MAKALAH
HUKUM
KETENAGAKERJAAN
Makalah ini disusun guna
memenuhi tugas
Mata kuliah: Aspek Hukum
Ekonomi
Dosen Pengampu: Ahmad
Musadad, S.HI., M.SI.
Disusun oleh kelompok 10:
Ulfatun Nazilah
(120721100096)
Fajar Shodiqi Aprilia
(120721100013)
Matliyah (120721100102)
Masjinawati (120721100044)
PRODI EKONOMI SYARIAH 5.A
FAKULTAS ILMU–ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
TAHUN AKADEMIK 2014
DAFTAR
ISI
Daftar
Isi
Kata
Pengantar
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
B. Rumusan
Masalah
C. Tujuan
BAB
II PEMBAHASAN
A. Pengertian
dan Perlindungan Kerja
B. Undang-Undang
Ketenagakerjaan
C. Sistem
Peradilan Hubungan Internasional
D. Organisasi
Pekerja/Buruh
BAB
III PENUTUP
1. Kesimpulan
2. Saran
DAFTAR
PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah SWT. Berkat hidayah, taufik
dan inayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini walaupun masih banyak
kekurangan.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah membawa kita dari alam kejahilan menuju diinul islam wal iman.
Makalah dengan judul “hukum ketenagakerjaan” ini kami tulis selain untuk
memenuhi tugas mata kuliah Aspek hukum ekonomi Lainnya juga untuk memudahkan
dan mengenalkan kepada para pembaca tentang koperasi simpan pinjam. Diperoleh
melalui kerja kelompok dan bantuan berbagai pihak, baik moral maupun materil.
Dan tentunya masih banyak kekurangan, maka kami mengharap kritik dan saran dari
para pembaca dan para ahli dalam bidang ini, demi kesempurnaan dan perbaikan
bagi tulisan-tulisan kami kedepan. Insya Allah.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca, lebih-lebih kepada
mahasiswa yang mengambil mata kuliah Aspek hukum ekonomi. Amin...
Bangkalan,
09 September 2014
Penulis,
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ketika bangsa Indonesia ini mulai ada sudah dikenal adanya
system gotong royong, antara anggota masyarakat. dimana gotong royong merupakan
suatu system pengerahan tenaga kerja tambahan dari luar kalangan keluarga yang
dimaksudkan untuk mengisi kekurangan tenaga, pada masa sibuk dengan tidak
mengenal suatu balas jasa dalam bentuk materi sifat gotong royong ini memiliki nilai luhur dan diyakini
membawa kemaslahatan karena berintikan kebaikan, kebijakan, dan hikmah bagi
semua orang gotong royong ini nantinya menjadi sumber terbentuknya hokum
ketanaga kerjaan adat. dimana walaupun peraturannya tidak secara tertulis,
namun hokum ketenagakerjaan adat ini merupakan identitas bangsa yang
mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia dan merupakan penjelmaan dari jiwa
bangsa Indonesia.
Hubungan
kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh berdasarkan
perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.Hubungan
kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja
atau buruh. Pekerja atau buruh adalah setiap orang yang
bekerjadenganmenerimaupahatauimbalandalam bentuk lain.Perjanjian kerja yaitu
perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi pekerja yang
memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak, perjanjian kerja bisa
dibuat secara tertulis maka harus dibuat sesuai peraturan perundangan yang
berlaku Perjanjian kerja tidak boleh menjajikanpekerjaan yang bertentangan dengan
ketertipan umum, kesusilaandan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pekerja haruslah pekerja yang legal yang tidak melanggar norma susila yang
berlaku. Apabila pekerja atau buruh melakukan pekerjaan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka selain perjanjian kerja
tersebut batal, dan tidak menutup kemungkinan pekerja atau buruh bisa dituntut
secara pidana.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dan
perlindungan tenaga kerja?
2. Apa Undang-undang
ketenagakerjaan?
3. Apa sistem peradilan
hubungan internasional?
4. Apa saja organisasi
buruh/pekerja?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui
pengertian dan perlindungan tenaga kerja
2. Untuk mengetahui Undang-undang ketenagakerjaan
3. Untuk mengetahui
sistem peradilan hubungan internasional
4. Untuk mengetahui
organisasi buruh/pekerja
BAB II PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN DAN PERLINDUNGAN PEKERJA
1.
Pengertian Tenaga Kerja
Ada banyak definisi tentang tentang tenaga kerja, baik yang disampaikan
oleh para ahli maupun oleh para pemerintah yang dituangkan didalam undang-undang ketenga kerjaan.
