MAKALAH QOWAIDUL FIQHIYAH
KAIDAH FIQH JINAYAT
Disusun
Oleh Kelompok 8
Ulfatun Nazilah
Muaddin
Hikamtus
Sholihah Damayanti
Fatimatus
Zahrah
EKONOMI SYARIAH 4 A
FAKULTAS ILMU-ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
TAHUN AKADEMIK 2014
KATA
PENGANTAR
Segala puji
bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia serta inayah-Nya, sehingga
kami dapat merasakan betapa indahnya alam semesta ini. Begitu pula ribuan kata
syukur tak lupa kami lantunkan kapada Rabbul Izzati karena dengan nikmat
kesehatan yang Dia berikan, kami dapat melaksanakan rutinitas kami
sehari-hari. Demikian pula dengan
terlaksananya makalah ini berjalan sesuai dengan kehendak-Nya.
Shalawat serta
salam semoga tetap tercurahkan pada pemuda sejati, pembawa risalah penuh arti,
dialah nabi kita nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah
menuju ke alam yang terang benderang seperti saat ini. Begitu pula dengan
diutusnya beliau ke muka bumi ini merupakan suatu keberkahan bagi umat islam.
Dan inilah
tugas makalah yang telah kami susun, namun kami hanyalah seorang mahasiswa yang
masih awal yang kemungkinan sekali banyak kesalahan dalam pembuatan makalah
ini. Untuk itulah kami mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan kami
kedepan.
Akhirnya kami
ucapkan kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu penyelesaian
makalah ini, khususnya kepada Bapak. Moh. Hifni selaku pengampu mata kuliah
Qowaidul Fiqhiyah.
Kelompok 8
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan Masalah
C.
Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Fiqh Jinayah
B.
Kaidah
Qishash
C.
Kaidah
Hudud
D.
Kaidah
Ta’zir
E.
Manfaat Mempelajari Fiqh Jinayah
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Banyak permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kehidupan
kita sehari-hari. Terjadi banyak kasus pembunuhan bik disengaja atau tidak. Tentunya ini
mengharuskan agar didapati jalan keluar untuk penyelesaiannya. Maka disusunlah
suatu kaidah-kaidah
fiqh secara umum tentang
jinayat yang diikuti cabang-cabang secara lebih mendetail terkait
permasalahan yang sesuai dengan kaidah tersebut. Adanya kaidah ini tentunya
sangat membantu dan memudahkan terhadap pemecahan permasahalan yang muncul
ditengah-tengah kehidupan di zaman modern ini.
Maka, hendaklah mahasiswa memahami
secara baik tentang konsep disiplin ilmu ini karenanya merupakan asas dalam
pembentukan hukum Islam. Masih jarang diantara kaum muslim yang memahami secara
baik tentang pedoman penyelesaian hukum Islam. Menjadi kewajiban sebagai
seorang muslim untuk lebih memahami dan meyikapi persoalan hukum dalam Islam
karena proses kehidupan tidak terlepas dari kegiatan hukum.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian fiqh jinayah?
2.
Apa saja kaidah-kaidah tentang Qishash?
3.
Apa saja kaidah-kaidah tentang Hudud?
4.
Apa saja kaidah-kaidah tentang Ta’zir?
5.
Apa
manfaat mempelajari fiqh jinayah?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui fiqh jinayah
2.
Untuk mengetahui apa saja kaidah-kaidah
tentang Qishash
3.
Untuk mengetahui apa saja kaidah-kaidah
tentang Hudud
4.
Untuk mengetahui apa saja kaidah-kaidah
tentang Ta’zir
5.
Untuk mengetahui manfaat mempelajari fiqh jinayah
BAB
II PEMBAHASAN
KAIDAH FIQH JINAYAH
A.
Pengertian Fiqh Jinayah
Jinayah menurut fuqaha’ ialah perbuatan atau perilaku yang
jahat yang dilakukan oleh seseorang untuk mencerobohi atau mencabul kehormatan
jiwa atau tubuh badan seseorang yang lain dengan sengaja. Penta`rifan tersebut adalah khusus pada
kesalahan-kesalahan membunuh atau menghilangkan anggota tubuh badan seseorang
yang lain atau mencederakan atau melukakannya yang wajib di kenakan hukuman
qisas atau diyat. Kesalahan-kesalahan yang melibatkan harta benda, akal fikiran
dan sebagainya adalah termasuk dalam jinayah yang terkena hukuman hudud, qisas, diyat atau
ta`zir.[1]
Fiqih jinayah
terdiri dari dua kata, fiqih dan jinayah. Pengertian fiqih jinayah secara
bahasa berasal dari lafal faqiha, yafqohu, fiqhan, yang berarti
mengerti, paham. Pengertian jinayah adalah;
فالجناية ا سم لفعل محرم شرعا
,سواء وقع الفعل على نفس او ما ل او غير
دالك
Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang di larang oleh syara’
baik perbuatan tersebut mengenai jiwa,
harta, atau lainya.
Apabila kedua kata tersebut digabung maka pengertian fiqih jinayah itu
adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang(jarimah),
dan hukumanya diambil dari dali-dalil yang terperinci. Pengertian jinayah
tersebut sejalan dengan pengertian hukum pidana menurut hukum positif. [2]
B. Qishash
Hukuman qisas adalah sama seperti hukuman
hudud juga, yaitu hukuman yang telah ditentukan oleh Allah di dalam Al-Qur’an
dan Al-Hadits. Hukuman qisas ialah kesalahan yang dikenakan hukuman balas. Membunuh dibalas dengan
bunuh (nyawa dibalas dengan nyawa), melukakan dibalas dengan melukakan,
mencederakan dibalas dengan mencederakan.[3]
1.
Kaidah
pertama tentang kesamaan qishash dengan hudud:
Ibnu Nujaym mengatakan,
ﺍﻟﻘﺼﺎﺹ
ﻛﺎﻟﺤﺪﻭﺩ
“Jarimah qishash sama dengan jarimah hudud”.
Dijelaskan bahwa kesamaannya terletak pada keharusan
untuk berhati-hati dalam pemberian sanksi. Pada jarimah qishash pun, hukuman
gugur jika terdapat syubhat (kesamaran). Oleh karena itu, keharusan untuk
menghindari hukuman hudud, berlaku juga pada jarimah qishash.
Kemudian perbedaan jarimah hudud dengan jarimah qishash
terletak pada tujuh hal, antara lain:
a.
Pada
jarimah qishash, hakim boleh memutuskan hukuman berdasarkan pengetahuannya,
sedangkan pada jarimah hudud tidak boleh.
b.
Pada
jarimah qishash, hak menuntut qishash bisa diwariskan, sedangkan pada jarimah
hudud tidak.
c.
Pada
jarimah qishash, korban atau wali korban dapat memaafkan sehingga hukuman dapat
gugur secara mutlak atau berpindah kepada hukum penggantinya, sedangkan pada
jarimah hudud tidak ada pemaafan.
d.
Pada
jarimah qishash, tidak ada kadaluarsa dalam kesaksian, sedangkan pada jarimah
hudud ada kadaluarsa dala kesaksian kecuali pada jarimah qadzaf.
e.
Pada
jarimah qishash, pembuktian dengan isyarat dan tulisan dapat diterima,
sedangkan pada jarimah hudud tidak.
f.
Pada
jarimah qishash, dibolehkan ada pembelaan (al
syafa’at), sedangkan pada jarimah hudud tidak ada.
g.
