MAKALAH
SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS MASA KODIFIKASI
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah “Ulumul Hadits”
Dosen : Lailatul Qadariyah, S.Hi, M.Ei
Oleh kelompok:
Ulfatun Nazilah
Dalilatus Shobahah
Irodatul Mughitsah
Moh.Ayyub
PRODI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS ILMU-ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
TAHUN 2013
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
warahmatullahi wabarokatuh
Puji
syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat,taufik dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ‘sejarah perkembangan hadits masa
kodifikasi’ ini. Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah ulumul hadits, makalah
ini juga bisa menjadi penunjang bagi mahasiswa dalam mata kuliah ulumul hadits
khususnya tentang sejarah perkembangan hadits masa kodifikasi.
Makalah ini mengulas sedikit tentang
sejarah perkembangan hadits pada masa kodifikasi, yang sub pokok bahasannya
meliputi pengertian kitabah dan tadwin serta hadits sejak abad ke II hijriyah
(periode ke empat) sampai sekarang.
Kami menyadari bahwa dalam makalah
ini tentunya masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu, kepada
para pembaca dan pakar hadits dimohon saran dan kritiknya yang bersifat
membangun demi kesempurnaan isi makalah ini.Kami mengucapkan banyak terima
kasih kepada semua pihak atas bantuan dan kerja samanya demi selesainya makalah
ini.
Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak baik para mahasiswa dan
masyarakat pada umumnya. Amien....
Wassalamualaikum
warahmatullahi wabarokatuh
Bangkalan, 07 maret 2013
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan Masalah
C.
Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kitabah dan
Tadwin
B.
Hadits Sejak Abad ke II
Hijriyah (Periode ke-4) sampai Sekarang
1. Periode
ke-4 (Abad II Hijriyah)
2. Periode
ke-5 (Abad III Hijriyah)
3. Periode
ke-6 (Abad IV sampai Pertengahan Abad VII Hijriyah)
4. Periode
ke-7 (Mulai Pertengahan Abad VII sampai Sekarang
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits atau lebih dikenal dengan sunnah adalah
segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.baik
berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi SAW. Dan peran hadits sebagai
salah satu sumber ajaran islam yang diakui oleh mayoritas madzhab, tidak dapat
dinafikan.
Kendati
demikian, keberadaan hadits dalam proses tadwin(kodifikasi)nya
sangat berbeda dengan Al-Qur’an. Sejarah hadits dan periodisasi penghimpunannya
lebih lama dibandingkan Al-Qur’an. Hadits butuh waktu 3 abad untuk
pentadwinannya secara menyeluruh, karena banyak liku-liku dalam sejarah
pengkodifikasian hadits yang berlangsung waktu itu.
Makalah
ini disusun berdasarkan masalah diatas, juga untuk memenuhi tugas kolompok mata
kuliah ulumul hadits.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini
adalah:
1.
Apa pengertian kitabah dan
tadwin?
2.
Bagaimana sejarah
perkembangan hadits pada abad ke-II Hijr sampai sekarang?
C. Tujuan
Tujuan makalah ini ditulis adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui pengertian
kitabah dan tadwin
2.
Untuk mengetahui sejarah
perkembangan hadits pada abad ke-II Hijr sampai sekarang
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kitabah dan Tadwin
Dalam
penulisan hadits Nabi SAW.sejak beliau masih hidup sampai khalifah Umar bin
Abdul Aziz sering muncul istilah: Al-Kitabah, At-Tadwin, At-Tasnif.
Al-Kitabah
secara etimologi berasal dari bahasa arab yang artinya penulisan. Sedangkan
menurut terminologi adalah penulisan hadits secara pribadi. Seperti penulisan
hadits yang terjadi sejak Nabi SAW., Khulafaur Rasyidin sampai pada masa Umar
bin Abdul Aziz. Diantara sahabat yang telah menulis hadits adalah Abdullah bin
Amr bin As (27 H-63H) dengan kumpulan hadits Shahifah As-Shadiqah, Shahifah Jabir bin Abdillah yang ditulis oleh
Jabir bin Abdillah bin Amr Al-Anshari (16 H-78 H) yang masih utuh sampai masa
tabi’in. Anas bin Malik (10 H-93 H), As-Shahifah
As-Shahihah yang disusun oleh Abu Hurairah Ad-Dausi (19 H-59 H) maupun Ali
bin Abi Thalib (23 H-40 H).
At-Tadwin
artinya kodifikasi (pembukuan/pencatatan). Sedangkan menurut terminologi adalah
pengumpulan/penyusunan hadits yang secara resmi didasarkan perintah khalifah
dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam masalah ini, bukan yang
dilakukan secara perorangan seperti yang terjadi dimasa sebelumnya. Seperti
pada saat Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah pada tahun 99-101 H, kemudian
tahun 100 H meminta gubernur Madinah yakni Abu Bakar bin Muhammad bin Amir bin
Hazm supaya membukukan hadits Rasul yang terdapat pada para penghafal hadits
diantaranya Amrah bin Abd Rahman Al-Anshariyah dan Al-Qasim bin Muhammad bin
Abi Bakr Ash-Shiddiq dan juga kepada Ibnu Syihab Az-Zuhri.
At-Tasnif
artinya klasifikasi, kategorisasi menurut istilah mengandung makna usaha
menghimpun atau menyusun beberapa hadits (kitab hadis) dengan membubuhi
keterangan mengenai arti kalimat yang sulit-sulit dan memberi interpretasi
sekedarnya. Jika dalam memberikan interpretasi itu dengan jalan mempertalikan
atau menghubungkan dan menjelaskan dengan hadits lain, dengan ayat-ayat
Al-Quran atau dengan ilmu-ilmu lain maka sharah
dan meringkas. At-Tasnif ini muncul pada abad ke V dan seterusnya yaitu
abad periodisis klasifikasi dan sistematisasi susunan kitab-kitab hadits.
Mengutip
kitab Al-Muhith, Al-Fairuz mengatakan bahwa: “tajwid secara bahasa
diterjemahkan dengan kumpulan shahifah (mujtama’ Al-shuhuf). Menurut
Dr.Muhammad ibnu Mathar Al-Zahrani tadwin adalah ; “mengikat yang berserakan
lalu mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari
lembaran-lembaran. Sedangkan secara luas tadwin sendiri diartikan dengan
Al-Jam’u (mengumpulkan).
Apabila merujuk dari 2 pengertian diatas dapat disimpulkan pentadwinan
hadits bisa diartikan Diwanul Hadits dalam bahasa indonesianya tadwin ini lebih
umum dikenal dengan nama kondifikasi.[1]
B.
Sejarah Perkembangan Hadits pada Abad ke-II Hijr
Sampai Sekarang
Sejarah
berkembangnya hadits merupakan Masa atau priode yang telah dilalui oleh hadits
dari masa dan lahirnya dan tumbuh dalam perkenalan, penghayatan, dan pengalaman
umat dari generasi kegenerasi. Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui
hadits sejak masa timbulnya/lahirnya dizaman Nabi SAW. Meneliti dan membina
hadits, serta segala hal yang mempengaruhi hadits tersebut. Para ulama
Muhadditsin membagi sejara hadits dalam beberapa priode. Adapun para ulama
penulis sejarah hadits berbeda-beda dalam membagi priode sejarah hadits. Ada
yang membagi dalam tiga priode, lima dan tujuh priode.