Beberapa definisi tentang tenaga kerja diantaranya sebagai berikut:
1. Menurut Undang-undang nomor 13 tahun 2003, tentang ketenaga kerjaan
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan baik di luar hubungan kerja, guna menghasilkan barang atau
jasa guna untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Dalam hal ini,
tenaga kerja mempunyai peranan sebagai salah satu modal untuk pelaksana
pembangunan yang dapat mewujudkan kesejahteraan seluruh masyarakat indonesia, termasuk para tenaga kerja itu
sendiri.
Indonesia merupakan slah satu negara yang
menganut batasan umur penduduknya yang sudah termasuk kedalam angkatan dunia
kerja minimal 15 tahun ke atas tanpa adanya batasan atas, meskipun ada faktanya
banyak sekali dijumpai anak-anak dibawah usia 15 tahun sudah berusaha bekerja
untuk mencari nafkah demi menghidupi dirinya sendiri maupun keluarganya.
2. Menurut Sumitro Djojohadikusumo
Tenaga kerja adalah semua orang yang bersedia dan sanggup
bekerja, termasuk mereka yang menganggur meskipun bersedia dan sanggup bekerja dan mereka yang menganggur
terpaksa akibat tidak ada kesempatan kerja.
Dari definisi diatas tenaga kerja dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan tenga kerja adalah keseluruhan warga negara yang sudah mencapai batas
minimal usia kerja serta sanggup melakukan kegiatan produksi baik barang maupun
jasa, baik ada permintaan dari perusahaan maupun mandiri berwiraswata, baik
yang sudah bekerja maupun yang belum bekerja.
2.
Perlindungan Pekerja
Dalam era globalisasi dewasa ini,
adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa indonesia sudah
mulai merasakan dampaknya .sejak tiga dekade yang lalu gejalanya sudah mulai
dirasakan dalam berbagai bidangterutama dalam bidang usaha. Tiga masalah besar
bidang ketenagakerjaan saat ini adalah:
1.
Masalah pengangguran
2.
Masalah produktivitas
3.
Masalah law enforcement
Ketiga masalah tersebut
mengakibatkan Indonesia tidak dapat betrsaing dan berkompetensi dengan negara-negara
lain, secara perlahan-lahan ekonomi Indonesia semakin sulit untuk berkembang.[1]
Menurut Soepomo, perlindungan tenaga
kerja dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
1. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja
dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu
bekerja di luar kehendaknya.
2. Perlindungan sosial, yaitu: perlindungan tenaga kerja
dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan
hak untuk berorganisasi.
3. perlindungan teknis, yaitu: perlindungan
tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja.
Berdasarkan objek perlindungan
tenaga kerja Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur
perlindungan khusus pekerja/buruh perempuan, anak dan penyandang cacat sebagai
berikut:
1.
Perlindungan
pekerja/buruh Anak
a) Pengusaha dilarang mempekerjakan anak (Pasal 68),
yaitu setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun (Pasal 1 nomor
26).
b) Ketentuan tersebut dapat dikecualikan bagi anak
yang berumur antara 13 tahun sampai 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan
sepanjang tidak mengganggu perkembangan dari kesehatan fisik, mental dan sosial
(Pasal 69 ayat( 1).
c) Pengusaha yang memperkerjakan anak pada pekerjaan
ringan tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Ijin tertulis dari orang tua/wali.
2) Perjanjian kerja antara orang tua dan pengusaha
3) Waktu kerja maksimal 3 (tiga) jam
4) Dilakukan pada siang hari dan
tidak mengganggu waktu sekolah.
5) Keselamatan dan kesehatan kerja
6) Adanya hubungan kerja yang jelas
7) Menerima
upah sesuai ketentuan yang berlaku.
d) Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama pekerja/buruh
dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh
dewasa (Pasal 72).
e) Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat
kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya (Pasal 73).
f) Siapapun
dilarang mempekerjakan anak pada pekerjaan yang buruk, tercantum dalam Pasal 74
ayat (1). Yang dimaksud pekerjaan terburuk seperti dalam Pasal 74 ayat (2), yaitu:
1) Segala pekerjaan dalam bentuk pembudakan atau
sejenisnya.
2) Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau
melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.
3) Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau
menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno,
perjudian.
4) Segala pekerjaan yang membahayakan kesehatan,
keselamatan atau moral anak.
2.