Pada
jarimah qishash, harus ada tuntutan, sedangkan pada jarimah hudud tidak perlu
kecuali pada jarimah qadzaf.
2.
Kaidah
kedua tentang keharusan adanya kafaah:
ﻳﺴﻘﻄ
ﺍﻟﻘﺼﺎﺹ ﺑﻌﺪﻡ ﺍﻟﻜﻔﺎﺀﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺮﻳﺔ ﻭﺍﻟﺪﻳﻦ
“Qishash gugur karena ketiadaan kafaah(keseteraan)
dalam hal kemerdekaan dan agama”.
3.
Kaidah
ketiga tentang keharusan adanya kesamaan(al
musawah) dan keserupaan (al
mumatsalah) dalam jinayah terhadap selain jiwa:
ﻳﺴﻘﻄ
ﺍﻟﻘﺼﺎﺹ ﺑﻌﺪﻡ ﺍﻟﻤﺴﺎﻭﺓ ﻭﺍﻟﻤﻤﺎﺛﻠﺔ
“Qishash gugur karena ketiadaan kesamaan dan
keserupaan”.
Kaidah di atas mengandung arti bahwa qishash tidak dapat
dilaksanakan jika tidak ada kesamaan dan keserupaan antara pelaku dengan
korbannya. Kesamaan yang dimaksud adalah kesamaan dalam kesehatan dan
kesempurnaan (kemulusan). Misalnya, tangan yang lumpuh tidak sama dengan tangan
yang sehat; tangan yang berjari lengkap tidak sama dengan tangan yang tidak
berjari atau tidak lengkap; mata yang melihat tidak sama dengan mata yang buta;
dan seterusnya. Adapun keserupaan yang dimaksud adalah tangan kanan dengan
tangan kanan; kaki kiri dengan kaki kiri; mata kanan dengan mata kanan; telinga
kiri dengan telinga kiri; dan seterusnya.
Sebagai contoh kasus, jika ada kesamaan dan keserupaan:
seseorang yang tidak memiliki telinga kiri memotong telinga kiri orang lain,
pada kasus ini qishash tidak dapat dilaksanakan karena tidak ada keserupaan,
sehingga sanksi ini berpindah kepada diyat.
4.
Kaidah
keempat tentang gugurnya qishash karena ada kerelaan/izin korban:
Pada dasarnya para fuqaha sepakat bahwa adanya kerelaan
korban untuk dibunuh tidak membolehkan seseorang melakukan pembunuhan, seperti
kasus euthanasia. Tetapi mereka
berbeda dalam posisi kerelaan tersebut.
Menurut Hanafiyah:
ﻳﺴﻘﻄ ﺍﻟﻘﺼﺎﺹ ﺑﺮﺿﺎ ﺍﻟﻤﺠﻨﻲ
ﻋﻠﻴﻪ
“Qishash (hukum asal) gugur karena ada kerelaan korban”.
Gugurnya qishash disebabkan oleh adanya kerelaan atau
izin korban yang dapat dipersamakan dengan pemaafan. Oleh karena itu, hukuman
berpindah kepada diyat. Selain itu,
kerelaan itu menjadi syubhat yang
dapat menggugurkan hudud.
Menurut pendapat Malikiyah yang rajih dan sebagian
Syafi’iyah:
ﻻ ﻳﺴﻘﻄ ﺍﻟﻘﺼﺎﺹ ﺑﺮﺿﺎ
ﺍﻟﻤﺠﻨﻲ ﻋﻠﻴﻪ
“Qishash tidak gugur karena ada kerelaan korban”.
Kerelaan korban tidak dapat dipersamakan dengan pemaafan
karena kerelaan itu ada sebelum terjadi jarimah pembunuhan, sedangkan pemaafan
ada setelah terjadi jarimah. Oleh karena itu, pembunuhan tersebut tetap
merupakan pembunuhan sengaja yang harus dihukum dengan qishash.
Pendapat Malikiyah yang marjuh (sahnun) dan sebagian
Syafi’iyah:
ﻳﺴﻘﻄ ﻋﻘﻮﺑﺘﻲ ﺍﻟﻘﺼﺎﺹ
ﻭﺍﻟﺪﻳﺔ ﺑﺮﺿﺎ ﺍﻟﻤﺠﻨﻲ ﻋﻠﻴﻪ
“Qishash dan diyat gugur karena ada kerelaan korban”.
Kerelaan korban dapat dipersamakan dengan pemaafan baik
dari hukuman asli (qishash) maupun penggantinya (diyat). Pemaafan dari korban itu lebih utama dari pada keluarga
sebab pemaafan itu menjadi hak bagi korban.
5.
Kaidah
kelima tentang kaifiyah eksekusi qishash:
Pendapat Hanafiyah:
ﻻﻗﺼﺎﺹ
ﺇﻻ ﺑﺎﻟﺴﻴﻒ
“Tidak ada qishash kecuali dengan pedang”.
Kaidah ini mengandung arti bahwa dengan cara apapun suatu
pembunuhan dilakukan, pelaksanaan qishashnya harus dengan menggunakan pedang.
Pendapat Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah:
ﻣﻦ
ﻗﺘﻞ ﺑﺸﻲﺀ ﻗﺘﻞ ﺑﻤﺜﻠﻪ
“Barang siapa yang membunuh dengan sesuatu
(cara/alat), maka ia diqishash dengan cara yang serupa”.
Kaidah ini mengandung arti bahwa eksekusi qishash
dilaksanakan sesuai dengan cara pelaku melakukan pembunuhan. Misalnya,
seseorang melakukan pembunuhan dengan cara mencekik, maka iapun diqishash
dengan cara dicekik pula. Atau seseorang melakukan pembunuhan dengan cara
membakar, maka ia pun diqishash dengan cara dibakar pula. Selain itu,
Rasulullah saw pernah memerintahkan kepada para sahabatnya untuk mengqishash
seorang Yahudi dengan cara yang sama(Yahudi itu telah membunuh jariyahnya
dengan cara meremukan kepalanya diantara dua batu).
Namun demikian, keharusan dengan cara yang sama ini
dikecualikan, jika pembunuhan yang dilakukan menggunakan cara yang haram.
Misalnya, seseorang melakukan sodomi terhadap seorang anak yang menyebabkan
kematian, atau seseorang melakukan pembunuhan dengan menggunakan khamr.
6.
Kaidah
keenam tentang gugurnya qishash karena korban hilang jaminan perlindungan:
ﺍﻹﻫﺪﺍﺭ
ﻫﻮ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ
“Ada kebolehan (melakukan sesuatu) terhadap orang yang
telah hilang jaminan perlindungan”.
Kaidah ini mengandung arti bahwa seseorang boleh
melakukan sesuatu terhadap seseorang yang telah hilang hak-hak perlindungannya,
baik tubuhnya, jiwanya, maupun hartanya. Adapun yang dimaksud dengan hilangnya
jaminan perlindungan adalah orang-orang yang telah melakukan perbuatan jarimah
yang harus dikenai sanksi hudud atau qishash. Misalnya, orang yang telah
melakukan jarimah zina, pencurian, perampokan, pemberontakan, riddah,
penganiayaan, dan pembunuhan.