Dalam tataran
praktiknya, ilmu hadits sudah ada sejak priode awal islam atau sejak priode
Rasulullah SAW., paling tidak, dalam arti dasar-dasarnya. Ilmu ini muncul
bersamaan dengan mulainya periwayatan hadits yang disertai dengan tingginya
perhatian dan selektivitas sahabat dalam menerima riwayat yang sampai kepada
mereka. Berawal dengan cara yang sangat sederhana, ilmu ini berkembang
sedemikian rupa seiring berkembangnya masalah yang dihadapi. Pada akhirnya,
ilmu ini melahirkan berbagai cabang ilmu dengan metodologi pembahasan yang
cukup rumit.
M. Hasbi
Asy-Shiddieqy membagi perkembangan hadits menjadi tujuh priode, sejak priode
Nabi SAW.hingga sekarang, yaitu:
a. Periode
pertama: perkembangan hadits pada masa Rasulullah SAW.
b. Periode
kedua: perkembangan hadits pada masa Khulafaur Rasyidin
c. Periode
ketiga: perkembangan hadits pada masa Sahabat Kecil dan Tabi’in
d. Periode
keempat: perkembangan hadits pada abad II dan III Hijriyah
e. Periode
kelima: masa men-tansikh-kan hadits
dan menyusun kaidah-kaidahnya
f. Periode
keenam: dari abad IV hingga tahun 656 H
g. Periode
ketujuh: 656 H-sekarang[2].
1.
Pendapat Tentang Waktu Kodifikasi Hadits
Beberapa pendapat yang berbeda berkembang mengenai kapan kodifikasi
hadits secara resmi serentak dimulai. Beberapa pendapat tersebut adalah:[3]
1.
kelompok Syi’ah mendasarkan pendapat Hasan
Al-Sadr (1272-1354 H), yang menyatakan bahwa penulisan hadits telah ada sejak
masa Nabi dan kompilasi hadits telah ada sejak awal khalifah Ali bin Abi Thalib
(35 H), terbukti dengan adanya kitab Abu Rafi’, kitab As-Sunan Wa Al-Ahkam Wa
Al-Qadaya.
2.
Sejak abad I H, yakni atas
prakarsa seorang gubernur Mesir Abdul Aziz bin Marwan yang memerintahkan kepada
Kathir bin Murrah, seorang ulama’ Himsy untuk mngumpulkan hadits, yang kemudian
disanggah Syuhudi Ismail deangan alasan bahwa perintah Abdul Aziz bin Marwan
bukan merupakan perintah resmi, legal dan kedinasan terhadap ulama’ yang berada
diluar wilayah kekuasaannya.
3.
Sejak awal abad II H, yakni
masa khalifah ke-8 Dinasti Umayyah, Umar bin Abdul Aziz yang memerintahkan
kepada semua gubernur dan ulama’ diwilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan
hadits-hadits Nabi. Khalifah ini terkenal dengan sebutan kehormatan yakni Umar
II, yang mengisyaratkan pengakuan bahwa beliau adalah pelanjut kekhalifahan
Umar bin Khattab yang bijak. Khalifah Umar mengintruksikan kepada gubernur
Madinah Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm(ibn Hazm) untuk mengumpulkan
hadits yang ada padanya dan pada Tabi’in wanita Amrah binti Abdur Rahman bin Sa’ad
bin Zurarah bin ‘Ades, murid Aisyah Ummul Mukminin serta hadits yang ada
pada Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar
As-Shiddiq. Kepada Abu Bakar Muhammad bin
Amr bn Hazm beliau menyatakan:
“lihat dan periksalah apa yang dapat
diperoleh dari hadits Rasulullah, lalu tulislah karena aku takut akan lenyap
ilmu disebabkan meninggalnya ulama’ dan jangan anda terima selain hadits
Rasulullah SAW. dan hendaklah anda sebarkan ilmu dan mengadakan majelis-majelis
ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya, lantaran tidak
lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia”. [4]
Berdasarkan
intruksi resmi khalifah itu, Ibn Hazm minta bantuan dan mengintruksikan kepada
Abu Bakar Muhammad bin Muslim bn Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhry(Ibnu Syihab
Az-Zuhry) seorang ulama’ besar dan mufti Hijaz dan Syam untuk turut membukukan
hadits Rasulullah SAW.
Pendapat
ketiga ini yang dianut jumhur ulama’ hadits dengan mempertimbangkan jabatan
khalifah gaungnya lebih besar daripada seorang gubernur. Khalifah memerintah
kepada para gubernur dan ulama’ dengan perintah resmi dan legal serta adanya
tindak lanjut yang nyata dari para ulama’ masa itu untuk mewujudkannya dan
kemudian menggandakan serta menyebarkan keberbagai tempat.
Dengan demikian, penulisan hadits yang sudah ada dan marak tetapi belum
selesai ditulis pada masa Nabi SAW, baru diupayakan kodifikasinya secara
serentak, resmi dan massal pada awal abad II H, yakni masa Umar bin Abdul Aziz,
meskipun bisa jadi inisiatif tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Masir yang
pernah mengisyaratkan hal yang sama sebelumnya[5].
2.
Latar Belakang Kodifikasi (Tadwin) Hadits
Pembukuan
hadits dimulai pada akhir abad pertama hijriyah dan rampung pada pertengahan
abad ketiga. Hal ini tidak terlepas dari adanya dorongan pembukuan hadits oleh
khalifah Umar bin Abdul Aziz (wafat 102 H) dari bani Umayyah. Pada waktu itu,
beliau adalah khalifah ke-8 Bani Umayyah yang naik tahta pada tahun 99 H.
Beliau dikenal sebagai orang yang adil dan wara’ bahkan sebagian ulama’
menyebutnya sebagai Khulafaur Rasyidin ke-5. Tergeraklah hatinya untuk
membukukan hadits dengan motif:
1.
Beliau khawatir ilmu hadits
akan hilang karena belum dibukukan dengan baik
2.
Kemauan beliau untuk
menyaring hadits palsu(maudhu’) yang banyak beredar
3.
Al-Qur’an sudah dibukukan
dalam mushaf, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran bercampur dengan hadits,
bila hadits dibukukan
4.
Peperangan dalam penaklukan
negeri-negeri yang belum islam dan peperangan antar sesama kaum muslimin banyak
terjadi. Dikhawatirkan ulama’ hadits berkurang karena wafat dalam
peperangan tersebut.
Dari sudut
analisis politik, tindakan Umar II ini adalah untuk menemukan dan mengukuhkan
landasan pembenaran bagi ideologi jama’ahnya, yang dengan ideologi itu beliau
ingin merangkul seluruh kaum muslim tanpa memandang aliran politik atau
pemahaman keagamaan mereka, termasuk syi’ah dan khawarij yang merupakan kaum oposan
terhadap rezim Umayyah. Umar II melihat bahwa sifat yang serba akomodatif pada
semua kaum muslim tanpa memandang aliran politik atau paham keagamaan khasnya
itu telah diberikan contohnya oleh penduduk Madinah, dibawah kepeloporan
tokoh-tokohnya seperti Abdullah ibn Umar (ibn Al-Khattab), Abdullah bn Abbas
dan Abdullah bin Mas’ud.
Musthafa al-Siba’i dalam majalah Al-Muslimin seperti yang dikutip
Nurcholis Majid sangat menghargai kebijakan Umar II berkenaan dengan pembukaan
sunnah itu, sekalipun ia menyesalkan sikap khalifah yang baginya terlalu banyak
memberi angin pada kaum syi’ah dan khawarij (karena dalam pandangan al-siba’i,
golongan oposisi itu kemudian mampu memobilisasi diri sehingga dalam
kolaborasinya dengan kaum Abbasi, mereka akhirnya mampu meruntuhkan Dinasti
Umayyah dan melaksanakan pembalasan dendam yang sangat kejam). Dan menurut
al-siba’i, sebelum masa Umar II sebetulnya sudah ada usaha-usaha pribadi untuk
mencatat hadits, sebagaimana dilakukan oleh Abdullah bin Amr bin Ash.[6]
3.