Perlindungan
Pekerja/Buruh Perempuan
Pekerjaan wanita/perempuan di
malam hari diatur dalam Pasal 76 UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
yaitu sebagai berikut:
a) Pekerjaan perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun dilarang
dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 pagi.
b) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja perempuan
hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan
kandungannya maupun dirinya, bila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan
pukul 07.00 pagi.
c) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja perempuan antara
pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 pagi wajib:
1. Memberikan makanan dan minumanbergizi
2. Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja
d) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja perempuan antara
pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00 pagi wajib menyediakan antar jemput.
e) Tidak mempekerjakan tenaga kerja melebihi ketentuan
Pasal 77 ayat (2) yaitu 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam seminggu
untuk 6 (enam) hari kerja dalam seminggu atau 8 (delapan) jam sehari dan 40
(empat puluh) jam seminggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam seminggu.
f) Bila pekerjaan membutuhkan waktu yang lebih lama, maka
harus ada persetujuan dari tenaga kerja dan hanya dapat dilakukan paling banyak
3 (tiga) jam dalam sehari dan 14 (empat belas) jam dalam seminggu, dan karena
itu pengusaha wajib membayar upah kerja lembur untuk kelebihan jam kerja
tersebut. Hal ini merupakan ketentuan dalam Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2).
g) Tenaga kerja berhak atas waktu istirahat yang telah
diatur dalam Pasal 79 ayat (2) yang meliputi waktu istirahat untuk: Istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya
setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu
istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja.
h) Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari
kerja dalam seminggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam
seminggu.
i) Cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 (dua belas hari
kerja setelah tenaga kerja bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus
menerus.
j) Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan
apabila tenaga kerja telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus menerus
pada perusahaan yang sama dengan ketentuan tenaga kerja tersebut tidak berhak
lagi istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan.
Untuk pekerja wanita,
terdapat beberapa hak khusus sesuatu dengan kodrat kewanitaannya, yaitu:
a) Pekerja wanita yang mengambil cuti haid tidak wajib
bekerja pada hari pertama dan kedua (Pasal 81 ayat (1)
b) Pekerja wanita berhak memperoleh istirahat selama 1,5
bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut
perhitungan dokter kandungan/bidan (Pasal 82 ayat (1)
c) Pekerja wanita yang mengalami keguguran kandungan
berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan sesuai ketentuan dokter kandungan/bidan
(Pasal 82 (2)
d) Pekerja wanita yang anaknya masih menyusui harus
diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus
dilakukan selama waktu kerja (Pasal 83)
e) Pekerja wanita yang mengambil cuti hamil berhak
mendapat upah penuh (Pasal 84)
Perlindungan kerja terhadap
tenaga kerja/buruh merupakan sesuatu yang mutlak dalam pemborongan pekerjaan,
hal ini sesuai dengan KEPMENAKERTRANS No. KEP-101/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara
Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/buruh. Setiap pekerjaan yang
diperoleh perusahaan dari perusahaan lainnya, maka kedua belah pihak harus
membuat perjanjian tertulis yang memuat sekurang-kurangnya:
1. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh
dari perusahaan penyedia jasa
2. Pengesahan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan
sebagaimana dimaksud huruf
Hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan
penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa,
sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh sebelumnya, untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus menerus ada di
perusahaan pemberi kerja dalam terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh. (Pasal 4).
B. UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN
1.
Sejarah Perkembangan
a. Zaman
Hindia –Belanda
Di I ndonesia sejarah perkembangan Undang-Undang tentang buruh /pekerja
di mulai pada tahun 1887 ketika pemerintah Hindia-Belanda pertama kali
mengeluarkan Ordonasi tentang pengerahan Orang Hindia Belanda untuk melakukan
pekerjaan diluar Hindia Belanda (Staatsblad
tahun 1887 Nomor 8), kemudian
pada tahun 1925 mengeluarkan juga Ordonasi tentang pembatasan Kerja pada Anakdan
kerja malam bagi wanita (staatsblad tahun 1925 nomor 647), kemudian pada tahun 1926 mengeluarkan Ordonasi tentang kerja Anak-anak
dan orang muda diatas kapal (staatsblad tahun 1926 nomor 87). Selanjutnya, pada tahun 1936
pemerintahmengeluarkan kembali Ordonasi yang mengatur tentang kegiatan-kegiatan
mencari calon pekerja (staasblad tahun 1936 Nomor 208)pada tahun 1939
dikeluarkan Ordonasi tentang pemulangan Buruh yang diterima atau dikerahkan
dari luar Indonesia (staatsblad tahun 1939 Nomor 545).
Pengaturan dikeluarkan pemerintah
Hindia-Belanda untuk memberi perlindungan kepada pekerja/buruh saja, sedangkan
yang mengatur hubungan antara majikan dengan pekerja/buruh mauk ke dalam
perjanjian (kontrak) yang merupakan bagian dari Kitab Undang-undang Hukum
Perdata.
b.
Zaman Kemerdekaan
Sejak zaman kemerdekaan, pengaturan
mengenai ketenagakerjaan dimulai pada tahun 1949 ketika pemerintah pertama kali
menegluarkan Ordonasi tahun 1949 tentang pembatasan kerja pada anak (staatsblad
tahun 1949 nomor 8).Pada tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya UU Nomor 12
dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951
tentang pernyataan berlakunya UU Kerja tahun 1948 Nomor 12 dari Republik
Indonesia untuk seluruh Indonesia ( Lembaran Negara tahun 1951 Nomor 2)
selanjutnya pada tahun 1954 pemerintah mengeluarkan UU Nomer 21 Tahun 1954 tentang
perjanjian perburuhan antara serikat buruh dab majikan (Lembaran Negara tahun
1954 Nomor 69, tambahan lembaran Negara Nomor 598a), pada tahun1958 pemerintah
mengeluarkan UU Nomor 3 tahun 1958 tentang penempatan tenaga asing (lembaran Negara tahun 1961
Nomor 207, tambahan lembaran Negara nomor 2270) tahun 1953 pemerintah
mengeluarkan UU nomor 7 Pnps tahun 1963 tentng pencegahan pemogokan dan/atau penutupan (lock out) di perusahaan,
jawatan ,dan badan yang vital (lembaran Negara
tahun 1963 nomor 67 ) tahun 1969 pemerintah mengeluarkan UU nomor 14
tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan
pokok mengenai tenaga kerja
(lembaran Negara tahun 1969 nomor 55, tambahan lembaran Negara nomor 2912).
Undang-undang yang
dipergunakan sebagai Pedoman dalam Hukum Tenaga Kerja antara lain:[2]
1) Undang-Undang No. 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
2) Undang-Undang No. 02
tahun 2004 tentang PPHI
3) Undang-Undang No. 21
tahun 2003 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan
4) Undang-Undang No. 39 tahun
2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri
5) Undang-Undang No. 1
tahun 2000 tentang Pengesahan ILO CONVENTION NO. 182 CONCERNING THE PROHIBITION
AND IMMEDIATE ACTION FOR THE ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD LABOUR
(Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan
Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak)
6) Undang-Undang No. 19
tahun 1999 tentang Pengesahan ILO CONVENTION NO. 105 CONCERNING THE ABOLITION
OF FORCED LABOUR (Konvensi ILO mengenai Penghapusan Kerja Paksa)
7) Undang-Undang No. 03
tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
8) Undang-Undang No. 01
tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
Undang-undang yang mengatur buruh
dan hubungan di negeri ini merupakan dasar antara perusahaan dan serikat
buruh.kelompok undang-undang ini disebut sebagai Perundang-Undangan Kerja.[3]
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Ketika
pemerintah mengeluarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, ada beberapa alasan yang
menjadi pertimbangan, antara lain:[4]
a.
Bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil
maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b.
Bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai
peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan
pembangunan;
c.
Bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan
tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan
kualitas tenaga kerja dan peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan
perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan;
d.
Bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin
hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan
tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan
dunia usaha;
e.
Bahwa beberapa undang-undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah
tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan,
oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali;
f.
Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, c,
d, dan e perlu membentuk Undang-undang tentang Ketenagakerjaan.[5]
Hal-hal pokok dan penting yang
diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 itu antara lain:[6]
1. Ketentuan umum
2. Landasan, asas,
tujuan
3. Kesempatan, dan
perlakuan yang sama
4. Perencanaan tenaga
kerja dan informasi ketenagakerjaan
5. Pelatihan kerja
6. Penempatan tenaga
kerja
7. Perluasan tenaga
kerja
8. Pengunaan tenaga
kerja asing
9. Hubungan kerja
10. Perlindungan ,
pengupahan , dan kesejahteraan
11. Hubungan industri
12. Pemutusan hubungan
kerja
13. Pembinaan
14. Pengawasan
15. Penyelidikan
16. Ketentuan pidana dan
sanksi administratif
17. Ketentuan peralihan
18. Ketentuan penutup
C. SISTEM PERADILAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
Negara kita sebagai negara hukum, mayoritas permasalahan pun diselesaikan
dengan hukum. Manusia tidak ada yang sempurna, yang dapat melakukan segala
pekerjaannya dengan mulus. Tentu ada perselisihan dengan berbagai penyebab,
dikarenakan manusia adalah makhluk sosial yang pasti membutuhkan orang lain dan
pasti pula kemungkinan adanya perselisihan/sengketa.[7] Antara yang satu dengan
yang lainnya, sebagai contoh yang memerlukan penyelesaian adalah
ketenagakerjaan jika terjadi perselisihan.
Undang-undang yang mengatur buruh dan hubungan buruh di negeri ini
merupakan dasar untuk hubungan antara perusahaan dan serikat buruh. Dalam
perundang-undangan sudah ada dua pernyataan yang sudah diberlakukan dan
mempengaruhi buruh dan majikan. Pertama,
disebut sebagai perundang-undangan kerja yaitu mengenai jam kerja, peraturan
kesehatan dan keselamatan. Kedua,
disebut sebagai undang-undang buruh yaitu mengenai hak-hak dan tanggung jawab
dari serikat buruh dan majikan.[8]
Sistem Peradilan Hubungan Industrial (PHI) bisa digambarkan dalam tulisan
dibawah ini, yang mencakup 5 hal, yaitu: sejarah perkembangan, penyelesaian
perselisihan hubungan industrial, alat bukti penyelesaian perselisihan, putusan
sela, dan sanksi administrasi dan ketentuan pidana.[9]
1.
Sejarah Perkembangan
Di Indonesia, Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
ini merupakan amanat dari UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasal
136 Ayat 2), yang dimaksud untuk menggantikan UU Nomor 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Pemburuhan, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964
tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta yang dirasakan kurang
dapat menyesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Dahulu jika ada
persoalan sengketa antara buruh atau karyawan dengan majikan, diselesaikan
melalui Panitia Penyelesaian Perselisihan Pemburuhan daerah hingga Panitia
Penyelesaian Perselisihan Pemburuhan Pusat (P4P) dan dibawah pembinaan
Departemen Tenaga Kerja, dan sekarang ditangani Peradilan Hubungan Industrial
dibawah naungan Mahkamah Agung.
UU PPHI ini telah disahkan DPR RI dalam Rapat Paripurna pada tanggal 16
Desember 2003, dan dinyatakan berlaku sebagai UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang
PPHI[10] pada tanggal 14 Januari
2004, telah dimuat dalam Lembaran Berita Negara Nomor 6 Tahun 2004. UU PPHI ini
baru berlaku setelah dua tahun diundangkan, yaitu pada tanggal 14 Januari 2006,
sedangkan Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1957 dan UU Nomor 12 Tahun
1964 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU PPHI ini.
2.
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilaksanakan berdasarkan UU
PPHI, dimana diatur jenis-jenis perselisihan yang menjadi ruang lingkup,
pihak-pihak yang berselisih, dan prosedur penyelesaiannya.
a.
Jenis Perselisihan
Dalam UU PPHI Nomor 2 Tahun 2004 diatur jenis-jenis perselisihan yaitu:[11]
1) Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat
adanya perbedaan atau penefsiran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama.
2) Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
3) Perselisihan pemutusan
hubungan kerja adalah perselisihan yang
timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan
kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak/pengakhiran hubungan kerja karena
suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
buruh dan majikan.[12]
4) Perselisihan
antarserikat pekerja/serikat buruh adalah
perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu
perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan,
pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.
b.
Pihak-pihak yang Berselisih
Dalam UU PPHI, phak-pihak yang
menjadi subjek perselisihan adalah pekerja/buruh yang bersangkutan atau serikat
pekerja/buruh dengan pengusaha. Hal ini mengandung arti bahwa UU PPHI sangat menghargai
kebebasan berserikat, dimana setiap pekerja berhak untuk menjadi atau tidak
menjadi anggota serikat pekerja, sehingga seorang pekerja yang menggunakan
haknya untuk tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh memiliki hak
untuk menjadi pihak yang dapat berselisih.
c.
Prosedur Penyelesaian
UU PPHI, menganut penyelesaian
diluar pengadilan dan melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Pengaturan
tersebut dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pelimpahan perselisihan kepada
pengadilan. Oleh karena penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah
mengutamakan penyelesaian win-win solution, yaitu melalui
musyawarah atau mufakat. Dengan harapan timbulnya perselisihan hubungan
industrial tidak akan mengganggu proses produksi barang maupun jasa diperusahaan.
1)
Penyelesaian Diluar Pengadilan
Perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
Penggugat harus melampirkan risalah penyelesaian melalui Mediasi atau
Konsiliasi. Apabila gugatan tidak dilampiri risalah tersebut, hakim wajib
mengembalikan gugatan kepada penggugat. (Pasal 83 UU PPHI)
Dari ketentuan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian
perselisihan hubungan industrial diluar pengadilan sifatnya adalah wajib.Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial diluar pengadilan dilakukan melalui lembaga
atau mekanisme:[13]
a) Bipartit, adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat
buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
b) Mediasi, adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, PHK,
perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi seorang atau lebih mediator yang netral. Mediator
adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan
oleh menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan
perselisihan hak, perselisihan kepentingan, PHK, perselisihan antarserikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
c) Konsiliasi, adalah penyelesaian hak, perselisihan kepentingan, PHK, perselisihan
antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan melalui musyawarah
yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Konsiliator
seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator yang
ditetapkan oleh menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, PHK, perselisihan
antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
d) Arbitrase, adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan
antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, diluar
Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak
yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang
putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Arbiter adalah seorang atau
lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang
ditetapkan oleh menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan
kepentingan dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam
satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang
putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
2)
Penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial
a) Pengadilan Hubungan Industrial[14]
Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk
dilingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan
memberikan putusan sebagai upaya paksa terhadap pengadilan hubungan industrial.
Untuk pertama kali Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri
Kabupaten/Kota yang berada disetiap ibu kota provinsi yang daerah hukumnya
meliputi provinsi yang bersangkutan. Sementara untuk kabupaten/kota yang padat
industri, dengan keputusan presiden harus segera dibentuk pengadilan negeri
setempat.
b) Penyelesaian Pengadilan Hubungan Industrial
Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan
Hubungan Industrial pada pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
pekerja/buruh bekerja. Pengajuan gugatan dimaksud harus melampirkan risalah
penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Hakim Pengadilan Hubungan
Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada pihak pengugat apabilah gugatan
pengugat tidak menampilkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau
konsiliasi. Pengugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatanya sebelum tergugat
memberikan jawaban, apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan,
pencabutan gugatan akan dikabulkan pengadilan apbilah disetujui tergugat.
Tugas dan wawanang Pengadilan Hubungan Industrial adalah memeriksa dan
memutus:
(1) Tingkat pertama mengenai perselisian hak.
(2) Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan.
(3) Tingkat pertama mengenai perselisian pemutusan hubungan kerja.
(4) Tingkkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antasserikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
3)
Penyelesaian Perselisihan melalui Mahkamah Agung
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial
mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai
kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah
Agung dalam waktu selambat lambatnya 14 hari kerja terhitung:
a) Bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan oleh sidang
majelis hakim.
b) Bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima
pemberitahuan putusan.
3.
Alat Bukti Penyelesaian Perselisihan
Dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan
Hubungan Industrial pada pengadilan negeri maupun Mahkamah Agung pelaksanaan
acara persidangan menggunakan hukum acara perdata, oleh karenanya dalam hal
pembuktian tentu menggunakan tata cara hukum perdata.
Pembuktian dapat diperlukan ddari segi substansi perselishan, misalnya
pembuktian bahwa pekerja melakukan kesalahan, dan dapat pula pembuktian dari
sisi prosedur yaitu bukti-bukti bahwa perselisihan tersebut telah dilakukan
perundingan bipartit dan telah dilakukan penyelesaian melalui mediasi,
konsiliasi, maupun melalui arbitrase.
4.
Putusan Sela
Dalam UU PPHI dikenal adanya puusan sela, yaitu putusan yang tidak
menyangkut pokok perkara. Putusan sela dapat terjadi apabila dalam perselisian
tersebut terdapat perseliian lainnya, sehingga perselisihan lainya tersebut
harus diberikan putusan sela.
Konflik dapat saja terjadi, apabila terjadi perselisihan pemutusan
hubungan kerja yang disebabkan adanya perselisiha hak, dalam pelaksanaanya
tentu timbul konflik dal menentukan perselisihan mana yang harus diputuskan
terlebih dahulu. Dalam hal ini tentu perselisihan hak harus diputuskan terlebih
dahulu, karena tidak ada manfaatnya bila putusan perselisihan hak dijatuhkan
sementara perselisihan pemutusan hubungan kerja telah selesai.
5.
Sanksi Administrasi dan Ketentuan Pidana
Dalam UU PPHI ini juga mengatur hal-hal yang berkaitan dengan sanksi
admistrasi terhadap midiator, panitera mode, konsiliyator, dan arbiter yang
telah lalai, terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, menyalahgunakan
jabatan, dan lain-lain. Sedangkan sanksi pidana terhadap barangsiapa yang
melanggar ketentuan, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkan satu bulan
dan paling lama enam bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,- dan
paling banyak Rp 50.000.000,-.
D. ORGANISASI PEKERJA/ BURUH
1.
Pengertian Organisasi Buruh /Serikat Pekerja
Pekerja dalam melakukan pekerjaannya,
harus dilakukan sesuai dengan perjanjian kerjanya. Yang mana perjanjian kerja
atau sering disebut sebagai perjanjian untuk melakukan pekerjaan, dan lazim
juga digunakan istilah perjanjian perburuhan.[15]
Kemakmuran ekonomi setelah perang
dunia 1 dan perundang-undangan yang bersifat melindungi yang memihak serikat
buruh selama 1920-an dan 1930-an membawa pertumbuhan yang cepat dalam
keanggotan serikat buruh. Suatu dorongan yang besar bagi pertumbuhan serikat
adalah bagian dari undang-undang wagner
pada tahun 1935.[16]
Sejarah perkembangan Pembangunan Nasional dilaksanakan dalam
rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dalam mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, merata
baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1954. Dalam menjalankan visi diatas, tenaga kerja mempunyai peranan dan
kedudukan yang sangat penting sebagai salah satu komponen pelaku untuk mencapai
tujuan pembangunan itu.
Guna mencapai tujuan pembangunan itu diperlukan adanya rencana terpadu
dan terukur sesuai dengan misinya. Dibidang peserikatan pekerja (Serikat
Pekerja) visi dan misi itu jelas dinyatakan dalam UU No. 13/2003 yang
dituangkan dalam pengertian sebagai berikut "Serikat Pekerja adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik diperusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya."Dalam pelaksanaan visi dan
misi itu, perlu ditetapkan sarana-sarananya secara jelas dan dapat dilaksanakan
secara baik, konsisten, terencana dan terukur.
2.
Peran Organisasi Buruh/Serikat Pekerja
Dalam suatu perusahaan biasanya terdapat organisasi serikat
pekerja/organisasi buruh yang dalam pelaksanannya mempunyai peranan yang sangat
penting dalam hubungan industrial. Serikat Pekerja dalam memecahkan persoalan
menuju suatu kemajuan dan peningkatan yang diharapkan, hendaknya menata dan
memperkuat dirinya melalui upaya:
1.
Menciptakan
tingkat solidaritas yang tinggi dalam satu kesatuan diantara pekerja dengan
pekerja, pekerja dengan Serikat Pekerjanya, pekerja/Serikat Pekerja dengan
manajemen
2.
Meyakinkan
anggotanya untuk melaksanakan kewajibannya disamping haknya diorganisasi dan
diperusahaan, serta pemupukan dana organisasi.
3.
Dana
Organisasi dibelanjakan berdasarkan program dan anggaran belanja yang sudah
ditetapkan guna kepentingan peningkatan kemampuan dan pengetahuan pengurus
untuk bidang pengetahuan terkait dengan keadaan dan kebutuhan ditempat bekerja,
termasuk pelaksanaan hubungan industrial.
4.
Sumber
Daya Manusia yang baik akan mampu berinteraksi dengan pihak manajemen secara
rasional dan obyektif.
Bilamana, paling tidak 4 persyaratan diatas terpenuhi, Organisasi buruh
melalui wakilnya akan mampu mencari cara terbaik menyampaikan usulan positif
guna kepentingan bersama.
Perlu diyakini bahwa tercapainya Hubungan Industrial yang harmonis,
dinamis, berkeadilan dan bermartabat, hanya akan ada ditingkat perusahaan.
Karenanya social dialogue yang setara, sehat, terbuka, saling percaya dan
dengan visi yang sama guna pertumbuhan perusahaan sangat penting dan memegang
peranan menentukan.
3.
UU Serikat
Pekerja/Buruh
Dalam UU Nomor 21 Tahun 2000
hal-hal pokok dan penting yang diatur, antara lain:[17]
1. Ketentuan umum
2. Asas, sifat, dan
tujuan
3. Pembentukan
4. Keanggotaan
5. Pemberitahuan dan
pencatatan
6. Hak dan kewajiban
7. Perlindungan hak
berorganisasi
8. Keuangan dan harta
kekayaan
9. Penyelesaian
perselisihan
10. Pembubaran
11. Pengawasan dan
penyidikan
12. Sanksi
13. Ketentuan-ketentuan
lain
14. Ketentuan peralihan
15. Ketentuan penutup
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Tenaga kerja dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan tenga kerja adalah keseluruhan warga negara yang sudah mencapai
batas minimal usia kerja serta sanggup melakukan kegiatan produksi baik barang
maupun jasa, baik ada permintaan dari perusahaan maupun mandiri berwiraswata,
baik yang sudah bekerja maupun yang belum bekerja.
2. Megenai Undang-undang
ketenagakerjaan pemerintah mengeluarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 (Lembaran Negara
Tahun 2003 ),dengan berlakunya undang-undang ini seluruh yang berkaitan dengan
ketenagakerjaan seperti yang disebutkan tadi di atas maka diatur berdasarkan Undang-undang
tersebut.
3. Sistem Peradilan Hubungan Industrial (PHI) mencakup 5 hal, yaitu: sejarah
perkembangan, penyelesaian perselisihan hubungan industrial, alat bukti
penyelesaian perselisihan, putusan sela, dan sanksi administrasi dan ketentuan
pidana.