Perlakuan sesuatu yang boleh dilakukan bergantung kepada
jenis hukuman yang harus diterima oleh korban. Misalnya, seseorang boleh membunuh korban yang telah melakukan
zina (zina muhshan), melakukan
pembunuhan, dan jarimah lainnya, yang sanksinya dibunuh.
Ada perbedaan sifat hilangnya jaminan perlindungan
diantara orang yang telah melakukan jarimah hudud dengan jarimah qishash. Pada
jarimah hudud bersifat mutlak sedangkan pada jarimah qishash bersifat relatif.
Pada jarimah qishash, hilangnya jaminan perlindungan bergantung kepada pemaafan
wali korban. Oleh karena itu, kepada selain wali korban, orang yang telah
membunuh tidak hilang jaminan perlindungannya.
C. Hudud
Hukuman hudud adalah hukuman yang telah
ditentukan dan ditetapkan Allah di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadith. Hukuman hudud
ini adalah hak Allah yang bukan sahaja tidak boleh ditukar ganti hukumannya
atau diubahsuai atau dipinda malah tidak boleh dimaafkan oleh sesiapapun di
dunia ini. Mereka yang melanggar ketetapan hukum Allah yang telah ditentukan
oleh Allah dan RasulNya adalah termasuk dalam golongan orang yang zalim. Firman
Allah s.w.t. yang bermaksud: “Dan
sesiapa yang melanggar aturan-aturan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang
yang zalim.” (Surah Al-Baqarah, 2:229).[4]
1. Jarimah
Zina
a.
Kaidah
pertama tentang homoseks (al-luwath):
ﺍﻟﻠﻮﺍﻃ
ﻛﺎﻟﺰﻧﺎ
“Homoseks itu seperti zina”.
Kaidah ini dipegang
oleh Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan Zhahiriyah. Akan tetapi
mereka berbeda pendapat dalam memberikan
hukuman terhadap pelaku homoseks. Syafi’iyah berpendapat bahwa hukumannya sama
persis dengan had zina, yaitu didera bagi yang ghair muhshan dan rajam bagi yang muhshan.
Sementara Malikiyah, Hanabilah, dan Zhahiriyah
berpendapat bahwa hukum-an bagi homoseks itu adalah rajam baik pelakunya muhshan maupun ghair muhshan. Berbeda dengan pendapat Jumhur Fuqaha di atas, Hanafiyah
berpendapat bahwa:
ﺍﻟﻠﻮﺍﻃ
ﻟﻴﺲ ﻛﺎﻟﺰﻧﺎ
“Homoseks tidak sama dengan zina”.
Mereka beralasan bahwa:
1. Perbedaan nama mengakibatkan perbedaan hukum.
2. Para sahabat berbeda pendapat dalam memberikan hukuman
terhadap pelaku homoseks. Ini menunjukkan homoseks ini termasuk wilayah
ijtihadi.
3. Zina dapat merusak nasab sedangkan homoseks tidak.
4. Wath’i melalui qubul
merupakan sesuatu yang secara naluriah menjadi kecenderungan semua orang
terutama bagi yang diwath’i nya
sedangkan melalui dubur tidak.
5. Sebutan al fahisyat
terhadap jarimah homoseks tidak menunjukkan kesamaan hukum dengan zina, karena selain homoseks, banyak
perbuatan dosa besar yang termasuk al
fahisyat.
b.
Kaidah
kedua tentang lesbian (al-musahaqah)
Para fuqaha sepakat bahwa lesbian tidak sama dengan zina.
Mereka menyatakan:
ﺍﻟﻤﺴﺎﺣﻘﺔ ﻟﻴﺲ ﻛﺎﻟﺰﻧﺎ
“Jarimah lesbian tidak sama dengan jarimah zina”.
c.
Kaidah
ketiga tentang menyetubuhi binatang:
ﻻﺣﺪ
ﻋﻟﻰ ﻣﻦ ﻭﻃﺀ ﺍﻟﺒﻬﻴﻤﺔ
“Tidak ada had tentang orang yang menyetubuhi binatang”.
d.
Kaidah
keempat tentang laki-laki yang menyetubuhi mayat perempuan:
Pendapat jumhur:
ﻻﺣﺪ ﻋﻟﻰ ﻣﻦ ﻭﻃﺀ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ
ﺍﻟﻤﻴﺘﺔ
“Tidak ada had terhadap laki-laki yang menyetubuhi
mayat perempuan”.
Dengan alasan karena persetubuhan itu bukan merupakan
kecenderungan (keinginan) dari keumuman manusia. Orang yang melakukan
persetubuhan dengan mayat cukup dikenai sanksi ta’zir.
Berbeda dengan jumhur, malikiyah dan sebagian hanabilah
berpendapat bahwa:
ﻭﺟﻮﺏ
ﺍﻟﺤﺪ ﻋﻟﻰ ﻣﻦ ﻭﻃﺀ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺍﻟﻤﻴﺘﺔ
“Had wajib ditegakkan terhadap laki-laki yang
menyetubuhi mayat perempuan”.
Mereka beralasan bahwa persetubuhan tersebut kedudukannya
sama dengan persetubuhan terhadap wanita yang hidup. Hal ini dikarenakan
kebutuhan syahwat dapat terpenuhi dengan menyetubuhi mayat perempuan
sebagaimana menyetubuhi perempuan yang hidup.
e.
Kaidah
kelima tentang perempuan yang menyetubuhi mayat laki-laki:
ﻻﻳﺤﺪ
ﻣﻦ ﺍﺩﺧﻠﺖ ﺫﻛﺮ ﻣﻴﺖ ﻓﻲ ﻓﺮﺟﻬﺎ
“Tidak ada had bagi perempuan yang memasukkan kelamin
laki-laki yang sudah meninggal ke dalam farjinya”.
Menurut Malikiyah, hal ini didasarkan bahwa persetubuhan
itu tidak mendatangkan kenikmatan.
f.
Kaidah
keenam tentang perempuan dewasa yang bersetubuh dengan anak laki-laki (yang
belum dewasa):
ﻻﺣﺪ
ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺍﻟﺘﻲ ﻁﺎﻭﻋﺖ ﺍﻟﺼﺒﻲ ﺃﻭ ﺍﻟﻤﺠﻨﻮﻥ
“Tidak ada
had bagi perempuan yang bersetubuh dengan anak laki-laki atau orang gila”.
g.
Kaidah
ketujuh tentang laki-laki dewasa yang bersetubuh dengan anak perempuan yang
masih kecil (belum dewasa):
ﻳﺤﺪ
ﻣﻦ ﻭﻃﺀ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺻﻐﻴﺮﺓ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻤﻜﻦ ﻭﻁﺆﻬﺎ ﻋﺎﺩﺓ
“Dikenakan
had bagi laki-laki yang menyetubuhi perempuan yang belum dewasa yang
memungkinkan untuk disetubuhi”.
h.
Kaidah
kedelapan tentang suami yang menyetubuhi istri melalui duburnya:
ﻻﻳﺤﺪ
ﻣﻦ ﻭﻁﺀ ﺯﻭﺟﺘﻪ ﻓﻲ ﺩﺑﺮﻫﺎ ﻭﻟﻜﻦ ﻳﺆﺩﺏ
“Tidak ada had bagi suami yang menyetubuhi istrinya
melalui duburnya, melainkan ta’zir”.
2. Jarimah
Qadzaf
a.