Periode keempat (Abad II Hijry)
Periode
ini disebut masa penulisan dan pendewanan/pembukuan hadits.
Periode
keempat ini, dimulai pada masa Pemerintah Amawiyah angkatan kedua (mulai
Khalifah Umar bin Abdul Aziz) sampai akhir Abad II Hijry (menjelang akhir masa
Dinasti Abbasiyah angkatan pertama).[7]
Ø
Pelopor Pendewanan Hadits (Kodifikator) Hadits
Diantara
gubernur yang menerima intruksi dari khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk
mendewankan hadits itu adalah gubernur Madinah yang bernama: Abu Bakar Muhammad
ibnu Amr ibnu Hazm atau Muhammad ibnu Hazm. Selain sebagai gubernur, beliau
juga sebagai seorang ulama’. Intruksi itu berisi supaya gubernur segera
membukukan hadits-hadits yang dihafal oleh para penghafal hadits di Madinah,
antara lain:
1.
Amrah binti Abdir Rahman
ibnu Saad ibnu Zurarah ibnu Ades, seorang ahli fiqih murid sayyidina Aisyah ra.
2.
Al-Qasim ibnu Muhammad ibnu
Abu Bakar As-Shiddiq, salah seorang pemuka tabi’in dan salah seorang Fuqaha
Tujuh.
(yang
dimaksud Fuqaha Tujuh adalah: Al-Qasim, Urwah ibnu Zubair, Abu Bakar ibnu Abdir
Rahman, Said ibnu Musayyab, A bdillah ibnu Abdullah ibnu Utbah ibnu Mas’ud,
Kharijah ibnu Zaid ibnu Tsabit, Sulaiman ibnu Yassar).
Muhammad
ibnu Hazm melaksanakan tugas itu dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya intruksi
Umar bin Abdul Aziz juga telah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh salah
seorang ulama’ hadits yang masyhur sebagai ulama’ besar di Hijaz dan Syam,
bernama Abu Bakar Muhammad ibnu Muslim ibnu Ubaidillah ibnu Syihab Az-Zuhry,
yang dikenal juga dengan nama Muhammad ibnu Syihab Az-Zuhry.
Setelah
berhasil mendewankan hadits-hadits Rasulullah, Muhammad ibnu Syihab Az-Zuhry
mengirimkan dewan-dewan haditsnya kepada penguasa-penguasa daerah. Dengan
demikian, maka pelopor pendewan (kodifikator) hadits hadits yang pertama atas intruksi khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah:
1.
Muhammad ibnu Hazm (wafat
tahun 117 H)
2.
Muhammad ibnu Syihab
Az-Zuhry (wafat tahun 124 H)
Yang lebih
tepat dikatakan sebagai kodifikator hadits yang pertama adalah Muhammad ibnu
Syhab Az-Zuhry karena beliau mempunyai beberapa kelebihan dalam mendewankan
hadits daripada Muhammad ibnu Hazm,
yaitu beliau ulama’ besar dalam bidang hadits, mendewankan hadits mencakup
seluruh Hadits yang ada di Madinah, mengirim pendewanannya masing-masing satu
rangkap ke penguasa daerah sehingga mudah tersebar. Namun sayangnya, kedua
macam dewan hadits yang disusun oleh Muhammad ibnu Hazm dan Muhammad ibnu
Syihab Az-Zuhry telah lama hilang dan
sampai sekarang belum diketahui dimana berada.
Selanjutnya,
muncullah masa pendewanan berikutnya(sebagai masa pendewanan kedua) atas
anjuran khalifah Bani Abbasiyah, diantaranya oleh khalifah Abu Abbas As-Saffah.
Ulama’-ulama’ yang terkenal telah berhasil mendewankan hadits-hadits Nabi
setelah Muhammad ibnu Hazm dan Muhammad ibnu Syihab Az-Zuhry adalah:
1.
Di Mekkah : Abdul malik bin Abdul Aziz bin juraij (80
– 150 H/669 – 767M)
2.
Di Madinah :
1.Ibnu Ishaq (wafat 151 H/768M)
2.Malik bin Anas (93 H –
179 H/703M)
3.
Di Bashrah : 1.Ar-rabi’ Ibnu shabih (wafat 160 H)
2.Sahid Ibnu
Abi Arubah (wafat 156 H)
3.Hammad
Ibnu Salamah (wafat 176 H)
4.
Di Kufah : Sufyan Ats-Tsauri (wafat th. 161 H)
5.
Di Syam : Al-Auza’iy (wafat th. 156 H)
6.
Di Wasith : Husyain Al-Wasithy (wafat th. 188H/804
M)
7.
Di Yaman : Ma’mar Al-Azdy (95-153 H/753-770 M)
8.
Di Rei : Jarir Adl-Dlabby (110-188
H/728-804 M)
9.
Di Khurasan : Ibnu mubarok
(118-181 H/735-797 m)
10. Di Mesir : Al-Laits ibnu
sa’ad (wafat th : 175 H)
Para ulama
di atas, masa hidupnya hampir bersamaan, karenanya itu, sulit ditentukan siapa
yang lebih tepat untuk disebut sebagai pendewan/kodifikator hadits yang pertama.
Selain itu, bahwa mereka bersama, telah berguru kepada Muhammad Ibnu Hazm dan
Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhry.[8]
Ø
Kitab-kitab Hadits Pada Periode IV (Abad 11 Hijry)
Di antara
kitab-kitab/dewan hadits yang disusun pada abad 11 Hijry, periode IV ini, yang sangat
mendapatkan perhatian dari kalangan ulama, ialah:
1.
Al-muwattha’, disusun oleh
imam Malik bin Anas, atas permintaan Kholifah Abu Ja’far Al-Manshur. Kitab ini
memiliki kedudukan tersendiri pada periode ini. Buku ini ditulis antara tahun
130-141 H. Buku ini memiliki kurang lebih 1720 hadits, diantaranya:
·
600 haditsnya marfu’ (terangkat sampai kepada Nabi
SAW)
·
222 haditsnya mursal (adanya perawi sahabat yang
digugurkan)
·
617 haditsnya mauquf (terhenti sampai kepada Tabi’in)
·
275 sisanya adalah ucapan Tabi’in.[9]
2.
Musnad
Asy-Syafi’i, susunan imam Syafi’i. Dewan hadits ini, merupakan kumpulan
hadits-hadits yang terdapat dalam kitab beliau yang bernama “Al-Um”.
3.
Mukhaliful Hadits, di susun oleh imam syafi’i.
Didalamnya, dibahas tentang cara-cara menerima hadits sebagai hujjah dan
cara-cara mengkompromikan hadits yang nampak kontradiksi satu sama lain.
4.
As-Siratun Nabawiyah,disusun oleh ibnu ishaq. Berisi,
antara lain tentang perjalanan hidup Nabi dan peperangan-perangan zaman nabi.
5.
Al-Musnad oleh Imam Abu Hanifah An-Nu’man (wafat 150
H)
6.
Al-Musnad oleh Imam Ali Ridha Al-Katsin (148-203 H)
7.
Al-Jami’ oleh Abdul Razaq Al-Hamam Ash Shan’ani (wafat
311 H)
8.
Mushannaf oleh Imam Syu’bah bin Jajaj (80-180 H)
9.
Mushannaf oleh Imam Laits bin Sa’ud (94-175 H)
10.
Mushannaf oleh Imam Sufyan bin ‘Uyaina (107-190 H)
11.
