerja
13.  Pembinaan
14.  Pengawasan
15.  Penyelidikan
16.  Ketentuan pidana dan sanksi administratif
17.  Ketentuan peralihan
18.  Ketentuan penutup
C.    SISTEM PERADILAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
Negara kita sebagai negara hukum, mayoritas permasalahan pun diselesaikan dengan hukum. Manusia tidak ada yang sempurna, yang dapat melakukan segala pekerjaannya dengan mulus. Tentu ada perselisihan dengan berbagai penyebab, dikarenakan manusia adalah makhluk sosial yang pasti membutuhkan orang lain dan pasti pula kemungkinan adanya perselisihan/sengketa.[7] Antara yang satu dengan yang lainnya, sebagai contoh yang memerlukan penyelesaian adalah ketenagakerjaan jika terjadi perselisihan.
Undang-undang yang mengatur buruh dan hubungan buruh di negeri ini merupakan dasar untuk hubungan antara perusahaan dan serikat buruh. Dalam perundang-undangan sudah ada dua pernyataan yang sudah diberlakukan dan mempengaruhi buruh dan majikan. Pertama, disebut sebagai perundang-undangan kerja yaitu mengenai jam kerja, peraturan kesehatan dan keselamatan. Kedua, disebut sebagai undang-undang buruh yaitu mengenai hak-hak dan tanggung jawab dari serikat buruh dan majikan.[8]
Sistem Peradilan Hubungan Industrial (PHI) bisa digambarkan dalam tulisan dibawah ini, yang mencakup 5 hal, yaitu: sejarah perkembangan, penyelesaian perselisihan hubungan industrial, alat bukti penyelesaian perselisihan, putusan sela, dan sanksi administrasi dan ketentuan pidana.[9]
1.     Sejarah Perkembangan
Di Indonesia, Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ini merupakan amanat dari UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasal 136 Ayat 2), yang dimaksud untuk menggantikan UU Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Pemburuhan, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta yang dirasakan kurang dapat menyesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Dahulu jika ada persoalan sengketa antara buruh atau karyawan dengan majikan, diselesaikan melalui Panitia Penyelesaian Perselisihan Pemburuhan daerah hingga Panitia Penyelesaian Perselisihan Pemburuhan Pusat (P4P) dan dibawah pembinaan Departemen Tenaga Kerja, dan sekarang ditangani Peradilan Hubungan Industrial dibawah naungan Mahkamah Agung.
UU PPHI ini telah disahkan DPR RI dalam Rapat Paripurna pada tanggal 16 Desember 2003, dan dinyatakan berlaku sebagai UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang PPHI[10] pada tanggal 14 Januari 2004, telah dimuat dalam Lembaran Berita Negara Nomor 6 Tahun 2004. UU PPHI ini baru berlaku setelah dua tahun diundangkan, yaitu pada tanggal 14 Januari 2006, sedangkan Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1957 dan UU Nomor 12 Tahun 1964 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU PPHI ini.
2.     Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilaksanakan berdasarkan UU PPHI, dimana diatur jenis-jenis perselisihan yang menjadi ruang lingkup, pihak-pihak yang berselisih, dan prosedur penyelesaiannya.
a.     Jenis Perselisihan
Dalam UU PPHI Nomor 2 Tahun 2004 diatur jenis-jenis perselisihan yaitu:[11]
1)     Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan atau penefsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
2)     Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
3)     Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak/pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh dan majikan.[12]
4)     Perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.
b.     Pihak-pihak yang Berselisih
Dalam UU PPHI, phak-pihak yang menjadi subjek perselisihan adalah pekerja/buruh yang bersangkutan atau serikat pekerja/buruh dengan pengusaha. Hal ini mengandung arti bahwa UU PPHI sangat menghargai kebebasan berserikat, dimana setiap pekerja berhak untuk menjadi atau tidak menjadi anggota serikat pekerja, sehingga seorang pekerja yang menggunakan haknya untuk tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh memiliki hak untuk menjadi pihak yang dapat berselisih.
c.      Prosedur Penyelesaian
UU PPHI, menganut penyelesaian diluar pengadilan dan melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Pengaturan tersebut dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pelimpahan perselisihan kepada pengadilan. Oleh karena penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah mengutamakan  penyelesaian win-win solution, yaitu melalui musyawarah atau mufakat. Dengan harapan timbulnya perselisihan hubungan industrial tidak akan mengganggu proses produksi barang maupun jasa diperusahaan.
1)     Penyelesaian Diluar Pengadilan
Perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Penggugat harus melampirkan risalah penyelesaian melalui Mediasi atau Konsiliasi. Apabila gugatan tidak dilampiri risalah tersebut, hakim wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat. (Pasal 83 UU PPHI)
Dari ketentuan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial diluar pengadilan sifatnya adalah wajib.Penyelesaian perselisihan hubungan industrial diluar pengadilan dilakukan melalui lembaga atau mekanisme:[13]
a)     Bipartit, adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
b)     Mediasi, adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, PHK, perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi seorang atau lebih mediator yang netral. Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, PHK, perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
c)     Konsiliasi, adalah penyelesaian hak, perselisihan kepentingan, PHK, perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Konsiliator seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator yang ditetapkan oleh menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, PHK, perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
d)     Arbitrase, adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, diluar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
2)     Penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial
a)     Pengadilan Hubungan Industrial[14]
Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk dilingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memberikan putusan sebagai upaya paksa terhadap pengadilan hubungan industrial. Untuk pertama kali Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada disetiap ibu kota provinsi yang daerah hukumnya meliputi provinsi yang bersangkutan. Sementara untuk kabupaten/kota yang padat industri, dengan keputusan presiden harus segera dibentuk pengadilan negeri setempat.
b)     Penyelesaian Pengadilan Hubungan Industrial
Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja. Pengajuan gugatan dimaksud harus melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada pihak pengugat apabilah gugatan pengugat tidak menampilkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Pengugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatanya sebelum tergugat memberikan jawaban, apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan, pencabutan gugatan akan dikabulkan pengadilan apbilah disetujui tergugat.
Tugas dan wawanang Pengadilan Hubungan Industrial adalah memeriksa dan memutus:
(1)  Tingkat pertama mengenai perselisian hak.
(2)  Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan.
(3)  Tingkat pertama mengenai perselisian pemutusan hubungan kerja.
(4)  Tingkkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antasserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
3)     Penyelesaian Perselisihan melalui Mahkamah Agung
         Putusan Pengadilan Hubungan Industrial mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat lambatnya 14 hari kerja terhitung:
a)     Bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan oleh sidang majelis hakim.
b)     Bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.
3.     Alat Bukti Penyelesaian Perselisihan
Dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan negeri maupun Mahkamah Agung pelaksanaan acara persidangan menggunakan hukum acara perdata, oleh karenanya dalam hal pembuktian tentu menggunakan tata cara hukum perdata.
Pembuktian dapat diperlukan ddari segi substansi perselishan, misalnya pembuktian bahwa pekerja melakukan kesalahan, dan dapat pula pembuktian dari sisi prosedur yaitu bukti-bukti bahwa perselisihan tersebut telah dilakukan perundingan bipartit dan telah dilakukan penyelesaian melalui mediasi, konsiliasi, maupun melalui arbitrase.
4.     Putusan Sela
Dalam UU PPHI dikenal adanya puusan sela, yaitu putusan yang tidak menyangkut pokok perkara. Putusan sela dapat terjadi apabila dalam perselisian tersebut terdapat perseliian lainnya, sehingga perselisihan lainya tersebut harus diberikan putusan sela.
Konflik dapat saja terjadi, apabila terjadi perselisihan pemutusan hubungan kerja yang disebabkan adanya perselisiha hak, dalam pelaksanaanya tentu timbul konflik dal menentukan perselisihan mana yang harus diputuskan terlebih dahulu. Dalam hal ini tentu perselisihan hak harus diputuskan terlebih dahulu, karena tidak ada manfaatnya bila putusan perselisihan hak dijatuhkan sementara perselisihan pemutusan hubungan kerja telah selesai.
5.     Sanksi Administrasi dan Ketentuan Pidana
Dalam UU PPHI ini juga mengatur hal-hal yang berkaitan dengan sanksi admistrasi terhadap midiator, panitera mode, konsiliyator, dan arbiter yang telah lalai, terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, menyalahgunakan jabatan, dan lain-lain. Sedangkan sanksi pidana terhadap barangsiapa yang melanggar ketentuan, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkan satu bulan dan paling lama enam bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,- dan paling banyak Rp 50.000.000,-.
D.    ORGANISASI PEKERJA/ BURUH
1.   Pengertian Organisasi Buruh /Serikat Pekerja
Pekerja dalam melakukan pekerjaannya, harus dilakukan sesuai dengan perjanjian kerjanya. Yang mana perjanjian kerja atau sering disebut sebagai perjanjian untuk melakukan pekerjaan, dan lazim juga digunakan istilah perjanjian perburuhan.[15]
Kemakmuran ekonomi setelah perang dunia 1 dan perundang-undangan yang bersifat melindungi yang memihak serikat buruh selama 1920-an dan 1930-an membawa pertumbuhan yang cepat dalam keanggotan serikat buruh. Suatu dorongan yang besar bagi pertumbuhan serikat adalah bagian dari undang-undang  wagner pada tahun 1935.[16]
Sejarah perkembangan Pembangunan Nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dalam mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, merata baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1954. Dalam menjalankan visi diatas, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu.
Guna mencapai tujuan pembangunan itu diperlukan adanya rencana terpadu dan terukur sesuai dengan misinya. Dibidang peserikatan pekerja (Serikat Pekerja) visi dan misi itu jelas dinyatakan dalam UU No. 13/2003 yang dituangkan dalam pengertian sebagai berikut "Serikat Pekerja adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik diperusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya."Dalam pelaksanaan visi dan misi itu, perlu ditetapkan sarana-sarananya secara jelas dan dapat dilaksanakan secara baik, konsisten, terencana dan terukur.
2.     Peran Organisasi Buruh/Serikat Pekerja
Dalam suatu perusahaan biasanya terdapat organisasi serikat pekerja/organisasi buruh yang dalam pelaksanannya mempunyai peranan yang sangat penting dalam hubungan industrial. Serikat Pekerja dalam memecahkan persoalan menuju suatu kemajuan dan peningkatan yang diharapkan, hendaknya menata dan memperkuat dirinya melalui upaya:
1.   Menciptakan tingkat solidaritas yang tinggi dalam satu kesatuan diantara pekerja dengan pekerja, pekerja dengan Serikat Pekerjanya, pekerja/Serikat Pekerja dengan manajemen
2.   Meyakinkan anggotanya untuk melaksanakan kewajibannya disamping haknya diorganisasi dan diperusahaan, serta pemupukan dana organisasi.
3.   Dana Organisasi dibelanjakan berdasarkan program dan anggaran belanja yang sudah ditetapkan guna kepentingan peningkatan kemampuan dan pengetahuan pengurus untuk bidang pengetahuan terkait dengan keadaan dan kebutuhan ditempat bekerja, termasuk pelaksanaan hubungan industrial.
4.   Sumber Daya Manusia yang baik akan mampu berinteraksi dengan pihak manajemen secara rasional dan obyektif.
Bilamana, paling tidak 4 persyaratan diatas terpenuhi, Organisasi buruh melalui wakilnya akan mampu mencari cara terbaik menyampaikan usulan positif guna kepentingan bersama.
Perlu diyakini bahwa tercapainya Hubungan Industrial yang harmonis, dinamis, berkeadilan dan bermartabat, hanya akan ada ditingkat perusahaan. Karenanya social dialogue yang setara, sehat, terbuka, saling percaya dan dengan visi yang sama guna pertumbuhan perusahaan sangat penting dan memegang peranan menentukan.
3.     UU Serikat Pekerja/Buruh
Dalam UU Nomor 21 Tahun 2000 hal-hal pokok dan penting yang diatur, antara lain:[17]
1.     Ketentuan umum
2.     Asas, sifat, dan tujuan
3.     Pembentukan
4.     Keanggotaan
5.     Pemberitahuan dan pencatatan
6.     Hak dan kewajiban
7.     Perlindungan hak berorganisasi
8.     Keuangan dan harta kekayaan
9.     Penyelesaian perselisihan
10.  Pembubaran
11.  Pengawasan dan penyidikan
12.  Sanksi
13.  Ketentuan-ketentuan lain
14.  Ketentuan peralihan
15.  Ketentuan penutup

BAB III PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1.     Tenaga kerja dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tenga kerja adalah keseluruhan warga negara yang sudah mencapai batas minimal usia kerja serta sanggup melakukan kegiatan produksi baik barang maupun jasa, baik ada permintaan dari perusahaan maupun mandiri berwiraswata, baik yang sudah bekerja maupun yang belum bekerja.
2.     Megenai Undang-undang ketenagakerjaan pemerintah mengeluarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 (Lembaran Negara Tahun 2003 ),dengan berlakunya undang-undang ini seluruh yang berkaitan dengan ketenagakerjaan seperti yang disebutkan tadi di atas  maka diatur berdasarkan Undang-undang tersebut.
3.     Sistem Peradilan Hubungan Industrial (PHI) mencakup 5 hal, yaitu: sejarah perkembangan, penyelesaian perselisihan hubungan industrial, alat bukti penyelesaian perselisihan, putusan sela, dan sanksi administrasi dan ketentuan pidana.
4.     UU No. 13/2003 menyatakan bahwa: "Serikat Pekerja adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik diperusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya." organisasi serikat pekerja/organisasi buruh yang dalam pelaksanannya mempunyai peranan yang sangat penting dalam hubungan industrial. Hal-hal pokok dan penting yang diatur juga UU Nomor 21 Tahun 2000.
B.    SARAN
Penulis menyadari akan kekurangan makalah ini, maka penulis mengharap dengan sangat kritik dan saran dari pembaca untuk kebaikan dan pengembangan makalah ini dengan baik untuk kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA
Bambang, Joni. 2013. Hukum Ketenagakerjaan. Bandung: Pustaka Setia
Husni, Lalu. 2004. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; Melalui Pengadilan & di Luar Pengadilan”. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Husni, Lalu. 2012. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: Rajawali Press
Lubis, Suhrawardi K. 2000. Hukum Ekonomi Islam.  Jakarta: Sinar Grafika
Musselman, Vernon A. dan John H. Jackson. 1996. Pengantar Ekonomi Perusahaan. Jakarta: Erlangga
Saliman, Abdul R. 2008. Hukum Bisnis untuk Perusahaan; Teori dan Contoh Kasus. Jakarta: Kencana
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan




[1] Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan; Teori dan Contoh Kasus”, cet. ke-5 (Jakarta: Kencana, 2008), hlm 268
[3] Vernon A. Musselman dan John H. Jackson, Pengantar Ekonomi Perusahaan”, (Jakarta: Erlangga, 1996), hlm 232
[4] Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan; Teori dan Contoh Kasus”,…hlm 273.
[5] Abdul R. Saliman, “Hukum bisnis untuk perusahaan teori dan contoh kasus”,…hlm 271-274
[6] UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[7] Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hlm 131
[8] Vernon A. Musselman dan John H. Jackson, Pengantar Ekonomi Perusahaan”, …hlm 232
[9] Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan; Teori dan Contoh Kasus”, …hlm 275
[10] Lalu Husni, “Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; Melalui Pengadilan & di Luar Pengadilan”, cet. ke-1 (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm 133-196
[11] Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan”, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm 291, lihat juga di Lalu Husni, “Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; Melalui Pengadilan & di Luar Pengadilan”,…hlm 4, dan di http://hukum-tenagakerja.blogspot.com/2010/04/perselisihan-hubungan-industrial.html?m=1 (diunduh tanggal 07 Desember 2014)
[13] Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan”,hlm 310,  lihat juga Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”,hlm 137, dan Lalu Husni, “Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; Melalui Pengadilan & di Luar Pengadilan”,…hlm 53-79
[14] Ibid.
[15] Suhrawardi K. Lubis, “Hukum Ekonomi Islam”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm 151
[16] Vernon A. Musselman dan John H. Jackson, Pengantar Ekonomi Perusahaan”, …hlm 228
[17] Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan; Teori dan Contoh Kasus”,…hlm 282