Kaidah
pertama tentang menuduh seseorang telah melakukan kejahatan:
ﻣﻦ
ﺭﻣﻰ ﺇﻧﺴﺎﻧﺎ ﺑﻮﺍﻗﻌﺔ ﺃﻭ ﺻﻔﺔ ﻣﺤﺮﻣﺔ ﻣﺎ, ﻭﺟﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻥ ﻳﺜﺒﺖ ﺻﺤﺘﻪ ﻣﺎ ﺭﻣﺎﻩ ﺑﻪ ﻓﺈﻥ ﻋﺠﺰ ﻋﻦ
ﺇﺛﺒﺎﺗﻪ ﺃﻭ ﺇﻣﺘﻨﻊ ﻭﺟﺒﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻌﻘﻮﺑﺔ
“Barang siapa menuduh seseorang dengan suatu kejadian
atau keadaan yang diharamkan, maka wajib baginya untuk membuktikan kebenaran
tuduhannya. Apabila ia tidak dapat membuktikannya maka ia wajib dihukum”.
Kaidah di atas menjelaskan bahwa orang yang menuduh
seseorang dengan tuduhan telah melakukan suatu tindakan kejahatan atau sesuatu
yang diharamkan maka ia wajib membuktikan kebenaran tuduhan tersebut. Misalnya,
seseorang menuduh orang lain telah berbuat zina atau telah mencuri, maka orang
tersebut (penuduh) wajib membuktikan kebenaran ucapannya. Penuduh harus dikenai
hukuman jika ia tidak dapat membuktikan kebenaran ucapannya. Sebaliknya, orang
yang dituduh harus dikenai hukuman jika penuduh dapat membuktikan kebenaran
tuduhannya.
Selain itu, ada kaidah pokok yang menyatakan bahwa:
ﺍﻷﺻﻞ
ﺑﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﺬﻣﺔ
“Pada asalnya seseorang itu terbebas dari sesuatu
beban”.
Kaidah di atas menunjukkan bahwa seseorang itu pada
asalnya tidak bersalah sehingga ketika ada tuduhan seseorang yang menyatakan
bahwa ia telah bersalah maka penuduh harus membuktikan kebenaran tuduhannya. Si
tertuduh memiliki hak untuk membela diri dengan menyatakan bahwa ia tidak
bersalah atau melakukan kejahatan yang dituduhkan kepadanya.
b.
Kaidah
kedua tentang mencaci:
ﻣﻦ
ﺳﺒﺐ ﺇﻧﺴﺎﻧﺎ ﺃﻭ ﺷﺘﻤﻪ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﺍﻟﻌﻘﻮﺑﺔ ﻭﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﺍﻟﺤﻖ ﻓﻲ ﺇﺛﺒﺎﺕ ﺻﺤﺔ ﻣﺎ ﻗﺎﻝ
“Barang siapa mengejek atau mencaci seseorang, maka
wajib baginya hukuman tanpa harus membuktikan kebenaran ucapannya”.
Kaidah di atas mengandung arti bahwa mengejek atau
mencaci maki seseorang, sejak awal, sudah termasuk perbuatan jarimah. Ia tidak
perlu membuktikan kebenaran ucapannya tetapi harus diberikan sanksi agar
terpelihara kehormatan diri seseorang. Misalnya, seseorang menghina keadaan
fisik atau sifat orang lain dengan hinaan seperti: “Hai hitam!”, “Hai hidung
pesek!”, “Hai orang bodoh!”, dan sebagainya. Kata-kata tersebut tidak perlu
dibuktikan kebenarannya. Sebab, perbuatan tersebut sudah termasuk perbuatan maksiat,
meskipun apa yang dikatakan itu benar keadaannya.
Berbeda dengan menuduh seseorang dengan tuduhan telah
berbuat jarimah. Pada awalnya, perbuatan tersebut (menuduh) bukan merupakan
perbuatan jarimah. Sebab, bisa jadi ia sebagai saksi untuk mengungkapkan suatu
peristiwa yang telah terjadi.
c.
Kaidah
ketiga tentang menuduh perbuatan yang wajib dikenai had zina:
ﻛﻞ
ﻣﺎ ﻳﻮﺟﺐ ﺣﺪ ﺍﻟﺯﻧﺎ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻓﺎﻋﻠﻪ ﻳﻮﺟﺐ ﺣﺪ ﺍﻟﻘﺬﻑ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﺎﺫﻑ ﺑﻪ
“Setiap yang dihukum dengan had zina bagi pelakunya,
maka wajib juga dihukum dengan had qadzaf bagi penuduhnya”.
Demikian juga dalam hal qadzaf, kualifikasi jarimah
qadzaf pun bergantung pada kualifikasi jarimah zina, sebab jarimah qadzaf ini berkenaan dengan
tuduhan zina. Seseorang telah dapat dikualifikasikan sebagai penuduh zina jika
ia menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang dapat dikualifikasikan
sebagai perbuatan zina dan ia tidak dapat membuktikan tuduhannya.
Misalnya, sebagian Hanabilah menganggap bahwa menyetubuhi
binatang itu termasuk perbuatan zina, maka orang yang menuduh seseorang dengan
tuduhan telah bersetubuh dengan hewan harus dikenai sanksi qadzaf jika ia tidak dapat membuktikan tuduhannya. Sementara
Malikiyah, Hanafiyah, sebagian Syafi’iyah dan Hanabilah menganggap bahwa
menyetubuhi hewan itu bukan perbuatan zina, tetapi tetap harus dikenai sanksi ta’zir karena merupakan perbuatan
maksiat. Orang yang menuduh perbuatan tersebut pun tidak bisa dikenai had qadzaf, melainkan ta’zir, jika ia tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhannya.
Demikian juga dalam hal menuduh seseorang telah melakukan
jarimah homoseks. Jumhur berpendapat bahwa menuduh seseorang telah melakukan
jarimah homoseks harus dikenai had qadzaf
karena homoseks termasuk zina. Sedangkan Hanafiyah menganggap bahwa
homoseks itu bukan zina, maka orang yang
menuduh perbuatan tersebut pun tidak dapat dikenai had qadzaf , melainkan ta’zir.
Hukuman itu diberikan jika penuduh tidak dapat membuktikan kebenaran
tuduhannya.
d.
Kaidah
keempat tentang syarat tuduhan zina:
ﻳﺸﺘﺮﻃ
ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺬﻑ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻤﻘﺬﻭﻑ ﻣﻌﻠﻮﻣﺎ ﻭﻳﺠﺐ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻘﺬﻑ ﻣﻂﻠﻘﺎ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﺮﻃ ﻭﺍﻹﺿﺎﻓﺔ ﺇﻟﻰ
ﻭﻗﺖ ﻣﻌﻴﻦ
“Disyaratkan dalam tuduhan zina (yang dikenai had)
adalah orang yang dituduh itu diketahui dan tuduhan terbebas dari syarat dan
kaitan dengan waktu yang ditentukan”.
Kaidah ini menunjukkan bahwa seseorang dianggap telah
melakukan jarimah qadzaf, jika
tuduhannya itu dituduhkan kepada seseorang tertentu (diketahui). Misalnya,
kamu, dia (dengan menyebutkan namanya), ayahmu, ibumu, anakmu (dengan
menyebutkan nama jika anaknya lebih dari seorang) dan sebagainya. Adapun
kata-kata yang tidak jelas dituduhkan kepada siapa, misalnya: “Diantaramu, ada
salah seorang yang telah berzina” atau “Salah satu yang berada di kelas itu
telah melakukan zina”. Kata-kata tersebut belum dianggap sebagai tuduhan zina.