As-sunnah oleh Imam Abdurrahman bin Amr Al-Auza’i
(wafat 157 H)
12.
As-Sunnah oleh Imam abd bin Zubair bin Isa Al-Asadi.
Seluruh
kitab-kitab hadits yang ada pada abad ini tidak sampai kepada kita secara
keseluruhan, tapi hanya ada beberapa saja yang masih bisa kita ketahui dan kita
pelajari.[10].
Ø Ciri-ciri Sistem Pembukuan Hadits pada Periode keempat
(Abad II Hijry)
1. Umumnya
menghimpun dari Hadits Rasul SAW serta Fatwa Sahabat dan Tabi’in. Kitab Hadits
yang hanya menghimpun hadits-hadits Nabi saja
hanyalah kitab yang disusun oleh Muhammad ibnu Hazm. Beliau melakukan
demikian mengingat adanya intruksi khalifah Umar bin Abdul Aziz yang
menyatakan:
“janganlah kamu terima selain dari Hadits Nabi SAW”
2. Himpunan
hadits masih bercampur aduk antara Hadits-hadits Tafsir, Hadits-hadits Sirah
Nabi, Hadits-hadits Hukum, dan sebagainya. Imam Syafi’ilah yang pertama
merintis menyusun kitab hadits berdasarkan judul masalah tertentu, dalam hal
ini yang berhubungan dengan masalah thalaq dalam satu bab.
Belum dijumpai upaya
pengklasifikasian antara Hadits Shahih, Hasan dan Dhaif.[11]
Ø Perkembangan Pemalsuan Hadits dan Upaya Mengatasinya
1.
Motif-motif
Pemalsuan Hadits
a.
Propagandis-propagandis politik, dikarenakan
golongan-golongan yang bertentangan pendapat politiknya sehingga mereka membuat
hadits-hadits palsu yang berisi pemulyaan terhadap golongan sendiri dan
menjatuhkan golongan lawannya. Seperti golongan pendukung Khalifah Abbasiyah
dan golongan pendukung Kholifah Amawiyah
b.
Golongan zindiq(golongan yang pada lahirnya memeluk
islam, tetapi batinnya memusuhi islam
c.
Tukang-tukang cerita untuk menarik orang terhadap apa
yang disampaikannya, apalagi bila dibumbui dengan hal-hal yang menakjubkan,
yang ganjil-ganjil dan menakutkan, berupa kisah-kisah, dogeng-dogeng dan
semacamnya yang celakanya dilengkapi dengan sanad dan dinyatakan berasal dari
Nabi Muhammad.
Penganut ajaran tasawuf karena
pengetahuan agamanya terbatas dan bahkan salah serta merasa tahu. Untuk
memperkuat alasan pemahamannya, mereka membuat hadits-hadits palsu yang
berkisar soal-soal yang berhubungan dengan ”Targhib wat tarhib”(berita-berita
yang menggembirakan dan mencemaskan).[12]
2.
Gerakan
untuk Menumpas Pemalsuan Hadits
a.
Pemerintah, dalam hal ini dari Bani Abbasiyah berusaha
menumpas kaum zindiq.
b.
Para ulama’ berusaha dengan gigih menghadapi
pemalsuan-pemalsuan hadits dengan cara:
1.
Mengadakan perawatan ke daerah-daerah untuk mengecek
kebenaran hadits-hadits yang diterimanya dan meneliti sumber-sumbernya,
kemudian hasilnya mereka siarkan ke masyarakat
2.
Meneliti sanad dan perawi hadits dengan ketat. Riwayat
hidup dan tingkah laku para perawi dan sanad Hadits diselidiki dengan seksama,
sehingga lahirlah istilah-istilah: tsiqah, kadzdzab, fulan la ba’sa bihi, dan
sebagainya.
Sekitar tahun 150 H, ulama’ mulai
memperbincangkan tentang ta’dil dan tajrih. Diantara ulama’ yang terkenal
memiliki ilmu yang mendalam tentang kritik rijalil hadits ada dua orng yaitu:
Yahya ibnu Saad Al-Qatthan (wafat tahun 193 H) dan Abdurrahman ibnu Mahdi (
wafat tahun 198 H).
Ø Golongan Penolak Hadits
Pada periode keempat(abad II) ini
banyak sekelompok orang yang menolak hadits, ada secara keseluruhan baik hadits
ahad maupun mutawatir, dan ada golongan yang hanya menolak hadits ahad saja.
Menghadapi golongan penolak hadits ini, bangunlah imam Syafi’ie membela Hadits
Nabi. Dlam kitabnya Al-Um, beliau menerangkan panjang lebar tentang
alasan-alasan para penolak hadits, kemudian membantahnya satu persatu dengan
mengemukakan alasan yang kuat. Berkat usahanya, beliau diberi gelar sebagai
“Nashirul Hadits”(Penolong Hadits) atau “Multazimus Sunnah”.[13]
4.Periode
kelima (Abad III Hijry)
Periode ini disebut:
Artinya: masa pemurnian, penyehatan
dan penyempunaan
Periode ini dimulai sejak masa akhir
pemerintahan Dinasti Abbasiyah angkatan pertama (Khalifah Al-Ma’mun) sampai
awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah angkatan kedua (Khalifah Al-Muqtadir).[14]
Ø
Keadaan Umat pada Masa Ini
1.
Pertikiaian faham dikalangan
ulama’, yakni murid-murid atau pengikut dari para mujtahid islam dibidang fikih
dan bidang kalam. Sebenarnya antara para mujtahid tidak ada masalah, mereka
saling menghormati dan menghargai pendapat masing-masing. Namun murid-murid
mereka yang beranggapan bahwa pendapat guru dan golongannya saja yang benar.
2.
Pada masa khalifah
Al-Makmun, banyak ulama’ hadits yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah Qadim
dipenjarakan,disiksa dan dirantai karena Al-Makmun sendiri berpendapat seperti
Mu’tazilah bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Al-Makmun menyiasati hal itu demi
prestasinya sebagai khalifah saat itu. Ulama’ hadits yang keras pendirian saat
itu adalah Imam Ahmad bin Hambal. Keadaan yang tidak Mu’tasim(wafat 227 H) dan
Al-Watsiq(wafat 232 H). Namun, pada masa khalifah Al-Mutawakkil(232 H), ulama’
hadits mulai mendapat angin segar dengan dihadirkan keistana untuk menerangkan
dan menyampaikan hadits Nabi. Sehingga ada ulama’ hadits yang mengatakan bahwa
Al-Mutawakkil adalah khalifah yang menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah.
3.
Sengaja membuat hadits palsu
untuk mengeruhkan suasana dan menyesatkan umat ditengah pertentangan
antarmadzhab fiqh dan madzhab ilmu kalam yang menajam adalah kegiatan para pemalsu
hadits untuk meruntuhkan islam. Selain itu, kaum muslim yang gemar membuat
cerita tidak mau berhenti membuat hadits-hadits palsu guna memperkuat dan
memperindah daya pikat kisah-kisahnya.[15]
Ø
Kegiatan Ulama’ Hadits dalam Melestarikan
Hadits-hadits
1.
Kegiatan yang ditempuh
a.
Mengadakan perlawatan
kedaerah-daerah yang jauh, yang dipelopori oleh Imam Bukhari selama 16 tahun.
b.
Mengadakan klasifikasi
antara hadits marfu’ (yang
disandarkan kepada Nabi), yang mauquf (yang disandarkan kepada Sahabat) dan
yang maqthu’ (yang disandarkan pada
Tabi’in).
c.