4. UU No. 13/2003 menyatakan bahwa: "Serikat Pekerja adalah organisasi yang
dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik diperusahaan maupun diluar
perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung
jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh
serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya." organisasi serikat pekerja/organisasi buruh
yang dalam pelaksanannya mempunyai peranan yang sangat penting dalam hubungan
industrial. Hal-hal pokok dan penting yang diatur juga UU Nomor
21 Tahun 2000.
B. SARAN
Penulis menyadari akan
kekurangan makalah ini, maka penulis mengharap dengan sangat kritik dan saran
dari pembaca untuk kebaikan dan pengembangan makalah ini dengan baik untuk
kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang, Joni.
2013. Hukum Ketenagakerjaan. Bandung:
Pustaka Setia
Husni, Lalu. 2004. Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial; Melalui Pengadilan & di Luar Pengadilan”.
Jakarta: RajaGrafindo Persada
Husni,
Lalu. 2012. Pengantar Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: Rajawali Press
Lubis, Suhrawardi K. 2000. Hukum Ekonomi Islam.
Jakarta: Sinar Grafika
Musselman,
Vernon A. dan John H. Jackson. 1996. Pengantar
Ekonomi Perusahaan. Jakarta: Erlangga
Saliman, Abdul R.
2008. Hukum Bisnis untuk Perusahaan;
Teori dan Contoh Kasus. Jakarta: Kencana
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
http://hukum-tenagakerja.blogspot.com/2010/04/perselisihan-hubungan-industrial.html?m=1 (diunduh
tanggal 07 Desember 2014)
http://hukum-tenagakerja.blogspot.com/2010/04/perselisihan-hubungan-kerja-phk.html?m=1 (diunduh
tanggal 07 Desember 2014)
http://thestudentdying.blogspot.com/2013/06/neraca-pembayaran-dan-perdagangan.html (diunduh tanggal 1 Desember 2014)
[1] Abdul R. Saliman, “Hukum
Bisnis untuk Perusahaan; Teori dan Contoh Kasus”, cet. ke-5 (Jakarta: Kencana, 2008),
hlm 268
[2] http://thestudentdying.blogspot.com/2013/06/neraca-pembayaran-dan-perdagangan.html (diunduh
tanggal 1 Desember 2014)
[3] Vernon A. Musselman dan John H.
Jackson, “Pengantar Ekonomi Perusahaan”,
(Jakarta: Erlangga, 1996), hlm 232
[4] Abdul R. Saliman, “Hukum
Bisnis untuk Perusahaan; Teori dan Contoh Kasus”,…hlm 273.
[5] Abdul R.
Saliman, “Hukum bisnis untuk perusahaan
teori dan contoh kasus”,…hlm 271-274
[6] UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[7] Lalu Husni, “Pengantar
Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”, (Jakarta: Rajawali Press, 2012),
hlm 131
[8] Vernon A. Musselman dan John H.
Jackson, “Pengantar Ekonomi Perusahaan”,
…hlm 232
[9] Abdul R. Saliman, “Hukum
Bisnis untuk Perusahaan; Teori dan Contoh Kasus”,
…hlm 275
[10] Lalu
Husni, “Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial; Melalui Pengadilan & di Luar Pengadilan”, cet.
ke-1 (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm 133-196
[11] Joni Bambang, “Hukum
Ketenagakerjaan”, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm
291,
lihat juga di Lalu Husni, “Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial; Melalui Pengadilan & di Luar Pengadilan”,…hlm
4, dan di http://hukum-tenagakerja.blogspot.com/2010/04/perselisihan-hubungan-industrial.html?m=1
(diunduh tanggal 07 Desember 2014)
[12] http://hukum-tenagakerja.blogspot.com/2010/04/perselisihan-hubungan-kerja-phk.html?m=1
(diunduh tanggal 07 Desember 2014)
[13] Joni Bambang, “Hukum
Ketenagakerjaan”,…hlm 310, lihat
juga Lalu Husni, “Pengantar Hukum Ketenagakerjaan
Indonesia”,…hlm 137, dan
Lalu Husni, “Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial; Melalui Pengadilan & di Luar Pengadilan”,…hlm
53-79
[14] Ibid.
[15] Suhrawardi
K. Lubis, “Hukum Ekonomi Islam”,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm 151
[16] Vernon A. Musselman dan John H.
Jackson, “Pengantar Ekonomi Perusahaan”,
…hlm 228
[17] Abdul R. Saliman, “Hukum
Bisnis untuk Perusahaan; Teori dan Contoh Kasus”,…hlm 282