Selain itu, tuduhan itu tidak boleh digantungkan dengan
waktu atau keadaan tertentu. Misalnya, “Kamu telah berzina jika saya lulus
ujian” atau “Kamu telah berzina jika saya telah sampai ke rumah”. Perkataan
seperti itu belum dianggap sebagai tuduhan zina.
e.
Kaidah
kelima tentang syarat orang yang dituduh:
ﻳﺸﺘﺮﻃ
ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻘﺬﻭﻑ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﺤﺼﻨﺎ ﺭﺟﻼ ﻛﺎﻥ ﺃﻭ ﺍﻣﺮﺃﺓ
“Disyaratkan orang yang dituduh itu harus muhshan
(orang yang memelihara diri dari perbuatan zina) baik laki-laki atau perempuan”.
Kaidah ini menjelaskan bahwa seseorang dianggap telah
melakukan jarimah qadzaf jika tuduhan
itu dituduhkan kepada muhshan atau muhshanat. Adapun arti muhshan dalam jarimah qadzaf adalah laki-laki atau perempuan
yang biasa menjaga diri (‘iffah) dari
perzinhaan, baligh, berakal, merdeka, dan muslim. Dengan demikian, menuduh zina
terhadap orang yang jelas-jelas pelacur, tidak termasuk jarimah qadzaf.
3. Jarimah
Minum Khamr
a.
Kaidah
pertama tentang minuman yang memabukkan:
ﻛﻞ
ﻣﺴﻜﺮ ﺧﻤﺮ ﻭﻛﻞ ﺧﻤﺮ ﺣﺮﺍﻡ
“Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr
adalah haram”.
Kaidah ini mengandung arti bahwa setiap minuman yang
memabukkan kedudukannya sama seperti khamr
yang dikemukakan dalam al Quran. Barang siapa yang meminumnya, sedikit atau
banyak, akan dikenai sanksi dera sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah
saw.
Berbeda dengan pendapat jumhur, Abu Hanifah mengatakan
bahwa:
ﺣﺮﻣﺔ
ﺍﻟﺨﻤﺮﺓ ﻟﻌﻴﻨﻬﺎ ﻭﺍﻟﻤﺴﻜﺮ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺷﺮﺍﺏ
“Khamr haram karena
dzatnya, sedangkan minuman (selain khamr) karena mabuknya”.
Kaidah tersebut dipegang oleh Abu Hanifah dan
pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, khamr adalah perasan anggur yang
difermentasikan sehingga menimbulkan gelembung-gelembung (berbuih) sampai
berbusa. Adapun dari bahan-bahan lainnya tidak dinamakan khamr. Menurutnya, berbeda nama berarti berbeda hukumnya. Keharaman
khamr karena dzatnya. Oleh karena
itu, minum sedikit atau banyak sudah termasuk perbuatan haram (jarimah).
Sedangkan minuman lain yang dibuat dari selain anggur, keharamannya karena
mabuknya. Misalnya, seseorang minum minuman “keras” yang bukan berasal dari
perasan anggur, selama belum mabuk, halal hukumnya. Tetapi, jika ia mabuk, maka
pada tegukan yang terakhir itulah ia telah melakukan perbuatan yang haram atau
jarimah minum minuman “keras”.
b.
Kaidah
kedua tentang kadar minuman yang memabukkan:
ﻻﻋﺒﺮﺓ
ﺑﻘﻮﺓ ﺍﻹﺴﻜﺎﺭ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺸﺮﻭﺏ ﻓﻤﺎ ﺃﺳﻜﺮ ﻛﺜﻴﺮﻩ ﻓﻘﻠﻴﻠﻪ ﺣﺮﺍﻡ
“Daya mabuk suatu minuman (kadar alkohol) bukanlah
ukuran (keharaman), minuman yang dalam keadaan banyak dapat memabukkan maka
dalam keadaan sedikitpun telah haram”.
Maksudnya, keharaman minuman keras itu tidak diukur oleh
banyaknya (kadar) minuman yang dapat memabukkan peminumnya. Misalnya, seseorang
baru mabuk jika telah minum tiga gelas. Menurut jumhur, pada tegukan pertama
pun sudah haram apabila minuman itu memabukkan, walaupun ia belum mabuk.
4. Jarimah
Pencurian
a.
Kaidah
pertama tentang kualifikasi jarimah pencurian:
ﺃﺧﺬ
ﺍﻟﻌﺎﻗﻞ ﺍﻟﺒﺎﻟﻎ ﻋﺸﺮﺓ ﺩﺭﺍﻫﻢ ﺃﻭ ﻣﻘﺪﺍﺭﻫﺎ ﺧﻔﻴﺔ ﻋﻤﻦ ﻫﻮ ﻣﺘﺼﺪ ﻟﻠﺤﻔﻈ ﻣﻤﺎ ﻻ ﻳﺘﺴﺎﺭﻉ ﺇﻟﻴﻪ
ﺍﻟﻔﺴﺎﺩ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﺍﻟﻤﺘﻤﻮﻝ ﻟﻠﻐﻴﺮ ﻣﻦ ﺣﺮﺯ ﺑﻼ ﺷﺒﻬﺔ
“Pencurian adalah mengambil harta yang dilakukan oleh
orang yang berakal (tidak gila) dan telah dewasa; sekurang-kurangnya sepuluh
dirham; yang dilakukan dengan cara diam-diam; harta tersebut tersimpan di
tempat yang terjaga (layak), tidak cepat rusak dan milik orang lain dengan tidak
ada syubhat”.
b.
Kaidah
kedua tentang harta yang dirusak:
ﻛﻞ
ﻣﺎ ﺍﺳﺘﻬﻠﻚ ﻓﻲ ﻣﺤﻞ ﺍﻟﺤﺎﺩﺙ ﻓﻬﻮ ﻣﺘﻠﻒ ﻻ ﻣﺴﺮﻭﻕ
“Setiap (harta) yang habis (lenyap) pada waktu
pencurian maka termasuk perusakan bukan pencurian”.
Kaidah ini menngandung arti bahwa suatu perbuatan
dianggap pencurian apabila harta yang dicuri itu tidak dirusak di tempat
penyimpanannya, baik dengan cara dimakan, diminum, atau disobek. Pengambilan
harta dengan cara dirusak seperti ditelan, disobek, atau dipecahkan merupakan
perbuatan perusakan. Misalnya, seorang pencuri memakan hidangan yang tersedia
di meja makan, perbuatan itu merupakan perusakan bukan pencurian. Akan tetapi,
perbuatan itu sudah merupakan pencurian jika pencuri itu membawa keluar makanan
tersebut dari hiriznya dan telah mencapai nishab kemudian memakannya.
Para Fuqaha sepakat bahwa perusakan itu terhadap harta
yang menjadi rusak karena ditelan. Sedangkan harta yang tidak rusak, maka
mereka berbeda pendapat. Pendapat tersebut adalah:
1)
Perbuatan
tersebut merupakan perusakan bukan pencurian.
2)
Perbuatan
tersebut merupakan pencurian.
3)
Perbuatan
tersebut merupakan perusakan jika harta yang ditelan itu dapat dikeluarkan.
Sebaliknya perbuatan tersebut merupakan pencurian jika harta yang ditelan itu
tidak dapat dikeluarkan.
c.