Mengadakan seleksi kualitas
Hadits kepada Shahih dan Dha’if, yang dipelopori oleh Ishaq ibnu Ruwaih,
kemudian diikuti Bukhari, Muslim dan dilanjutkan oleh Abu Daud, Turmudzi,
Nasa’iy, Ibnu Majah dan lain-lain.
d.
Menghimpun segala kritik
yang telah dilontarkan oleh ahli ilmu kalam dan lain-lain, baik kritik yang
ditujukan kepada pribadi-pribadi perawi Hadits maupun yang ditujukan kepada
matan-matan Hadits. Diantaranya adalah Ibnu Qataibah dalam kitabnya yang
berjudul: Ta’wilu Mukhtalifil Hadits fir Raddi ‘ala ‘ada’ilil Hadits.
e.
Menyusun kitab-kitab hadits
seperti metode menyusun kitab-kitab fikih yaitu dengan penyajian berdasarkan
bab-bab masalah tertentu, atau dikenal dengan metode Mushannaf. [16]
Ø
Bentuk Penyusunan Hadits pada Periode Kelima (abad III
Hijry)
Bentuk
pendewanan Hadits pada masa ini bisa diklasifikasikan menjadi 3 bentuk, yakni
penyusunan:
1. Kitab Shahih yaitu kitab Hadits yang disusun oleh penyusunnya dengan cara menghimpun
hadits-hadits yang berkualitas shahih, bentuk penyusunannya mushannaf,dan
memuat masalah hukum, aqidah, akhlak, sejarah dan tafsir. Contoh: Al-Jami’us
Shahih, susunan Imam Bukhari atau lebih dikenal dengan Shohih Bukhari.
2. Kitab Sunan yaitu kitab hadits yang oleh penyusunnya, selain dimasukkan dalam
kategori hadits-hadits yang berkualitas shahih, juga dimasukkan kualitas Dha’if
dan diterangkan kedha’ifannya dengan syarat tidak berkualitas mungkar dan tidak
terlalu lemah. Bentuk penyusunannya mushannaf dan hanya terbatas pada masalah
fikih (hukum) dan semacamnya. Contoh: As-Sunan susunan Imam Abu Daud dan lain
sebagainya.
3. Kitab Musnad yaitu kitab hadits yang oleh penyusunnya dihimpun seluruh hadits yang
diterimanya, dengan bentuk susunan berdasarkan nama perawi pertama. Urutan nama
perawi pertama ada yang berdasarkan menurut tertib kabilah, nama sahabat
menurut urutan waktu dalam memeluk agama islam, dan ada bentuk urutan lain.
Contoh: Musnad, susunan Imam Ahmad bin Hambal dan lain sebagainya[17].
Ø
Kitab-kitab Standar
Ulama’
Muta’akhirin menetapkan beberapa kitab hadits sebagai kitab-kitab pokok atau
kitab standar, diantaranya:
1.
Kitab standar yang Lima
(Al-Kutubul Khamsah), yakni: Kitab Shahih Bukhari, Kitab Shahih Muslim, Kitab
Sunan Abi Daud, Kitab Sunan Turmudzi, Kitab Sunan Nasa’iy.
2.
Kitab standar yang Enam
(Al-Kutubus Sittah). Ada sebuah kitab hadits yang oleh ulama’ dimasukkan kelima
kitab standar sebagai kitab standar urutan keenam sehingga menjadi Kutubus
Sittah. Ada banyak pendapat ulama’ tentang kitab standar yang ke enam ini.
a.
Menurut Ibnu Thahir
Al-Maqdisy adalah Sunan Ibnu Majah
b.
Menurut Ibnu Atsir dan
lain-lain adalah Al-Muwattha’ susunan Imam Malik
c.
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqallany
adalah Sunan Ad-Darimy
d.
Menurut Ahmad Muhammad
Syakir adalah Al-Muntaqa susunan Ibnu Jarud
3. Kitab standar yang Tujuh (Al-Kutubus Sab’ah). Ada sebuah kitab hadits
yang oleh ulama’ dimasukkann keenam kitab standar sebagai kitab standar urutan
ketujuh sehingga menjadi Kutubus Sab’ah. Menurut sebagian ulama’ adalah Musnad
Ahmad susunan Ahmad bin Hambal[18].
Ø
Tokoh-tokoh Hadits
Tokoh-tokoh hadits yang lahir pada masa ini adalah:
1.
‘Ali Ibnul Madany
2.
Abu Hatim Ar-Rasy
3.
Muhammad Ibnu Jarir
Ath-Thabari
4.
Muhammad Ibn Sa’ad
5.
Ishaq Ibnu Ruwaih
6.
Ahmad
7.
Al-Bukhari
8.
Muslim
9.
An-Nasa’iy
10.
Abu Dawud
11.
At-Tirmidzi
12.
Ibnu Majah
13.Ibnu Qutaibah Ad-Dainury.[19]
Ø
Kitab-kitab Sunan yang Tersusun pada Masa ini
Kitab-kitab sunan yang tersusun pada abad ketiga ini antara lain:
1.
Al-Musnad, susunan Musa Ibn
‘Abdillah Al-‘Abasy
2.
Al-Musnad, susunan Musaddad
Ibn Musarhad
3.
Al-Musnad, susunan Asad Ibn
Musa
4.
Al-Musnad, susunan Abu Daud
Ath-Thayalisy
5.
Al-Musnad, susunan Nu’aim
Ibn Hammad
6.
Al-Musnad, susunan Abu Ya’la
Al-Maushuly
7.
Al-Musnad, susunan
Al-Humaidy
8.
Al-Musnad, susunan ‘Ali
Al-Madaidi
9.
Al-Musnad, susunan ‘Abid Ibn
Humaid (249 H)
10.
Al-Musnadu Al-Mu’allal,
susunan Al-Bazzar
11.
Al-Musnad, susunan Baqiy Ibn
Makhlad (201-296 H)
12.
Al-Musnad, susunan Ibnu
Rahawaih (237 H)
13.
Al-Musnad, susunan Ahmad Ibn
Ahmad
14.
Al-Musnad, susunan Muhammad
Ibn Nashr Al-Marwazy
15.
Al-Musnad, susunan Abu Bakr
Ibn Abi Syaibah (235 H)
16.
Al-Musnad, susunan Abu
Al-Qasim Al-Baghdawy (214 H)
17.
Al-Musnad, susunan ‘Utsman
Ibn Abi Syaibah (239 H)
18.
Al-Musnad, susunan Abdul
Husain Ibn Muhammad Al-Masarkhasy (298 H)
19.
Al-Musnad, susunan Ad-Darimi
20.
Al-Musnad, susunan Sa’id Ibn
Mansur (227 H)
21.
Tahdzibu Al-Atsarm, susunan
Al-Imam Ibnu Jarir
22.
Al-Jami’u Ash-Shahih,
susunan Bukhari
23.
Al-Jami’u Ash-Shahih,
susunan Muslim
24.
As-Sunan, susunanAn-Nasa’iy
25.
As-Sunan, susunan Abu Dawud
26.
As-Sunan, susunan
At-Tirmidzi
27.
As-Sunan, susunan Ibnu Majah
28.
Al-Muntaqa, susunan Ibnu
Al-Jarud
29.Ath-Thabaqat, susunan Ibnu Sa’ad.[20]
5. Periode
Keenam (Abad IV Sampai Pertengahan Abad VII Hijry)
Periode ini disebut masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan
penghimpunan.[21]
Periode
keenam ini, terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah angkatan kedua (Khalifah
Al-Muqtadir sampai Khalifah Al-Mu’tasim)
Ø
Keadaan Politik pada Masa ini
Sejak abad
IV, daulah Islamiyah mengalami kemunduran. Lahirlah beberapa daulah Islamiyah
kecil yang tak berdaya. Antar daulah tersebut timbul keinginan saling
menguasai, mereka saling menyerang dan saling mengaku sebagai penguasa
tertinggi terhadap daulah Islamiyah yang ada. Dengan keadaan seperti ini, dapat
dibayangkan bahwa betapa lemahnya daulah Islamiyah. Sehingga pada waktu tentara
Tartar (dari Bangsa Mongol) dibawah pimpinan Jengis Khan datang menyerbu, para
penguasa islam sama sekali tidak berdaya lagi. Dan tatkala Holako Khan, cucu
Jengis Khan menyerbu Baghdad dan membunuh Khalifah dari Bani Abbas, maka
sempurnalah keruntuhan kekuasaan islam yang pernah cemerlang dibumi ini. Masa
yang sangat memilukan ini, terjadi pada pertengahan abad VII Hijry, yang oleh
ahli sejarah, ditetapkan sebagai pemisah antara masa sejarah islam kuno dengan
masa sejarah islam pertengahan.
Ø
Kegiatan Ulama’ Hadits pada Periode ini
Walaupun
pada periode ini daulah Islamiyah mulai melemah, namun tidak sedikit ulama’
yang tetap menekuni dan bersungguh-sungguh memelihara dan mengembangkan
pembinaan hadits, sekalipun caranya tidak lagi sama dengan ulama’ periode
sebelumnya. Pada abad ini tinggal sedikit lagi hadits-hadits yang akan
dikumpulkan dan dibukukan, karena sudah dibukukan oleh ulama’ sebelumnya.
Sehingga pada abad ini dapat dijumpai hadits-hadits shahih diluar dari
kitab-kitab hadits pada abad III, antara lain:
1.
As-Shahih, susunan Ibnu
Khuzaimah (313 H)
2.
Al-Mustadrak, susunan
Al-Hakim
3.
Al-Anwa’ wat Taqsim, susunan
Ibnu Hibban (354 H)
4.
Al-Musnad, susunan Abu Awanah
(316 H)
5.
Al-Muntaqa, susunan Ibnu
Jarud
6.
Al-Mukhtarah, susunan
Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisy.[22]
Karena diabad ini ulama’ tidak banyak lagi
yang mengadakan perlawatan kedaerah-daerah, maka Adz-Dzahaby menjadi penghujung
tahun 300 H sebagai batas yang memisahkan antara masa ulama’ Mutaqaddimin dan
ulama’ Muta’akhkhirin[23].
Kegiatan ulama’ yang menonjol dalam
memelihara dan mengembangkan hadits yang telah terhimpun dalam kitab-kitab
hadits tersebut, adalah:
a.
Mempelajarinya
b.
Menghafalnya
c.
Memeriksa dan menyelidiki
sanad-sanadnya
d.
Menyusun kitab-kitab baru
dengan tujuan untuk memelihara, menertibkan dan menghimpun segala sanad dan
matan yang saling berhubungan serta yang telah termuat secara terpisah dalam
kitab-kitab yang telah ada tersebut.
Ø
Ciri-ciri Sistem Pembukuan Hadits pada Masa ini
1.
Kitab Athraf yakni
kitab hadits yang hanya menyebut sebagan
dari matan-matan hadits tertentu kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan
itu, baik sanad yang berasal dari kitab hadits yang dikutip matannya itu maupun
dari kitab-kitab lainnya. Misalnya: Athrafus Shahihaini, susunan Ibrahim
Ad-Dimasyqy (wafat 400 H) dan lain-lain.
2.
Kitab Mustakhraj yaitu
kitab-kitab hadits yang memuat matan-matan hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari atau Muslim atau kedua-duanya atau lainnya, kemudian si penyusun
meriwayatkan matan-matan hadits tersebut dengan sanad sendiri yang berbeda.
Misalnya: Mustakhraj Bukhari-Muslim, susunan Abu Bakar Ibnu Abdan As-Sirazy
(388 H) dan lain sebagainya.
3.
Kitab Mustadrak yaitu kitab
hadits yang menghimpun hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan
Muslim atau yang memiliki salah satu syarat dari keduanya. Misalnya:
Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim (321-405 H) dan lain sebagainya.
4.
Kitab Jami’ yaitu kitab
hadits yang menghimpun hadits-hadits Nabi yang telah termuat dalam kitab-kitab
yang telah ada. Misalnya:
a.
Yang menghimpun
hadits-hadits shahih Bukhari dan Muslim: Al-Jami’ bainas Shahihaini, susunan
Ibnul Furat (Ismail Ibnu Muhammad)-(414 H) dan lain sebagainya.
b.
Yang menghimpun
hadits-hadits Nabi dari Kutubus Sittah: Al-Jami’, susunan Ibnu Kharrat (582 H)
dan lain sebagainya.
c.
Yang menghimpun
hadits-hadits Nabi dari berbagai kitab hadits: Bahrul Asanid, susunan Al-Hasan
Ibnu Ahmad As-Samarqandy (491 H) dan lain sebagainya.
Ø
Kitab Berdasar Pokok Masalah
Kitab hadits yang berdasarkan masalah tertentu antara lain:
a.
Yang menghimpun
hadits-hadits Ahkam:
1.
Muntaqal Akhbar fil Ahkam,
susunan Majduddin Abdus Salam Ibnu Abdillah (652 H)
2.
As-Sunanul Kubra, susunan
Al-Baihaqy (458 H)
3.
Al-Ahkamus Shughra, susunan
Ibnu Kharrat (582 H)
4.
Umdatul Ahkam, susunan Abdul
Ghany Al-Maqdisy (600 H)
b.
Yang menghimpun
hadits-hadits Targhib wat Tarhib (hadits yang menerangkan keutamaan amal,
menggemarkan untuk beramal dan menjauhkan diri dari perbuatan yang
dilarang/dibenci) At-Targhib wat Tarhib, susunan Al-Mundziry (656 H).[24]
6.Periode
Ketujuh (Mulai Pertengahan Abad VII Sampai Sekarang)
Periode ini disebut masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan dan
pembahasan.
Ø
Keadaan Umat Islam pada Periode ini
Setelah
Baghdad direbut dan Khalifah Abbasiyah ditaklukkan, Tartar menyerang ke Haleb,
Damaskus, dan lain-lain (658 H). Daulah Ayyubiyah di Mesir telah runtuh
dikuasai Daulah Mamalik. Akhirnya orang-orang Mesir bangkit dan Tartar bisa
dihancurkan. Pada abad VIII Hijry, muncul seorang tokoh di Turki bernama Utsman
Saljuk dan berusaha menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil disekitarnya, sehingga
Utsman berhasil membangun Daulah Utsmaniyah yang berpusat di Turki dan berhasil
pula menaklukkan Konstantinopel dan Mesir sekaligus menghilangkan Khalifah
Abbasiyah.
Namun pada
permulaan abad ketiga belas, Mesir dibawah pimpinan Muhammad Ali, mulai bangkit
memulihkan kekuatannya dan berusaha mengembalikan kejayaan Mesir pada masa
silam. Bertepatan pada masa itu Eropa makin kuat dan ingin menguasai Islam.
Akhirnya Utsmaniyah runtuh dan cahaya islam makin meredup karena tekanan para
penjajah.
Ulama’-ulama’
islam barulah mampu mengadakan kontak antar mereka setelah semangat kebangkitan
islam mulai tumbuh dan mendobrak belenggu penjajahan bangsa Eropa
dinegara-negara yang penduduknya mayoritas beragama islam.
Ø
Keadaan Ulama’ Hadits pada Periode ini
Dengan
latar belakang keadaan politik dunia islam seperti dikemukakan diatas, maka
praktis kegiatan periwayatan hadits yang pada masa sebelumnya banyak dilakukan
dengan secara syifahiyah (penyampaian
dan penerimaan riwayat secara lisan;jadi secara hafalan), sudah tidak lagi
banyak dijumpai. Karenanya, penyampaian dan penerimaan riwayat/hadits banyak
dilakukan dengan jalan ijazah (pemberian
izin dari seorang syaikh(guru) kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits yang
berasal dari padanya, baik yang tertulis maupun yang hafalan beserta
kekurangan-kekurangan dari riwayat tersebut) dan mukatabah (pemberian catatan hadits dari seorang syaikh/guru kepada
orang yang ada didekatnya atau orang yang jauh, baik catatan itu ditulis
sendiri oleh guru tersebut maupun dengan cara disuruh orang lain untuk
menuliskannya).
Hanya
sedikit sekali ulama’ hadits yang masih mampu menyampaikan periwayatan hadits
beserta sanadnya secara hafalan yang sempurna seperti yang telah dilakukan oleh
ulama’ Mutaqaddimin. Diantara mereka itu adalah:
1.
Al-Iraqy (wafat 806 H)
Beliau mendiktekan hadits secara hafalan kepada 400 majelis sejak tahun
796 H, dan kitab-kitab karangan beliau cukup banyak.
2.
Ibnu Hajar Al-Asqalani
(wafat 852 H)
Beliau adalah murid Al-Iraqy. Diantara ulama’ ada yang menyatakan bahwa
Ibnu Hajar adala Hafidz yang tidak ada tandingan dizamannya. Telah mendiktekan
hadits kepada 1000 majelis, dan kitab-kitab yang dikarangnya juga cukup banyak.
Antara lain, Fathul Bary syarah shahih Bukhari.
3.
As-Sakhawy (wafat 902 H)
Beliau
murid Ibnu Hajar dan telah mendiktekan hadits-hadits Nabi kepada 1000 majelis.
Diantara kitab karangannya adalah Fathul Mughits.
Mempelajari kitab-kitab hadits yang telah ada, kemudian
mengembangkannya, antara lain dengan penyusunan kitab-kitab baru yang selain
dalam bentuk seperti yang telah ditempuh oleh ulama’ sebelumnya (seperti kitab
jami’, mustakhraj, mustadrak, dan athraf) adalah kegiatan yang paling banyak
dilakukan ulama’ pada periode ini. Selain itu juga berupa:
1.
kitab Syarah adalah kitab hadits yang
didalamnya dimuat uraian dan penjelasan kandungan hadits dan kitab tertentu dan
hubungannya dengan dalil-dalil yang lain, baik dari Al-Qur’an, dari Hadits
maupun dari kaidah-kaidah syara’ lainnya.
2.
kitab Mukhtashar adalah kitab hadits yang
berisi ringkasan dari suatu kitab hadits.
3.
kitab Zaqa’id adalah kitab yang
didalamnya dihimpun hadits-hadits yang terdapat pada suatu kitab tertentu dan
hadits tersebut tidak termaktub dalam kitab-kitab tertentu lainnya.
4.
kitab penunjuk (kode indeks) Hadits adalah
kitab-kitab yang berisi petunjuk-petunjuk praktis, biasanya berupa kode-kode
huruf dan angka tertentu, untuk mempermudah mendapatkan /mencari matan hadits
dikitab-kitab tertentu.
5.
kitab Terjemah Hadits adalah
kitab/buku pengalih bahasa kitab-kitab hadits dari bahasa arab ke bahasa lain,
atau sebaliknya. Sejak akhir abad XIV H di Indonesia telah mulai kegiatan
penerjemahan kitab-kitab hadits kedalam bahasa Indonesia, baik kitab Jami’,
kitab hadits Ahkam, maupun kitab syarah.
Ø
Macam-macam Kitab Hadits
Kitab-kitab hadits yang telah disusun pada periode ini, diantaranya
berupa:
a.
Kitab jami’ antara lain:
1.
Jami’ul Masanid was Sunnah,
oleh Ibnu Katsir (774 H). Kitab ini merupakan himpunan dari hadits-hadits yang
terdapat dikitabnya Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’iy, Ibnu
Majah, Ahmad, Al-Bazzar, Abu Ya’la, dan At-Thabary.
2.
Jami’ul Jawami’, oleh
As-Suyuthy (911 H). Kitab ini menghimpun hadits-hadits dari Al-Kutubus Sittah.
3.
At-Taj Al-Jami’ lil Ushul li
Ahaditsir Rasul, oleh Syekh Manshur Ali Nashif (Ulama’ “Al-Azhar” Mesir;
diterbitkan pertama kali tahun 1351 H/1932 M).
4.
Zadul Muslim fi mat Tafaqa
‘alaihil Bukhari wa Muslim, oleh Habibullah As-Syanqithy. Kitab ini memuat 1200
hadits yang disepakati Bukhari-Muslim, disusun secara alfabetis.
5.
Al-Lu’lu’u wal Marjan, oleh
Muhammad Fuad Abdul Baqy. Kitab yang menghimpun hadits-hadits Bukhari-Muslim.
b.
Kitab yang membahas masalah
tertentu, antara lain:
-
Yang membahas masalah hukum:
1.
Al-Imam fi Ahaditsil Ahkam,
oleh Ibnu Daqiqil Id (702 H).
2.
Taqribul Asanid wa Tartibul
Masanid, oleh Al-Iraqy (806 H).
3.
Bulughul Maram min Adillatil
Ahkam, oleh Ibnu Hajar Al-Asqalany (852 H).
4.
Koleksi Hadits-hadits Hukum,
oleh Prof.Dr.TM.Hasbi As-Shiddieqy.
-
Yang berisi Targhib dan
Tarhib, antara lain:
1.
Riyadus Shalihin, oleh Imam
Nawawy (676 H).
-
Yang berisi Dzikir dan Do’a,
antara lain:
1.
Al-Qaulul Badi’, oleh
As-Sakhawy (902 H).
2.
Al-Hishnul Hashin, oleh
Muhammad Al-Jazary (833 H).
c.
Kitab syarah, antara lain:
-
Syarah untuk Shahih Bukhari,
antara lain:
1.
Fathul Bary, oleh Ibnu Hajar
Al-Asqalany.
2.
Irsyadus Sary, oleh Muhammad
Al-Qasthalany (923 H).
-
Syarah Shahih Muslim, antara
lain:
1.
Al-Minhaj, oleh Imam Nawawy.
2.
Ikmalul Ikmal, oleh
Az-Zawawy (743 H)
-
Syarah Shahih
Bukhari-Muslim, antara lain:
1.
Fathul Mu’in bi Bayani
mahtija li Bayanihi min.
2.
Zadil Muslim, oleh
Habibullah As-Syanqithy.
-
Syarah untuk Sunan Abu Daud,
antara lain:
1.
Aunul Ma’bud, oleh Syamsul
Haq Al-Adzim Al-Abady dan dalam kitab ini juga Ibnu Qayyim menulis syarahnya.
2.
Syarah Zawaid Abu Daud, oleh
Ibnul Mulaqqin (804 H).
-
Syarah untuk Sunan
At-Turmudzi, antara lain:
1.
Qutul Mughtadzy, oleh
As-Suyuthy.
2.
Syarah Zawaid Jami’
At-Turmudzi, oleh Ibnul Mulaqqin.
-
Syarah Sunan An-Nasa’iy,
antara lain:
1.