Kaidah
ketiga tentang gugurnya hiriz:
ﻳﺒﻂﻞ
ﺍﻟﺤﺮﺯ ﺑﻔﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺏ ﻭﺍﻟﻨﻘﺐ
“Hiriz gugur (hilang) karena pintu telah terbuka atau
adanya lubang”.
Kaidah ini dipegang oleh al Syafi’i, Ahmad, dan Syi’ah
Zaydiyah. Kaidah ini mengandung arti bahwa seseorang yang mengambil harta di
suatu tempat dalam keadaan terbuka pintunya atau melalui suatu lubang, tidak
termasuk pencurian yang harus dikenai had melainkan ta’zir. Mereka beranggapan bahwa pengambilan harta tersebut bukan
pada tempat penyimpanan yang layak.
Sedangkan Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa:
ﻻ
ﻳﺒﻂﻞ ﺍﻟﺤﺮﺯ ﺑﻔﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺏ ﻭﺍﻟﻨﻘﺐ
“Hiriz gugur (hilang) karena pintu telah terbuka atau
adanya lubang”.
Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa, meskipun pintu
atau jendela suatu tempat itu terbuka atau dindingnya berlubang, pengambilan
harta di dalamnya merupakan pencurian yang harus dikenai had.
d.
Kaidah
keempat tentang harta yang tidak berharga:
ﻻ
ﻗﻂﻊ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﺍﻟﺘﺎﻓﻪ
“Tidak ada potong tangan pada (pencurian) sesuatu yang
remeh”.
Kaidah ini menjelaskan bahwa pencurian yang dapat dikenai
had adalah pencurian terhadap harta yang berharga, paling tidak bagi
pemiliknya. Menurut Mustafa Ahmad Al Zarqa, harta (yang berharga) adalah
sesuatu yang disenangi oleh tabi’at manusiadan mungkin disimpan sampai waktu
yang diperlukan.
e.
Kaidah
kelima tentang harta yang diharamkan dan alat-alat maksiat:
ﻻ
ﻗﻂﻊ ﻓﻲ ﺳﺮﻗﺔ ﻣﺤﺮﻡ ﻭﺁﻵﺕ ﺍﻟﻠﻬﻮﻱ
“Tidak ada potong tangan terhadap pencurian
barang-barang yang diharamkan dan
alat-alat maksiat”.
Kaidah ini didasarkan atas adanya syubhat bahwa di satu
sisi pengambilan barang orang lain itu diharamkan, tetapi di sisi lain ada
perintah untuk memberantas kemaksiatan, yaitu al amr bil ma’ruf al nahyi ‘an al munkar. Selain itu, barang-barang
tersebut termasuk harta yang tidak berharga karena harus dimusnahkan.
Barang-barang yang diharamkan tersebut diantaranya adalah
babi, khamr, patung, dan bangkai.
Sedangkan alat-alat maksiat diantaranya adalah al thanbur (semacam mandolin atau kecapi) dan al mizmar (semacam terompet atau seruling). Pengambilan benda-benda
tersebut tidak akan dikenai had meskipun telah mencapai nishab pencurian.
f.
Kaidah
keenam tentang nishab pencurian:
ﻻ
ﻗﻂﻊ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻨﺼﺎﺏ
“Tidak ada potong tangan sebelum nishab”.
Jumhur berbeda pendapat tentang batasan nishabnya. Abu
Hanifah berpendapat bahwa batasan nishabnya adalah 1 dinar atau 10 dirham.
Menurutnya, harga perisai (pada masa Abu Hanifah) adalah 10 dirham. Sedangkan
Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa batasan nishabnya adalah seperempat dinar
atau tiga dirham. Dan mereka berbeda pendapat tentang standar pokok yang
dijadikan batasan nishab. Menurut Malik, standar pokok nishab adalah seperempat
dinar untuk emas dan tiga dirham untuk perak. Sedangkan menurut Syafi’i standarnya
adalah seperempat dinar emas, sehingga harga dirham harus disesuaikan dengan
harga dinar, apabila harga dirham fluktuatif.
g.
Kaidah
ketujuh tentang ayah yang mencuri harta anak:
ﻻ
ﻗﻂﻊ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺻﻮﻝ ﺇﺫﺍ ﺳﺮﻗﻮﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﻔﺮﻭﻉ
“Tidak ada potong tangan terhadap ayah (dan terus ke
atas) yang mencuri harta anaknya (dan seterusnya ke bawah)”.
Kaidah
ini didasarkan atas kesamaran dalam pemilikan harta. Jumhur berpendapat bahwa
pada harta anak itu terdapat harta ayah, sehingga pengambilan harta anak itu
bukan merupakan pencurian yang dikenai had.
5. Jarimah
Perampokan
a.
Kaidah
pertama tentang cara pengambilan harta:
ﺍﻟﺤﺮﺍﺑﺔ
ﻫﻮ ﺃﺧﺬ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻤﻐﺎﻟﺒﺔ
“Perampokan adalah pengambilan harta yang dilakukan
secara terang-terangan”.
Kaidah
ini membedakan antara perampokan dengan pencurian. ‘Abdul Qadir ‘Awdah
mengistilahkan hirabah dengan sariqah kubra (pencurian besar),
sedangkan pengambilan harta yang dilakukan dengan cara diam-diam disebut dengan
sariqah sughra (perampokan kecil).
Besar dan kecil di sini tidak dimaksudkan untuk membedakan besar kecilnya harta yang diambil, tetapi
membedakan cara pengambilannya bahwa pengambilan harta ini harus menjadi niat
para pelaku sehingga dapat dikualifikasikan sebagai jarimah hirabah.
b.
Kaidah
kedua tentang tempat perampokan:
ﺃﻥ
ﺗﻘﻊ ﺟﻨﺎﻳﺔ ﺍﻟﻤﺤﺎﺭﺑﺔ ﻓﻲ ﺧﺎﺭﺝ ﺍﻟﻤﺼﺮ
“Perampokan dilakukan di luar kota”.
Kaidah
ini mengandung arti bahwa pengambilan harta secara terang-terangan tersebut
harus dilakukan di luar kota, seperti di jalanan padang pasir. Sementara
jalanan di dalam kota ramai dilalui orang sehingga mudah meminta pertolongan.
Selain itu, ada pihak berwenang yang
menjaga keamanan. Oleh karena itu, perampokan di dalam kota tidak murni
memerangi Allah sehingga tidak dapat dikenai had hirabah.
Pendapat Jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Zhahiriyah):
ﺃﻥ
ﺗﻘﻊ ﺟﻨﺎﻳﺔ ﺍﻟﻤﺤﺎﺭﺑﺔ ﻓﻲ ﺧﺎﺭﺝ ﺍﻟﻤﺼﺮ ﺃﻭ ﻓﻲ ﺩﺍﺧﻠﻪ
“Perampokan bisa dilakukan di luar kota atau di dalam”.
Adapun penjelasan dari Satria Effendi, bahwa yang menjadi
pertimbangan penting dalam merumuskan kualifikasi jarimah hirabah adalah adanya tindakan kekerasan di suatu tempat yang jauh
dari tempat meminta pertolongan. Tindakan ini melahirkan ketakutan yang bisa
terjadi di mana saja, termasuk di rumah. Oleh karena itu, tempat perampokan
tidak di batasi di jalan tetapi dapat terjadi di mana saja. Bahkan akhir-akhir
ini, perampokan bersenjata di rumah-rumah lebih menakutkan dibanding dengan di
jalan-jalan.
c.
Kaidah
ketiga tentang keharusan menggunakan senjata:
ﺃﻥ
ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻊ ﺍﻟﻤﺤﺎﺭﺑﻴﻦ ﺳﻼﺡ
“Orang-orang yang merampok itu harus menggunakan senjata”.
Kaidah
ini mengandung arti bahwa suatu tindakan pengambilan harta secara paksa
dikualifikasikan sebagai jarimah hirabah
jika para pelakunya menggunakan senjata.
6. Jarimah
Pemberontakan
a.
Kaidah
pertama tentang menolak imam berbuat maksiat:
ﺍﻹﻣﺘﻨﺎﻉ
ﻋﻦ ﺍﻟﻂﺎﻋﺔ ﻓﻲ ﻣﻌﺼﻴﺔ ﻟﻴﺲ ﺑﻐﻴﺎ
“Menolak taat (perintah imam) berbuat maksiat bukan
merupakan jarimah bughat”.
Kaidah
ini mengandung arti bahwa orang yang tidak mematuhi perintah Imam berbuat
maksiat tidak dapat dikategorikan sebagai pemberontak. Sebab ketundukan atau
ketaatan rakyat kepada pemimpinnyatidak bersifat mutlak, tetapi terbatas pada
hal-hal yang bukan maksiat.
b.
Kaidah
kedua tentang keharusan adanya pengerahan kekuatan:
ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ
ﻋﻠﻰ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺑﻌﺪﻡ ﺍﻟﻘﻮﺓ ﻟﻴﺲ ﺑﻐﻴﺎ
“Menentang imam tanpa disertai pengerahan kekuatan
bukan merupakan jarimah bughat”.
Kaidah
ini mengandung arti bahwa sikap menentang Imam atau tidak tunduk terhadap
perintahnya tanpa disertai dengan tindakan perlawanan atau pengerahan kekuatan
belum dapat dikategorikan sebagai jarimah pemberontakan. Misalnya, seperti
sikap Ali bin Abi Thalib yang tidak membai’at Abu Bakar selama beberapa bulan;
Sa’ad bin Ubadah yang tidak pernah membai’at Abu Bakar sampai mati; Abdullah
bin Umar dan Zubair yang tidak membai’at Yazid bin Mu’awiyah.
7. Jarimah
Riddah
a.
Kaidah
pertama tentang meninggalkan kewajiban:
ﻛﻞ
ﻣﻦ ﺍﻣﺘﻨﻊ ﻋﻦ ﺇﺗﻴﺎﻥ ﻓﻌﻞ ﻳﻮﺟﺒﻪ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻣﻊ ﺍﺳﺘﺤﻼﻝ ﻋﺪﻡ ﺇﺗﻴﺎﻧﻪ ﻓﻬﻮ ﺭﺍﺟﻊ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ
“Setiap orang yang menolak melakukan perbuatan yang
diwajibkan Islam kepadanya disertai dengan keyakinan halal meninggalkannya maka
dia telah keluar dari Islam”.
Kaidah
ini mengandung arti bahwa orang yang tidak menunaikan kewajiban yang dibebankan
kepadanya oleh syariat Islam dengan alasan bahwa perbuatan itu bukan wajib,
maka ia dapat dikualifikasikan sebagai orang yang telah keluar dari Islam atau
telah berbuat jarimah riddah. Misalnya, seseorang tidak mau melaksanakan shalat
wajib dengan alasan bahwa shalat tersebut tidak wajib. Tetapi orang yang tidak
melaksanakan shalat wajib karena malas dikualifikasikan telah fasiq atau ‘ashy (pelaku maksiat) dan termasuk jarimah ta’zir.
b.
Kaidah
kedua tentang melakukan perbuatan yang diharamkan:
ﻛﻞ
ﻣﻦ ﺃﺗﻰ ﺍﻟﻤﺤﺮﻣﺎﺕ ﻣﻊ ﺍﺳﺘﺤﻼﻝ ﺇﺗﻴﺎﻧﻬﺎ ﻓﻬﻮ ﺭﺍﺟﻊ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ
“Setiap keyakinan yang berlawanan dengan (aqidah)
Islam menunjukkan telah keluar dari Islam”.
Kaidah
ini mengandung arti bahwa orang yang melanggar larangan-larangan syariat Islam
disertai dengan keyakinan bahwa hal tersebut tidak dilarang, maka ia telah
keluar dari Islam. Misalnya, seorang berzina dengan keyakinan bahwa zina itu
tidak haram, maka ia telah keluar dari Islam. Apabila ia melakukannya karena
melanggar keharaman disertai keyakinan bahwa perbuatan tersebut dilarang, ia
tidak keluar dari Islam melainkan telah berbuat maksiat atau melakukan jarimah
zina.
c.
Kaidah
ketiga tentang keyakinan yang keluar dari Islam:
ﻳﻌﺘﺒﺮ
ﺧﺮﻭﺟﺎ ﻋﻦ ﺍﻹﺴﻼﻡ ﻛﻞ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩ ﻣﻨﺎﻑ ﻟﻺﺳﻼﻡ
“Setiap keyakinan yang berlawanan dengan (aqidah)
Islam menunjukkan telah keluar dari Islam”.
Diantara
contoh-contoh keyakinan yang bertentangan dengan Islam adalah keyakinan bahwa
al Quran itu bukan dari Allah melainkan kata-kata Muhammad; Muhammad adalah
pendusta; ada lagi nabi terakhir setelah kenabian Muhammad; dan Ali bin Abi
Thalib adalah Tuhan. Akan tetapi keyakinan-keyakinan tersebut belum dapat
dikualifikasikan jarimah riddah yang dikenai had jika belum dinyatakan dengan
ucapan atau perbuatan. Sebab Allah memaafkan ummat-Nya dari apa yang dibisikkan
hatinya selama belum diungkapkan atau dikerjakan.
D. Ta’zir
Hukuman ta`zir ialah kesalahan-kesalahan yang
hukumannya merupakan dera, yaitu penjenayah-penjenayah tidak
dijatuhkan hukuman hudud atau qisas. Hukuman ta`zir adalah hukuman yang tidak
ditentukan kadar atau bentuk hukuman itu di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Jenis, kadar dan bentuk hukuman ta`zir itu
adalah terserah kepada kearifan hakim untuk menentukan dan memilih hukuman yang
patut dikenakan ke atas penjenayah-penjenayah itu kerana hukuman ta`zir itu
adalah bertujuan untuk menghalang penjenayah-penjenayah mengulangi kembali
kejahatan yang mereka lakukan tadi dan bukan untuk menyiksa mereka. [5]
1.
Kaidah
pertama tentang kualifikasi jarimah ta’zir:
كل
معصية لا حد فيها ولا كفارة فهو التعزير
“Setiap perbuatan maksiat yang tidak dikenai sanksi
had atau kaffarat adalah jarimah ta’zir”
Kaidah
ini mengandung arti bahwa setiap perbuatan maksiat yang tidak dapat diokenai
sanksi hudud atau kaffarah dikualifikasikan sebagai jarimah ta’zir. Para fiqaha
sepakat bahwa yang dimaksud dengan perbuatan maksiat adalah meninggalkan
kewajiban dan melakukan hal-hal yang dilarang. Tidak melaksanakan sholat wajib;
tidak menunaikan zakat; atau mengkhianati adalah perbuatan maksiat dengan cara
meninggalkan kewajiban. Sedangkan mengurangi timbangan; berdusta; atau
berkhulwat adalah perbuatan maksiat dengan cara melakukan hal-hal yang
dilarang. Seluruh perbuatan tersebut dapat dikenai sanksi ta’zir.