Syarah (ta’liq), oleh
As-Suyuthy.
2.
Syarah (ta’liq), oleh
As-Sindy.
-
Syarah Sunan Ibnu Majah,
antara lain:
1.
Ad-Dibajah, oleh Kamaluddin
Ad-Damiry (808 H).
2.
Miahbahuz Zujajah, oleh
As-Suyuthy.
-
Syarah kitab Hadits Ahkam,
antara lain:
1.
Subulus Salam, oleh Ismail
As-Shan’any (1182 H), sebagai syarah terhadap kitab Bulughul Maram (Ibnu
Hajar).
2.
Nailul Authar, oleh Muhammad
As-Syaukany (1250 H), sebagai syarah terhadap kitab Muntaqal Akhbar fil Ahkam
(Majduddin Abdus Salam).
d.
Kitab Mukhtashar, antara
lain:
1.
Al-Jami’us Shaghir, oleh
As-Suyuthy, sebagai ringkasan dari kitab Jami’ul Jawami’ (As-Suyuthy).
2.
Mukhtashar Shahih Muslim,
oleh Muhammad Fuad Abdul Baqy.
e.
Kitab Takhrij yaitu kitab
yang menjelaskan tempat-tempat pengambilan hadits-hadits yang dimuat dalam
kitab tertentu dan menjelaskan kualitasnya. Misalnya:
1.
Takhrij Ahaditsil Ihya’,
oleh Al-Iraqy, sebagai kitab takhrij terhadap kitab Ihya’ ‘Ulumuddin
(Al-Ghazali).
2.
Takhrij Ahaditsil Baidlawy,
oleh Al-Mannawy (1031 H) sebagai kitab takhrij terhadap tafsir Al-Baidlawy.
3.
Al-Kafis Syafi’ Takhriji
Ahaditsil Kasysyaf, oleh Ibnu Hajar, sebagai kitab Takhrij terhadap
hadits-hadits yang ditakhrijkan oleh Az-Zaila’iy (762 H).
f.
Kitab Athraf, antara lain:
1.
Athraful Ahaditsil
Mukhtarah, oleh Ibnu Hajr Al-Asqalany.
2.
Athraf Shahih Ibnu Hibban,
oleh Al-Iraqy (806 H).
3.
Athraful Masanidil Asyarah,
oleh Syihabuddin Al-Bushiry (804 H).
g.
Kitab Zawaid, antara lain:
1.
Zawaidus Sunanil Qubra, oleh
Al-Bushiry, memuat hadits-hadits riwayat Al-Baihaqy yang tidak termuat dalam
Al-Kutubus Sittah.
2.
Al-Mathalibul Aliyah fi
Zawaidil Masanidits Tsanawiyah, oleh Ibnu Hajar.
3.
Majma’uz Zawa’id, oleh Abul
Husain Al-Haitsamy (807 H).
h.
Kitab Penunjuk Hadits,
antara lain:
-
Miftah Kunuzis Sunnah, oleh
Prof.Dr.A.J.Winsink. buku ini diterjemahkan kedalam bahasa Arab oleh Muhammad
Fuad Abdul Baqy. Kitab ini memberi petunjuk untuk mencari matan-matan hadits
yang terdapat dalam 14 kitab hadits (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu
Daud, Jami’ At-Turmudzi, Sunan An-Nasa’iy, Sunan Ibnu Majah, Sunan Ad-Darimy,
Muwattha’ Malik, Musnad Zaid bin Ali, Musnad Abu Daud At-Thayalisy, Musnad
Ahmad, Thabaqah Ibnu Saad, Sirah Ibnu Hisyam dan Al-Maghazy Al-Waqidy).
i.
Kitab Himpunan Hadits
Qudsiy, antara lain:
1.
Al-It-hafatus Saniyyah, oleh
Al-Mannawy.
2.
Al-Kalimatut Tayyibah, oleh
Ibnu Taimiyah.
3.
Adabul Ahaditsil Qudsiyah,
oleh Dr.Ahmad As-Syarbashy.[25]
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
Proses
kodifikasi al-Hadits adalah proses pembukuan al-Hadits secara resmi yang
dikoordinasi oleh pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah, bukan hanya
kegiatan penulisan al-Hadits Semata, karena kegiatan penulisan al-Hadits secara
berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah saw masih hidup. Berangkat dari
realitas ini adanya tuduhan bahwa al-Hadits sebagai sumber yurisprudensi
diragukan otentisitasnya atau tidak otentik merupakan tuduhan yang tidak
beralasan karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Tentang adanya
larangan penulisan Hadits yang kemudian dikaitkan dengan ke-bid'ah-an
penulisannya, hal ini patut dimaknai bahwa larangan tersebut sebenarnya adalah
larangan secara khusus yaitu larangan untuk menuliskan al-Hadits bersama
al-Quran dalam satu tempat sehingga dikhawatirkan menimbulkan kerancuan, atau
larangan yang dapat menyebabkan para sahabat menyibukkan diri dalam penulisan
al-Hadits sehingga mengesampingkan al-Quran. Hal ini berdasarkan fakta bahwa
penulisan hadits sebenarnya telah dimulai sejak zaman Rasulullah Saw yang
diperintahkan sendiri oleh Rasulullah Saw. kepada sahabat tertentu.
B.
Saran
Kita sebagai
generasi islam, sangat bagus sekali apabila mengetahui sejarah perkembangan
hadits. Karena selain untuk mengetahui sejarahnya kita juga secara tidak
sengaja telah peduli terhadap sejarah utamanya sejarah perkembangan hadits ini.
Maka dari itu, kita perlu membaca sejarah agar bisa tetap memelihara sumber
islam seperti halnya ulama’-ulama’ terdahulu. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bag kita semua. Amin...
DAFTAR
PUSTAKA
Barmawie Umarie.1965.Status Hadits
Sebagai Dasar Tasjri.Solo:AB.Siti Sjamsijah
Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar
Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2
http://herycomdev.wordpress.com/2012/03/16/mata-kuliah-ulumul-hadits-_-sejarah-perkemangan-hadits/
M.Hasbi Ash-Shidieqy.1987.Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits.Jakarta:Bulan Bintang
Penyusun Ensiklopedi Islam.1999.Ensiklopedi Islam.(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), cet.4,jld.1
[2] http://herycomdev.wordpress.com/2012/03/16/mata-kuliah-ulumul-hadits-_-sejarah-perkemangan-hadits/
[4] Penyusun Ensiklopedi Islam.1999.Ensiklopedi
Islam.(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), cet.4,jld.1, hal 149
[7] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar
Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 101
[8] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar
Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 104)
[9] Penyusun
Ensiklopedi Islam.1999.Ensiklopedi Islam.(Jakarta:Ichtiar
Baru Van Hoeve).cet.4,jld.1,hal 46
[11] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar
Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 106
[12] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar
Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 107
[13] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar
Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 110
[14] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar
Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 111
[15] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar
Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 111-113
[16] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar
Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 113-115
[17] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar
Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 115-116
[18] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar
Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 116-117
[19] M.Hasbi Ash-Shidieqy.1987.Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits.Jakarta:Bulan Bintang hal 101-102
[20] M.Hasbi Ash-Shidieqy.1987.Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits.Jakarta:Bulan Bintang hal 103
[21] Barmawie Umarie.1965.Status Hadits
Sebagai Dasar Tasjri.Solo:AB.Siti Sjamsijah, hal 103
[22] M.Hasbi Ash-Shidieqy.1987.Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits.Jakarta:Bulan Bintang hal 115-116
[24] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar
Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 121-123
[25] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar
Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 124-129
Tidak ada komentar:
Posting Komentar