2.
Kaidah
kedua tentang percobaan melakukan jarimah:
أن
الشروع في الجريمة لا يعاقب عليه بقصاص ولا حد وانما يعاقب عليه بالتعزير أيا كان
نوع الجريمة
“Percobaan melakukan jarimah, apapun jarimahnya, tidak
bisa dikenai hukuman qishash atau hudud melainkan ta’zir”.
Kaidah ini mengandung arti bahwa percobaan melakuakn
jarimah hudud atau qisash tidak dapat dikategorikan telah melakuakn jarimah
tersebut secara sempurna sehingga tidak bias dikenai had atau qisash, melainkan
ta’zir. Hukuman itupun diberikan jika di antara percobaan tersebut telah dapat
dikategorikan perbuatan maksiat, sesuai dengan kaidah berikut:
تعاقب
علي الشروع في كل جريمة اذا كون الفعل غير التام معصية
“Percobaan
melakukan jarimah akan mendapat hukuman, jika perbuatan percobaan itu merupakan
perbuatan maksiat”.
3.
Kaidah
ketiga tentang kebolehan memberikan hukuman kepada pelaku percobaan pada
jarimah ta’zir:
لا
يتساوى عقاب الجريمة التامة بالجريمة التي لم تتم الا في الجرائم التغزير
“Jarimah yang seselai berbeda sanksinya dengan jarimah
yang belum selesai kecuali pada jarimah-jarimah ta’zir”.
Kaidah
ini mengandung arti bahwa hukuman bagi pelaku percobaan melakukan jarimah hudud
atau qisash tidak sama dengan hukuman bagi pelaku tersebut yang telah selesai
dengan sempurna. Sedangkan pada jarimah ta’zir, boleh memberikan hukuman bagi
pelaku percobaan. Sebab, pemberian sanksi ta’zir menjadi hak imam sesuai dengan
tuntutan kemaslahatan.
4.
Kaidah
keempat tentang pengurungan maksud berbuat jarimah:
اذا
عدل الجاني عن اتمام الجريمة لأي سبب غير التوبة فهو مسءول عن الفعل كلما اعتبر
الفعل المعصية
“Apabila pelaku jarimah tidak menyelesaikan perbuatan
jarimahnya karena alasan-alasan selain taubat, maka dia harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya selama perbuatan tersebut merupakan
perbuatan maksiat”.
Kaidah ini merupakan kelanjutan dari kaidah di atas yang
mengandung arti bahwa pengurungan diri dari perbuatan jarimah dapat
menggugurkan hukuman dengan syarat dilakukan karena kesadaran diri atau taubat,
bukan karena pengaruh dari luar seperti tertangkap basah. Jarimah yang
dilakukan pun harus berkenaan dengan hak Allah atau jama’ah. Kaidah ini
dipegang oleh sebagian syafi’iyah dan hanabilah. Mereka menyatakan:
التوبة
تسقط العقوبة مما يتعلق بحق الله
“Taubat dapat menggugurkan hukuman pada
jarimah-jarimah yang berhubungan dengan hak Allah”.
Berbeda dengan malik, Abu Hanifah, dan sebagian
Syafi’iyah dan Hanabilah lainnya menyatakan bahwa:
ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ
ﻻﺗﺴﻘﻄ ﺍﻟﻌﻘﻮﺑﺔ ﺇﻻ ﻓﻲ ﺟﺮﻳﻤﺔ ﺍﻟﺤﺮﺍﺑﺔ
“Taubat tidak dapat menggugurkan hukuman kecuali pada
jarimah hirabah (perampokan)”.[6]
E. Manfaat Mempelajari Fiqh Jinayat
Diantara manfaat mempelajari fiqh jinayah adalah:
1.
Menjaga keselamatan nyawa daripada berlaku
berbunuhan sesama sendiri dan sebagainya.
2. Menjaga
keamanan maruah di dalam masyarakat daripada segala fitrah tuduh-menuduh.
3. Menjaga
keamanan maruah di dalam harta benda dan nyawa daripada kecurian, ragut dan
lain-lain.
4. Berhubung
dengan keamanan negara dan menyelenggarakan keselamatan diri.
5. Perkara
yang berhubung di antara orang-orang Islam dengan orang-orang kafir di dalam
negara Islam Pembunuhan.[7]
BAB III KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Jinayat menurut
tradisi syari’at Islam ialah segala tindakan yang dilarang oleh hukum syariat untuk
melakukannya yakni perbuatan itu harus dihindari. Hukuman yang bersifat materi
ini ini dikompirmasikan bahwa Islam meletakkan penghormatan terhadap jiwa,
sehingga tidak ada seorang pun yang menganggap remeh masalah ini. Selain
menghormati jiwa, Islam pun memandang berbagai aspek yang berhubungan dengan
kemaslahatan umat banyak, sehingga jelaslah jinayat itu penting untuk
dipelajari dan digunakan dalam tatacara kehidupan.
Dari uraian
pembahasan, dibahas bagaimana Allah SWT memperhatikan segala aspek kehidupan
hamba-Nya, begitupun dalam hadits rasul, sehingga lahirlah ijtihad yang
memunculkan secara praktis teoritis tentang pentingnya fiqh jinayat. Inilah
yang menjadikan “dasar-dasar syara menghargai Fiqh jinayat dan
kegunaannya”.
Kaidah-kaidah tentang jinayat
diantaranya:
1. Kaidah Qishash
2. Kaidah Hudud yang meliputi: Jarimah Zina, Jarimah Qadzaf,
Jarimah Minum Khamr, Jarimah Pencurian, Jarimah Perampokan, Jarimah
Pemberontakan, dan Jarimah Riddah. Dan,
3. Kaidah Ta’zir
B.
Saran
Didalam penulisannya
serta penyusunan makalah ini kami
menyadari masih terdapat banyak kesalahan serta kekurangan , baik itu dari segi
pembahasan, penulisan, serta penyusunan kata. Maka dari itu kami mohon maaf dan
kritik dan sarannya agar dapat menyusun makalah berikutnya agar baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
http://zulfikriabd.blogspot.com/2013/06/fiqh-jinayat-dan-siyasah.html
[1]
http://salafytobat.wordpress.com/2008/09/01/fiqh-jinayat-pembunuhan-zina-liwath-qazaf-khamr-pencurian-dsb/
[2]
http://zulfikriabd.blogspot.com/2013/06/fiqh-jinayat-dan-siyasah.html
[3]
http://salafytobat.wordpress.com/2008/09/01/fiqh-jinayat-pembunuhan-zina-liwath-qazaf-khamr-pencurian-dsb/
[4]
http://salafytobat.wordpress.com/2008/09/01/fiqh-jinayat-pembunuhan-zina-liwath-qazaf-khamr-pencurian-dsb/
[5]
http://salafytobat.wordpress.com/2008/09/01/fiqh-jinayat-pembunuhan-zina-liwath-qazaf-khamr-pencurian-dsb/
[7] http://salafytobat.wordpress.com/2008/09/01/fiqh-jinayat-pembunuhan-zina-liwath-qazaf-khamr-pencurian-dsb/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar