Minggu, 05 April 2015

SEJARAH_PERKEMBANGAN_HADITS_MASA_KODIFIKASI

MAKALAH
SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS MASA KODIFIKASI
Diajukan  untuk memenuhi tugas mata kuliah “Ulumul Hadits”
Dosen : Lailatul Qadariyah, S.Hi, M.Ei

Oleh kelompok:
Ulfatun Nazilah
Dalilatus Shobahah
Irodatul Mughitsah
Moh.Ayyub

PRODI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS ILMU-ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
TAHUN 2013

KATA PENGANTAR
            Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh
            Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat,taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ‘sejarah perkembangan hadits masa kodifikasi’ ini. Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah ulumul hadits, makalah ini juga bisa menjadi penunjang bagi mahasiswa dalam mata kuliah ulumul hadits khususnya tentang sejarah perkembangan hadits masa kodifikasi.
            Makalah ini mengulas sedikit tentang sejarah perkembangan hadits pada masa kodifikasi, yang sub pokok bahasannya meliputi pengertian kitabah dan tadwin serta hadits sejak abad ke II hijriyah (periode ke empat) sampai sekarang.
            Kami menyadari bahwa dalam makalah ini tentunya masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu, kepada para pembaca dan pakar hadits dimohon saran dan kritiknya yang bersifat membangun demi kesempurnaan isi makalah ini.Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak atas bantuan dan kerja samanya demi selesainya makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak baik para mahasiswa dan masyarakat pada umumnya. Amien....
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh
                                                                                                            Bangkalan, 07 maret 2013
                                                                                                           Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kitabah dan Tadwin
B.     Hadits Sejak Abad ke II Hijriyah (Periode ke-4) sampai Sekarang
1.      Periode ke-4 (Abad II Hijriyah)
2.      Periode ke-5 (Abad III Hijriyah)
3.      Periode ke-6 (Abad IV sampai Pertengahan Abad VII Hijriyah)
4.      Periode ke-7 (Mulai Pertengahan Abad VII sampai Sekarang
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadits  atau lebih dikenal dengan sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi SAW. Dan peran hadits sebagai salah satu sumber ajaran islam yang diakui oleh mayoritas madzhab, tidak dapat dinafikan.
Kendati demikian, keberadaan hadits dalam proses tadwin(kodifikasi)nya sangat berbeda dengan Al-Qur’an. Sejarah hadits dan periodisasi penghimpunannya lebih lama dibandingkan Al-Qur’an. Hadits butuh waktu 3 abad untuk pentadwinannya secara menyeluruh, karena banyak liku-liku dalam sejarah pengkodifikasian hadits yang berlangsung waktu itu.
Makalah ini disusun berdasarkan masalah diatas, juga untuk memenuhi tugas kolompok mata kuliah ulumul hadits.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini adalah:
1.      Apa pengertian kitabah dan tadwin?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada abad ke-II Hijr sampai sekarang?
C.    Tujuan
Tujuan makalah ini ditulis adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pengertian kitabah dan tadwin
2.      Untuk mengetahui sejarah perkembangan hadits pada abad ke-II Hijr sampai sekarang

BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kitabah dan Tadwin
Dalam penulisan hadits Nabi SAW.sejak beliau masih hidup sampai khalifah Umar bin Abdul Aziz sering muncul istilah: Al-Kitabah, At-Tadwin, At-Tasnif.
Al-Kitabah secara etimologi berasal dari bahasa arab yang artinya penulisan. Sedangkan menurut terminologi adalah penulisan hadits secara pribadi. Seperti penulisan hadits yang terjadi sejak Nabi SAW., Khulafaur Rasyidin sampai pada masa Umar bin Abdul Aziz. Diantara sahabat yang telah menulis hadits adalah Abdullah bin Amr bin As (27 H-63H) dengan kumpulan hadits Shahifah As-Shadiqah, Shahifah Jabir bin Abdillah yang ditulis oleh Jabir bin Abdillah bin Amr Al-Anshari (16 H-78 H) yang masih utuh sampai masa tabi’in. Anas bin Malik (10 H-93 H), As-Shahifah As-Shahihah yang disusun oleh Abu Hurairah Ad-Dausi (19 H-59 H) maupun Ali bin Abi Thalib (23 H-40 H).
At-Tadwin artinya kodifikasi (pembukuan/pencatatan). Sedangkan menurut terminologi adalah pengumpulan/penyusunan hadits yang secara resmi didasarkan perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam masalah ini, bukan yang dilakukan secara perorangan seperti yang terjadi dimasa sebelumnya. Seperti pada saat Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah pada tahun 99-101 H, kemudian tahun 100 H meminta gubernur Madinah yakni Abu Bakar bin Muhammad bin Amir bin Hazm supaya membukukan hadits Rasul yang terdapat pada para penghafal hadits diantaranya Amrah bin Abd Rahman Al-Anshariyah dan Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq dan juga kepada Ibnu Syihab Az-Zuhri.
At-Tasnif artinya klasifikasi, kategorisasi menurut istilah mengandung makna usaha menghimpun atau menyusun beberapa hadits (kitab hadis) dengan membubuhi keterangan mengenai arti kalimat yang sulit-sulit dan memberi interpretasi sekedarnya. Jika dalam memberikan interpretasi itu dengan jalan mempertalikan atau menghubungkan dan menjelaskan dengan hadits lain, dengan ayat-ayat Al-Quran atau dengan ilmu-ilmu lain maka sharah dan meringkas. At-Tasnif ini muncul pada abad ke V dan seterusnya yaitu abad periodisis klasifikasi dan sistematisasi susunan kitab-kitab hadits.
Mengutip kitab Al-Muhith, Al-Fairuz mengatakan bahwa: “tajwid secara bahasa diterjemahkan dengan kumpulan shahifah (mujtama’ Al-shuhuf). Menurut Dr.Muhammad ibnu Mathar Al-Zahrani tadwin adalah ; “mengikat yang berserakan lalu mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran-lembaran. Sedangkan secara luas tadwin sendiri diartikan dengan Al-Jam’u (mengumpulkan).
Apabila merujuk dari 2 pengertian diatas dapat disimpulkan pentadwinan hadits bisa diartikan Diwanul Hadits dalam bahasa indonesianya tadwin ini lebih umum dikenal dengan nama kondifikasi.[1]
B.     Sejarah Perkembangan Hadits pada Abad ke-II Hijr Sampai Sekarang
Sejarah berkembangnya hadits merupakan Masa atau priode yang telah dilalui oleh hadits dari masa dan lahirnya dan tumbuh dalam perkenalan, penghayatan, dan pengalaman umat dari generasi kegenerasi. Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui hadits sejak masa timbulnya/lahirnya dizaman Nabi SAW. Meneliti dan membina hadits, serta segala hal yang mempengaruhi hadits tersebut. Para ulama Muhadditsin membagi sejara hadits dalam beberapa priode. Adapun para ulama penulis sejarah hadits berbeda-beda dalam membagi priode sejarah hadits. Ada yang membagi dalam tiga priode, lima dan tujuh priode.
Dalam tataran praktiknya, ilmu hadits sudah ada sejak priode awal islam atau sejak priode Rasulullah SAW., paling tidak, dalam arti dasar-dasarnya. Ilmu ini muncul bersamaan dengan mulainya periwayatan hadits yang disertai dengan tingginya perhatian dan selektivitas sahabat dalam menerima riwayat yang sampai kepada mereka. Berawal dengan cara yang sangat sederhana, ilmu ini berkembang sedemikian rupa seiring berkembangnya masalah yang dihadapi. Pada akhirnya, ilmu ini melahirkan berbagai cabang ilmu dengan metodologi pembahasan yang cukup rumit.
M. Hasbi Asy-Shiddieqy membagi perkembangan hadits menjadi tujuh priode, sejak priode Nabi SAW.hingga sekarang, yaitu:
a. Periode pertama: perkembangan hadits pada masa Rasulullah SAW.
b. Periode kedua: perkembangan hadits pada masa Khulafaur Rasyidin
c. Periode ketiga: perkembangan hadits pada masa Sahabat Kecil dan Tabi’in
d. Periode keempat: perkembangan hadits pada abad II dan III Hijriyah
e. Periode kelima: masa men-tansikh-kan hadits dan menyusun kaidah-kaidahnya
f. Periode keenam: dari abad IV hingga tahun 656 H
g. Periode ketujuh: 656 H-sekarang[2].
1.      Pendapat Tentang Waktu Kodifikasi Hadits
Beberapa pendapat yang berbeda berkembang mengenai kapan kodifikasi hadits secara resmi serentak dimulai. Beberapa pendapat tersebut adalah:[3]
1.       kelompok Syi’ah mendasarkan pendapat Hasan Al-Sadr (1272-1354 H), yang menyatakan bahwa penulisan hadits telah ada sejak masa Nabi dan kompilasi hadits telah ada sejak awal khalifah Ali bin Abi Thalib (35 H), terbukti dengan adanya kitab Abu Rafi’, kitab As-Sunan Wa Al-Ahkam Wa Al-Qadaya.
2.      Sejak abad I H, yakni atas prakarsa seorang gubernur Mesir Abdul Aziz bin Marwan yang memerintahkan kepada Kathir bin Murrah, seorang ulama’ Himsy untuk mngumpulkan hadits, yang kemudian disanggah Syuhudi Ismail deangan alasan bahwa perintah Abdul Aziz bin Marwan bukan merupakan perintah resmi, legal dan kedinasan terhadap ulama’ yang berada diluar wilayah kekuasaannya.
3.      Sejak awal abad II H, yakni masa khalifah ke-8 Dinasti Umayyah, Umar bin Abdul Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama’ diwilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan hadits-hadits Nabi. Khalifah ini terkenal dengan sebutan kehormatan yakni Umar II, yang mengisyaratkan pengakuan bahwa beliau adalah pelanjut kekhalifahan Umar bin Khattab yang bijak. Khalifah Umar mengintruksikan kepada gubernur Madinah Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm(ibn Hazm) untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada Tabi’in wanita Amrah binti Abdur Rahman bin Sa’ad bin Zurarah bin ‘Ades, murid Aisyah Ummul Mukminin serta hadits yang ada pada  Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar As-Shiddiq. Kepada Abu Bakar Muhammad bin Amr bn Hazm beliau menyatakan:
lihat dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah, lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama’ dan jangan anda terima selain hadits Rasulullah SAW. dan hendaklah anda sebarkan ilmu dan mengadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia”. [4]
Berdasarkan intruksi resmi khalifah itu, Ibn Hazm minta bantuan dan mengintruksikan kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bn Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhry(Ibnu Syihab Az-Zuhry) seorang ulama’ besar dan mufti Hijaz dan Syam untuk turut membukukan hadits Rasulullah SAW.
Pendapat ketiga ini yang dianut jumhur ulama’ hadits dengan mempertimbangkan jabatan khalifah gaungnya lebih besar daripada seorang gubernur. Khalifah memerintah kepada para gubernur dan ulama’ dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak lanjut yang nyata dari para ulama’ masa itu untuk mewujudkannya dan kemudian menggandakan serta menyebarkan keberbagai tempat. 
Dengan demikian, penulisan hadits yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai ditulis pada masa Nabi SAW, baru diupayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal pada awal abad II H, yakni masa Umar bin Abdul Aziz, meskipun bisa jadi inisiatif tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Masir yang pernah mengisyaratkan hal yang sama sebelumnya[5].
2.      Latar Belakang Kodifikasi (Tadwin) Hadits
Pembukuan hadits dimulai pada akhir abad pertama hijriyah dan rampung pada pertengahan abad ketiga. Hal ini tidak terlepas dari adanya dorongan pembukuan hadits oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz (wafat 102 H) dari bani Umayyah. Pada waktu itu, beliau adalah khalifah ke-8 Bani Umayyah yang naik tahta pada tahun 99 H. Beliau dikenal sebagai orang yang adil dan wara’ bahkan sebagian ulama’ menyebutnya sebagai Khulafaur Rasyidin ke-5. Tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits dengan motif:
1.      Beliau khawatir ilmu hadits akan hilang karena belum dibukukan dengan baik
2.      Kemauan beliau untuk menyaring hadits palsu(maudhu’) yang banyak beredar
3.      Al-Qur’an sudah dibukukan dalam mushaf, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran bercampur dengan hadits, bila hadits dibukukan
4.      Peperangan dalam penaklukan negeri-negeri yang belum islam dan peperangan antar sesama kaum muslimin banyak terjadi. Dikhawatirkan ulama’ hadits berkurang karena wafat dalam peperangan  tersebut.
Dari sudut analisis politik, tindakan Umar II ini adalah untuk menemukan dan mengukuhkan landasan pembenaran bagi ideologi jama’ahnya, yang dengan ideologi itu beliau ingin merangkul seluruh kaum muslim tanpa memandang aliran politik atau pemahaman keagamaan mereka, termasuk syi’ah dan khawarij yang merupakan kaum oposan terhadap rezim Umayyah. Umar II melihat bahwa sifat yang serba akomodatif pada semua kaum muslim tanpa memandang aliran politik atau paham keagamaan khasnya itu telah diberikan contohnya oleh penduduk Madinah, dibawah kepeloporan tokoh-tokohnya seperti Abdullah ibn Umar (ibn Al-Khattab), Abdullah bn Abbas dan Abdullah bin Mas’ud.
Musthafa al-Siba’i dalam majalah Al-Muslimin seperti yang dikutip Nurcholis Majid sangat menghargai kebijakan Umar II berkenaan dengan pembukaan sunnah itu, sekalipun ia menyesalkan sikap khalifah yang baginya terlalu banyak memberi angin pada kaum syi’ah dan khawarij (karena dalam pandangan al-siba’i, golongan oposisi itu kemudian mampu memobilisasi diri sehingga dalam kolaborasinya dengan kaum Abbasi, mereka akhirnya mampu meruntuhkan Dinasti Umayyah dan melaksanakan pembalasan dendam yang sangat kejam). Dan menurut al-siba’i, sebelum masa Umar II sebetulnya sudah ada usaha-usaha pribadi untuk mencatat hadits, sebagaimana dilakukan oleh Abdullah bin Amr bin Ash.[6]
3.      Periode keempat (Abad II Hijry)
Periode ini disebut masa penulisan dan pendewanan/pembukuan hadits.
Periode keempat ini, dimulai pada masa Pemerintah Amawiyah angkatan kedua (mulai Khalifah Umar bin Abdul Aziz) sampai akhir Abad II Hijry (menjelang akhir masa Dinasti Abbasiyah angkatan pertama).[7]
Ø  Pelopor Pendewanan Hadits (Kodifikator) Hadits
Diantara gubernur yang menerima intruksi dari khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk mendewankan hadits itu adalah gubernur Madinah yang bernama: Abu Bakar Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm atau Muhammad ibnu Hazm. Selain sebagai gubernur, beliau juga sebagai seorang ulama’. Intruksi itu berisi supaya gubernur segera membukukan hadits-hadits yang dihafal oleh para penghafal hadits di Madinah, antara lain:
1.      Amrah binti Abdir Rahman ibnu Saad ibnu Zurarah ibnu Ades, seorang ahli fiqih murid sayyidina Aisyah ra.
2.      Al-Qasim ibnu Muhammad ibnu Abu Bakar As-Shiddiq, salah seorang pemuka tabi’in dan salah seorang Fuqaha Tujuh.
(yang dimaksud Fuqaha Tujuh adalah: Al-Qasim, Urwah ibnu Zubair, Abu Bakar ibnu Abdir Rahman, Said ibnu Musayyab, A bdillah ibnu Abdullah ibnu Utbah ibnu Mas’ud, Kharijah ibnu Zaid ibnu Tsabit, Sulaiman ibnu Yassar).
Muhammad ibnu Hazm melaksanakan tugas itu dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya intruksi Umar bin Abdul Aziz juga telah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh salah seorang ulama’ hadits yang masyhur sebagai ulama’ besar di Hijaz dan Syam, bernama Abu Bakar Muhammad ibnu Muslim ibnu Ubaidillah ibnu Syihab Az-Zuhry, yang dikenal juga dengan nama Muhammad ibnu Syihab Az-Zuhry.
Setelah berhasil mendewankan hadits-hadits Rasulullah, Muhammad ibnu Syihab Az-Zuhry mengirimkan dewan-dewan haditsnya kepada penguasa-penguasa daerah. Dengan demikian, maka pelopor pendewan (kodifikator) hadits hadits yang pertama atas  intruksi khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah:
1.      Muhammad ibnu Hazm (wafat tahun 117 H)
2.      Muhammad ibnu Syihab Az-Zuhry (wafat tahun 124 H)
Yang lebih tepat dikatakan sebagai kodifikator hadits yang pertama adalah Muhammad ibnu Syhab Az-Zuhry karena beliau mempunyai beberapa kelebihan dalam mendewankan hadits daripada  Muhammad ibnu Hazm, yaitu beliau ulama’ besar dalam bidang hadits, mendewankan hadits mencakup seluruh Hadits yang ada di Madinah, mengirim pendewanannya masing-masing satu rangkap ke penguasa daerah sehingga mudah tersebar. Namun sayangnya, kedua macam dewan hadits yang disusun oleh Muhammad ibnu Hazm dan Muhammad ibnu Syihab Az-Zuhry  telah lama hilang dan sampai sekarang belum diketahui dimana berada.
Selanjutnya, muncullah masa pendewanan berikutnya(sebagai masa pendewanan kedua) atas anjuran khalifah Bani Abbasiyah, diantaranya oleh khalifah Abu Abbas As-Saffah. Ulama’-ulama’ yang terkenal telah berhasil mendewankan hadits-hadits Nabi setelah Muhammad ibnu Hazm dan Muhammad ibnu Syihab Az-Zuhry adalah:
1.      Di Mekkah   : Abdul malik bin Abdul Aziz bin juraij (80 – 150 H/669 – 767M)
2.      Di Madinah  :  1.Ibnu Ishaq (wafat 151 H/768M)
                        2.Malik bin Anas (93 H – 179 H/703M)
3.      Di Bashrah   : 1.Ar-rabi’ Ibnu shabih (wafat 160 H)
                       2.Sahid Ibnu Abi Arubah (wafat 156 H)
                       3.Hammad Ibnu Salamah (wafat 176 H)
4.      Di Kufah      : Sufyan Ats-Tsauri (wafat th. 161 H)
5.      Di Syam       : Al-Auza’iy (wafat th. 156 H)
6.      Di Wasith     : Husyain Al-Wasithy (wafat th. 188H/804 M)
7.      Di Yaman     : Ma’mar Al-Azdy (95-153 H/753-770 M)
8.      Di Rei           : Jarir Adl-Dlabby (110-188 H/728-804 M)
9.      Di Khurasan : Ibnu mubarok (118-181 H/735-797 m)
10.  Di Mesir       : Al-Laits ibnu sa’ad (wafat th : 175 H)
Para ulama di atas, masa hidupnya hampir bersamaan, karenanya itu, sulit ditentukan siapa yang lebih tepat untuk disebut sebagai pendewan/kodifikator hadits yang pertama. Selain itu, bahwa mereka bersama, telah berguru kepada Muhammad Ibnu Hazm dan Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhry.[8]
Ø  Kitab-kitab Hadits Pada Periode IV (Abad 11 Hijry)
Di antara kitab-kitab/dewan hadits yang disusun pada abad 11 Hijry, periode IV ini, yang sangat mendapatkan perhatian dari kalangan ulama, ialah:
1.      Al-muwattha’, disusun oleh imam Malik bin Anas, atas permintaan Kholifah Abu Ja’far Al-Manshur. Kitab ini memiliki kedudukan tersendiri pada periode ini. Buku ini ditulis antara tahun 130-141 H. Buku ini memiliki kurang lebih 1720 hadits, diantaranya:
·         600 haditsnya marfu’ (terangkat sampai kepada Nabi SAW)
·         222 haditsnya mursal (adanya perawi sahabat yang digugurkan)
·         617 haditsnya mauquf (terhenti sampai kepada Tabi’in)
·         275 sisanya adalah ucapan Tabi’in.[9]
2.       Musnad Asy-Syafi’i, susunan imam Syafi’i. Dewan hadits ini, merupakan kumpulan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab beliau yang bernama “Al-Um”.
3.      Mukhaliful Hadits, di susun oleh imam syafi’i. Didalamnya, dibahas tentang cara-cara menerima hadits sebagai hujjah dan cara-cara mengkompromikan hadits yang nampak kontradiksi satu sama lain.
4.      As-Siratun Nabawiyah,disusun oleh ibnu ishaq. Berisi, antara lain tentang perjalanan hidup Nabi dan peperangan-perangan zaman nabi.
5.      Al-Musnad oleh Imam Abu Hanifah An-Nu’man (wafat 150 H)
6.      Al-Musnad oleh Imam Ali Ridha Al-Katsin (148-203 H)
7.      Al-Jami’ oleh Abdul Razaq Al-Hamam Ash Shan’ani (wafat 311 H)
8.      Mushannaf oleh Imam Syu’bah bin Jajaj (80-180 H)
9.      Mushannaf oleh Imam Laits bin Sa’ud (94-175 H)
10.  Mushannaf oleh Imam Sufyan bin ‘Uyaina (107-190 H)
11.  As-sunnah oleh Imam Abdurrahman bin Amr Al-Auza’i (wafat 157 H)
12.  As-Sunnah oleh Imam abd bin Zubair bin Isa Al-Asadi.
Seluruh kitab-kitab hadits yang ada pada abad ini tidak sampai kepada kita secara keseluruhan, tapi hanya ada beberapa saja yang masih bisa kita ketahui dan kita pelajari.[10].
Ø  Ciri-ciri Sistem Pembukuan Hadits pada Periode keempat (Abad II Hijry)
1.      Umumnya menghimpun dari Hadits Rasul SAW serta Fatwa Sahabat dan Tabi’in. Kitab Hadits yang hanya menghimpun hadits-hadits Nabi saja  hanyalah kitab yang disusun oleh Muhammad ibnu Hazm. Beliau melakukan demikian mengingat adanya intruksi khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menyatakan:


“janganlah kamu terima selain dari Hadits Nabi SAW”
2.      Himpunan hadits masih bercampur aduk antara Hadits-hadits Tafsir, Hadits-hadits Sirah Nabi, Hadits-hadits Hukum, dan sebagainya. Imam Syafi’ilah yang pertama merintis menyusun kitab hadits berdasarkan judul masalah tertentu, dalam hal ini yang berhubungan dengan masalah thalaq dalam satu bab.
Belum dijumpai upaya pengklasifikasian antara Hadits Shahih, Hasan dan Dhaif.[11]
Ø  Perkembangan Pemalsuan Hadits dan Upaya Mengatasinya
1.      Motif-motif Pemalsuan Hadits
a.       Propagandis-propagandis politik, dikarenakan golongan-golongan yang bertentangan pendapat politiknya sehingga mereka membuat hadits-hadits palsu yang berisi pemulyaan terhadap golongan sendiri dan menjatuhkan golongan lawannya. Seperti golongan pendukung Khalifah Abbasiyah dan golongan pendukung Kholifah Amawiyah
b.      Golongan zindiq(golongan yang pada lahirnya memeluk islam, tetapi batinnya memusuhi islam
c.       Tukang-tukang cerita untuk menarik orang terhadap apa yang disampaikannya, apalagi bila dibumbui dengan hal-hal yang menakjubkan, yang ganjil-ganjil dan menakutkan, berupa kisah-kisah, dogeng-dogeng dan semacamnya yang celakanya dilengkapi dengan sanad dan dinyatakan berasal dari Nabi Muhammad.
Penganut ajaran tasawuf karena pengetahuan agamanya terbatas dan bahkan salah serta merasa tahu. Untuk memperkuat alasan pemahamannya, mereka membuat hadits-hadits palsu yang berkisar soal-soal yang berhubungan dengan ”Targhib wat tarhib”(berita-berita yang menggembirakan dan mencemaskan).[12]
2.      Gerakan untuk Menumpas Pemalsuan Hadits
a.       Pemerintah, dalam hal ini dari Bani Abbasiyah berusaha menumpas kaum zindiq.
b.      Para ulama’ berusaha dengan gigih menghadapi pemalsuan-pemalsuan hadits dengan cara:
1.      Mengadakan perawatan ke daerah-daerah untuk mengecek kebenaran hadits-hadits yang diterimanya dan meneliti sumber-sumbernya, kemudian hasilnya mereka siarkan ke masyarakat
2.      Meneliti sanad dan perawi hadits dengan ketat. Riwayat hidup dan tingkah laku para perawi dan sanad Hadits diselidiki dengan seksama, sehingga lahirlah istilah-istilah: tsiqah, kadzdzab, fulan la ba’sa bihi, dan sebagainya.
Sekitar tahun 150 H, ulama’ mulai memperbincangkan tentang ta’dil dan tajrih. Diantara ulama’ yang terkenal memiliki ilmu yang mendalam tentang kritik rijalil hadits ada dua orng yaitu: Yahya ibnu Saad Al-Qatthan (wafat tahun 193 H) dan Abdurrahman ibnu Mahdi ( wafat tahun 198 H).
Ø  Golongan Penolak Hadits
Pada periode keempat(abad II) ini banyak sekelompok orang yang menolak hadits, ada secara keseluruhan baik hadits ahad maupun mutawatir, dan ada golongan yang hanya menolak hadits ahad saja. Menghadapi golongan penolak hadits ini, bangunlah imam Syafi’ie membela Hadits Nabi. Dlam kitabnya Al-Um, beliau menerangkan panjang lebar tentang alasan-alasan para penolak hadits, kemudian membantahnya satu persatu dengan mengemukakan alasan yang kuat. Berkat usahanya, beliau diberi gelar sebagai “Nashirul Hadits”(Penolong Hadits) atau “Multazimus Sunnah”.[13]
4.Periode kelima (Abad III Hijry)
Periode ini disebut:
Artinya: masa pemurnian, penyehatan dan penyempunaan
Periode ini dimulai sejak masa akhir pemerintahan Dinasti Abbasiyah angkatan pertama (Khalifah Al-Ma’mun) sampai awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah angkatan kedua (Khalifah Al-Muqtadir).[14]
Ø  Keadaan Umat pada Masa Ini
1.      Pertikiaian faham dikalangan ulama’, yakni murid-murid atau pengikut dari para mujtahid islam dibidang fikih dan bidang kalam. Sebenarnya antara para mujtahid tidak ada masalah, mereka saling menghormati dan menghargai pendapat masing-masing. Namun murid-murid mereka yang beranggapan bahwa pendapat guru dan golongannya saja yang benar.
2.      Pada masa khalifah Al-Makmun, banyak ulama’ hadits yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah Qadim dipenjarakan,disiksa dan dirantai karena Al-Makmun sendiri berpendapat seperti Mu’tazilah bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Al-Makmun menyiasati hal itu demi prestasinya sebagai khalifah saat itu. Ulama’ hadits yang keras pendirian saat itu adalah Imam Ahmad bin Hambal. Keadaan yang tidak Mu’tasim(wafat 227 H) dan Al-Watsiq(wafat 232 H). Namun, pada masa khalifah Al-Mutawakkil(232 H), ulama’ hadits mulai mendapat angin segar dengan dihadirkan keistana untuk menerangkan dan menyampaikan hadits Nabi. Sehingga ada ulama’ hadits yang mengatakan bahwa Al-Mutawakkil adalah khalifah yang menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah.
3.      Sengaja membuat hadits palsu untuk mengeruhkan suasana dan menyesatkan umat ditengah pertentangan antarmadzhab fiqh dan madzhab ilmu kalam yang menajam adalah kegiatan para pemalsu hadits untuk meruntuhkan islam. Selain itu, kaum muslim yang gemar membuat cerita tidak mau berhenti membuat hadits-hadits palsu guna memperkuat dan memperindah daya pikat kisah-kisahnya.[15]
Ø  Kegiatan Ulama’ Hadits dalam Melestarikan Hadits-hadits
1.      Kegiatan yang ditempuh
a.       Mengadakan perlawatan kedaerah-daerah yang jauh, yang dipelopori oleh Imam Bukhari selama 16 tahun.
b.      Mengadakan klasifikasi antara hadits marfu’ (yang disandarkan kepada Nabi), yang mauquf  (yang disandarkan kepada Sahabat) dan yang maqthu’ (yang disandarkan pada Tabi’in).
c.       Mengadakan seleksi kualitas Hadits kepada Shahih dan Dha’if, yang dipelopori oleh Ishaq ibnu Ruwaih, kemudian diikuti Bukhari, Muslim dan dilanjutkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’iy, Ibnu Majah dan lain-lain.
d.      Menghimpun segala kritik yang telah dilontarkan oleh ahli ilmu kalam dan lain-lain, baik kritik yang ditujukan kepada pribadi-pribadi perawi Hadits maupun yang ditujukan kepada matan-matan Hadits. Diantaranya adalah Ibnu Qataibah dalam kitabnya yang berjudul: Ta’wilu Mukhtalifil Hadits fir Raddi ‘ala ‘ada’ilil Hadits.
e.       Menyusun kitab-kitab hadits seperti metode menyusun kitab-kitab fikih yaitu dengan penyajian berdasarkan bab-bab masalah tertentu, atau dikenal dengan metode Mushannaf. [16]
Ø  Bentuk Penyusunan Hadits pada Periode Kelima (abad III Hijry)
Bentuk pendewanan Hadits pada masa ini bisa diklasifikasikan menjadi 3 bentuk, yakni penyusunan:
1.      Kitab Shahih yaitu kitab Hadits yang disusun oleh penyusunnya dengan cara menghimpun hadits-hadits yang berkualitas shahih, bentuk penyusunannya mushannaf,dan memuat masalah hukum, aqidah, akhlak, sejarah dan tafsir. Contoh: Al-Jami’us Shahih, susunan Imam Bukhari atau lebih dikenal dengan Shohih Bukhari.
2.      Kitab Sunan yaitu kitab hadits yang oleh penyusunnya, selain dimasukkan dalam kategori hadits-hadits yang berkualitas shahih, juga dimasukkan kualitas Dha’if dan diterangkan kedha’ifannya dengan syarat tidak berkualitas mungkar dan tidak terlalu lemah. Bentuk penyusunannya mushannaf dan hanya terbatas pada masalah fikih (hukum) dan semacamnya. Contoh: As-Sunan susunan Imam Abu Daud dan lain sebagainya.
3.      Kitab Musnad yaitu kitab hadits yang oleh penyusunnya dihimpun seluruh hadits yang diterimanya, dengan bentuk susunan berdasarkan nama perawi pertama. Urutan nama perawi pertama ada yang berdasarkan menurut tertib kabilah, nama sahabat menurut urutan waktu dalam memeluk agama islam, dan ada bentuk urutan lain. Contoh: Musnad, susunan Imam Ahmad bin Hambal dan lain sebagainya[17].
Ø  Kitab-kitab Standar
Ulama’ Muta’akhirin menetapkan beberapa kitab hadits sebagai kitab-kitab pokok atau kitab standar, diantaranya:
1.      Kitab standar yang Lima (Al-Kutubul Khamsah), yakni: Kitab Shahih Bukhari, Kitab Shahih Muslim, Kitab Sunan Abi Daud, Kitab Sunan Turmudzi, Kitab Sunan Nasa’iy.
2.      Kitab standar yang Enam (Al-Kutubus Sittah). Ada sebuah kitab hadits yang oleh ulama’ dimasukkan kelima kitab standar sebagai kitab standar urutan keenam sehingga menjadi Kutubus Sittah. Ada banyak pendapat ulama’ tentang kitab standar yang ke enam ini.
a.       Menurut Ibnu Thahir Al-Maqdisy adalah Sunan Ibnu Majah
b.      Menurut Ibnu Atsir dan lain-lain adalah Al-Muwattha’ susunan Imam Malik
c.       Menurut Ibnu Hajar Al-Asqallany adalah Sunan Ad-Darimy
d.      Menurut Ahmad Muhammad Syakir adalah Al-Muntaqa susunan Ibnu Jarud
3.      Kitab standar yang Tujuh (Al-Kutubus Sab’ah). Ada sebuah kitab hadits yang oleh ulama’ dimasukkann keenam kitab standar sebagai kitab standar urutan ketujuh sehingga menjadi Kutubus Sab’ah. Menurut sebagian ulama’ adalah Musnad Ahmad susunan Ahmad bin Hambal[18]
Ø  Tokoh-tokoh Hadits
Tokoh-tokoh hadits yang lahir pada masa ini adalah:
1.      ‘Ali Ibnul Madany
2.      Abu Hatim Ar-Rasy
3.      Muhammad Ibnu Jarir Ath-Thabari
4.      Muhammad Ibn Sa’ad
5.      Ishaq Ibnu Ruwaih
6.      Ahmad
7.      Al-Bukhari
8.      Muslim
9.      An-Nasa’iy
10.  Abu Dawud
11.  At-Tirmidzi
12.  Ibnu Majah
13.Ibnu Qutaibah Ad-Dainury.[19]  
Ø  Kitab-kitab Sunan yang Tersusun pada Masa ini
Kitab-kitab sunan yang tersusun pada abad ketiga ini antara lain:
1.      Al-Musnad, susunan Musa Ibn ‘Abdillah Al-‘Abasy 
2.      Al-Musnad, susunan Musaddad Ibn Musarhad
3.      Al-Musnad, susunan Asad Ibn Musa
4.      Al-Musnad, susunan Abu Daud Ath-Thayalisy
5.      Al-Musnad, susunan Nu’aim Ibn Hammad
6.      Al-Musnad, susunan Abu Ya’la Al-Maushuly
7.      Al-Musnad, susunan Al-Humaidy
8.      Al-Musnad, susunan ‘Ali Al-Madaidi
9.      Al-Musnad, susunan ‘Abid Ibn Humaid (249 H)
10.  Al-Musnadu Al-Mu’allal, susunan Al-Bazzar
11.  Al-Musnad, susunan Baqiy Ibn Makhlad (201-296 H)
12.  Al-Musnad, susunan Ibnu Rahawaih (237 H)
13.  Al-Musnad, susunan Ahmad Ibn Ahmad
14.  Al-Musnad, susunan Muhammad Ibn Nashr Al-Marwazy
15.  Al-Musnad, susunan Abu Bakr Ibn Abi Syaibah (235 H)
16.  Al-Musnad, susunan Abu Al-Qasim Al-Baghdawy (214 H)
17.  Al-Musnad, susunan ‘Utsman Ibn Abi Syaibah (239 H)
18.  Al-Musnad, susunan Abdul Husain Ibn Muhammad Al-Masarkhasy (298 H)
19.  Al-Musnad, susunan Ad-Darimi
20.  Al-Musnad, susunan Sa’id Ibn Mansur (227 H)
21.  Tahdzibu Al-Atsarm, susunan Al-Imam Ibnu Jarir
22.  Al-Jami’u Ash-Shahih, susunan Bukhari
23.  Al-Jami’u Ash-Shahih, susunan Muslim
24.  As-Sunan, susunanAn-Nasa’iy
25.  As-Sunan, susunan Abu Dawud
26.  As-Sunan, susunan At-Tirmidzi
27.  As-Sunan, susunan Ibnu Majah
28.  Al-Muntaqa, susunan Ibnu Al-Jarud
29.Ath-Thabaqat, susunan Ibnu Sa’ad.[20]
5. Periode Keenam (Abad IV Sampai Pertengahan Abad VII Hijry)
Periode ini disebut masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan.[21]
Periode keenam ini, terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah angkatan kedua (Khalifah Al-Muqtadir sampai Khalifah Al-Mu’tasim)
Ø  Keadaan Politik pada Masa ini
Sejak abad IV, daulah Islamiyah mengalami kemunduran. Lahirlah beberapa daulah Islamiyah kecil yang tak berdaya. Antar daulah tersebut timbul keinginan saling menguasai, mereka saling menyerang dan saling mengaku sebagai penguasa tertinggi terhadap daulah Islamiyah yang ada. Dengan keadaan seperti ini, dapat dibayangkan bahwa betapa lemahnya daulah Islamiyah. Sehingga pada waktu tentara Tartar (dari Bangsa Mongol) dibawah pimpinan Jengis Khan datang menyerbu, para penguasa islam sama sekali tidak berdaya lagi. Dan tatkala Holako Khan, cucu Jengis Khan menyerbu Baghdad dan membunuh Khalifah dari Bani Abbas, maka sempurnalah keruntuhan kekuasaan islam yang pernah cemerlang dibumi ini. Masa yang sangat memilukan ini, terjadi pada pertengahan abad VII Hijry, yang oleh ahli sejarah, ditetapkan sebagai pemisah antara masa sejarah islam kuno dengan masa sejarah islam pertengahan.
Ø  Kegiatan Ulama’ Hadits pada Periode ini
Walaupun pada periode ini daulah Islamiyah mulai melemah, namun tidak sedikit ulama’ yang tetap menekuni dan bersungguh-sungguh memelihara dan mengembangkan pembinaan hadits, sekalipun caranya tidak lagi sama dengan ulama’ periode sebelumnya. Pada abad ini tinggal sedikit lagi hadits-hadits yang akan dikumpulkan dan dibukukan, karena sudah dibukukan oleh ulama’ sebelumnya. Sehingga pada abad ini dapat dijumpai hadits-hadits shahih diluar dari kitab-kitab hadits pada abad III, antara lain:
1.      As-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah (313 H)
2.      Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim
3.      Al-Anwa’ wat Taqsim, susunan Ibnu Hibban (354 H)
4.      Al-Musnad, susunan Abu Awanah (316 H)
5.      Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud
6.      Al-Mukhtarah, susunan Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisy.[22]
Karena diabad ini ulama’ tidak banyak lagi yang mengadakan perlawatan kedaerah-daerah, maka Adz-Dzahaby menjadi penghujung tahun 300 H sebagai batas yang memisahkan antara masa ulama’ Mutaqaddimin dan ulama’ Muta’akhkhirin[23]. Kegiatan ulama’ yang menonjol dalam memelihara dan mengembangkan hadits yang telah terhimpun dalam kitab-kitab hadits tersebut, adalah:
a.       Mempelajarinya
b.      Menghafalnya
c.       Memeriksa dan menyelidiki sanad-sanadnya
d.      Menyusun kitab-kitab baru dengan tujuan untuk memelihara, menertibkan dan menghimpun segala sanad dan matan yang saling berhubungan serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang telah ada tersebut.
Ø  Ciri-ciri Sistem Pembukuan Hadits pada Masa ini
1.      Kitab Athraf yakni kitab  hadits yang hanya menyebut sebagan dari matan-matan hadits tertentu kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik sanad yang berasal dari kitab hadits yang dikutip matannya itu maupun dari kitab-kitab lainnya. Misalnya: Athrafus Shahihaini, susunan Ibrahim Ad-Dimasyqy (wafat 400 H) dan lain-lain.
2.      Kitab Mustakhraj yaitu kitab-kitab hadits yang memuat matan-matan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim atau kedua-duanya atau lainnya, kemudian si penyusun meriwayatkan matan-matan hadits tersebut dengan sanad sendiri yang berbeda. Misalnya: Mustakhraj Bukhari-Muslim, susunan Abu Bakar Ibnu Abdan As-Sirazy (388 H) dan lain sebagainya.
3.      Kitab Mustadrak yaitu kitab hadits yang menghimpun hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu syarat dari keduanya. Misalnya: Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim (321-405 H) dan lain sebagainya.
4.      Kitab Jami’ yaitu kitab hadits yang menghimpun hadits-hadits Nabi yang telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada. Misalnya:
a.       Yang menghimpun hadits-hadits shahih Bukhari dan Muslim: Al-Jami’ bainas Shahihaini, susunan Ibnul Furat (Ismail Ibnu Muhammad)-(414 H) dan lain sebagainya.
b.      Yang menghimpun hadits-hadits Nabi dari Kutubus Sittah: Al-Jami’, susunan Ibnu Kharrat (582 H) dan lain sebagainya.
c.       Yang menghimpun hadits-hadits Nabi dari berbagai kitab hadits: Bahrul Asanid, susunan Al-Hasan Ibnu Ahmad As-Samarqandy (491 H) dan lain sebagainya.
Ø  Kitab Berdasar Pokok Masalah
Kitab hadits yang berdasarkan masalah tertentu antara lain:
a.       Yang menghimpun hadits-hadits Ahkam:
1.      Muntaqal Akhbar fil Ahkam, susunan Majduddin Abdus Salam Ibnu Abdillah (652 H)
2.      As-Sunanul Kubra, susunan Al-Baihaqy (458 H)
3.      Al-Ahkamus Shughra, susunan Ibnu Kharrat (582 H)
4.      Umdatul Ahkam, susunan Abdul Ghany Al-Maqdisy (600 H)
b.      Yang menghimpun hadits-hadits Targhib wat Tarhib (hadits yang menerangkan keutamaan amal, menggemarkan untuk beramal dan menjauhkan diri dari perbuatan yang dilarang/dibenci) At-Targhib wat Tarhib, susunan Al-Mundziry (656 H).[24]
6.Periode Ketujuh (Mulai Pertengahan Abad VII Sampai Sekarang)
Periode ini disebut masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan dan pembahasan.
Ø  Keadaan Umat Islam pada Periode ini
Setelah Baghdad direbut dan Khalifah Abbasiyah ditaklukkan, Tartar menyerang ke Haleb, Damaskus, dan lain-lain (658 H). Daulah Ayyubiyah di Mesir telah runtuh dikuasai Daulah Mamalik. Akhirnya orang-orang Mesir bangkit dan Tartar bisa dihancurkan. Pada abad VIII Hijry, muncul seorang tokoh di Turki bernama Utsman Saljuk dan berusaha menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil disekitarnya, sehingga Utsman berhasil membangun Daulah Utsmaniyah yang berpusat di Turki dan berhasil pula menaklukkan Konstantinopel dan Mesir sekaligus menghilangkan Khalifah Abbasiyah.
Namun pada permulaan abad ketiga belas, Mesir dibawah pimpinan Muhammad Ali, mulai bangkit memulihkan kekuatannya dan berusaha mengembalikan kejayaan Mesir pada masa silam. Bertepatan pada masa itu Eropa makin kuat dan ingin menguasai Islam. Akhirnya Utsmaniyah runtuh dan cahaya islam makin meredup karena tekanan para penjajah.
Ulama’-ulama’ islam barulah mampu mengadakan kontak antar mereka setelah semangat kebangkitan islam mulai tumbuh dan mendobrak belenggu penjajahan bangsa Eropa dinegara-negara yang penduduknya mayoritas beragama islam.
Ø  Keadaan Ulama’ Hadits pada Periode ini
Dengan latar belakang keadaan politik dunia islam seperti dikemukakan diatas, maka praktis kegiatan periwayatan hadits yang pada masa sebelumnya banyak dilakukan dengan secara syifahiyah (penyampaian dan penerimaan riwayat secara lisan;jadi secara hafalan), sudah tidak lagi banyak dijumpai. Karenanya, penyampaian dan penerimaan riwayat/hadits banyak dilakukan dengan jalan ijazah (pemberian izin dari seorang syaikh(guru) kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits yang berasal dari padanya, baik yang tertulis maupun yang hafalan beserta kekurangan-kekurangan dari riwayat tersebut) dan mukatabah (pemberian catatan hadits dari seorang syaikh/guru kepada orang yang ada didekatnya atau orang yang jauh, baik catatan itu ditulis sendiri oleh guru tersebut maupun dengan cara disuruh orang lain untuk menuliskannya).
Hanya sedikit sekali ulama’ hadits yang masih mampu menyampaikan periwayatan hadits beserta sanadnya secara hafalan yang sempurna seperti yang telah dilakukan oleh ulama’ Mutaqaddimin. Diantara mereka itu adalah:
1.      Al-Iraqy (wafat 806 H)
Beliau mendiktekan hadits secara hafalan kepada 400 majelis sejak tahun 796 H, dan kitab-kitab karangan beliau cukup banyak.
2.      Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat 852 H)
Beliau adalah murid Al-Iraqy. Diantara ulama’ ada yang menyatakan bahwa Ibnu Hajar adala Hafidz yang tidak ada tandingan dizamannya. Telah mendiktekan hadits kepada 1000 majelis, dan kitab-kitab yang dikarangnya juga cukup banyak. Antara lain, Fathul Bary syarah shahih Bukhari.
3.      As-Sakhawy (wafat 902 H)
Beliau murid Ibnu Hajar dan telah mendiktekan hadits-hadits Nabi kepada 1000 majelis. Diantara kitab karangannya adalah Fathul Mughits.
            Mempelajari kitab-kitab hadits yang telah ada, kemudian mengembangkannya, antara lain dengan penyusunan kitab-kitab baru yang selain dalam bentuk seperti yang telah ditempuh oleh ulama’ sebelumnya (seperti kitab jami’, mustakhraj, mustadrak, dan athraf) adalah kegiatan yang paling banyak dilakukan ulama’ pada periode ini. Selain itu juga berupa:
1.      kitab Syarah adalah kitab hadits yang didalamnya dimuat uraian dan penjelasan kandungan hadits dan kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil yang lain, baik dari Al-Qur’an, dari Hadits maupun dari kaidah-kaidah syara’ lainnya.
2.      kitab Mukhtashar adalah kitab hadits yang berisi ringkasan dari suatu kitab hadits.
3.      kitab Zaqa’id adalah kitab yang didalamnya dihimpun hadits-hadits yang terdapat pada suatu kitab tertentu dan hadits tersebut tidak termaktub dalam kitab-kitab tertentu lainnya.
4.      kitab penunjuk (kode indeks) Hadits adalah kitab-kitab yang berisi petunjuk-petunjuk praktis, biasanya berupa kode-kode huruf dan angka tertentu, untuk mempermudah mendapatkan /mencari matan hadits dikitab-kitab tertentu.
5.      kitab Terjemah Hadits adalah kitab/buku pengalih bahasa kitab-kitab hadits dari bahasa arab ke bahasa lain, atau sebaliknya. Sejak akhir abad XIV H di Indonesia telah mulai kegiatan penerjemahan kitab-kitab hadits kedalam bahasa Indonesia, baik kitab Jami’, kitab hadits Ahkam, maupun kitab syarah.
Ø  Macam-macam Kitab Hadits
Kitab-kitab hadits yang telah disusun pada periode ini, diantaranya berupa:
a.       Kitab jami’ antara lain:
1.      Jami’ul Masanid was Sunnah, oleh Ibnu Katsir (774 H). Kitab ini merupakan himpunan dari hadits-hadits yang terdapat dikitabnya Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’iy, Ibnu Majah, Ahmad, Al-Bazzar, Abu Ya’la, dan At-Thabary.
2.      Jami’ul Jawami’, oleh As-Suyuthy (911 H). Kitab ini menghimpun hadits-hadits dari Al-Kutubus Sittah.
3.      At-Taj Al-Jami’ lil Ushul li Ahaditsir Rasul, oleh Syekh Manshur Ali Nashif (Ulama’ “Al-Azhar” Mesir; diterbitkan pertama kali tahun 1351 H/1932 M).
4.      Zadul Muslim fi mat Tafaqa ‘alaihil Bukhari wa Muslim, oleh Habibullah As-Syanqithy. Kitab ini memuat 1200 hadits yang disepakati Bukhari-Muslim, disusun secara alfabetis.
5.      Al-Lu’lu’u wal Marjan, oleh Muhammad Fuad Abdul Baqy. Kitab yang menghimpun hadits-hadits Bukhari-Muslim.
b.      Kitab yang membahas masalah tertentu, antara lain:
-          Yang membahas masalah hukum:
1.      Al-Imam fi Ahaditsil Ahkam, oleh Ibnu Daqiqil Id (702 H).
2.      Taqribul Asanid wa Tartibul Masanid, oleh Al-Iraqy (806 H).
3.      Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, oleh Ibnu Hajar Al-Asqalany (852 H).
4.      Koleksi Hadits-hadits Hukum, oleh Prof.Dr.TM.Hasbi As-Shiddieqy.
-          Yang berisi Targhib dan Tarhib, antara lain:
1.      Riyadus Shalihin, oleh Imam Nawawy (676 H).
-          Yang berisi Dzikir dan Do’a, antara lain:
1.      Al-Qaulul Badi’, oleh As-Sakhawy (902 H).
2.      Al-Hishnul Hashin, oleh Muhammad Al-Jazary (833 H).
c.       Kitab syarah, antara lain:
-          Syarah untuk Shahih Bukhari, antara lain:
1.      Fathul Bary, oleh Ibnu Hajar Al-Asqalany.
2.      Irsyadus Sary, oleh Muhammad Al-Qasthalany (923 H).
-          Syarah Shahih Muslim, antara lain:
1.      Al-Minhaj, oleh Imam Nawawy.
2.      Ikmalul Ikmal, oleh Az-Zawawy (743 H)
-          Syarah Shahih Bukhari-Muslim, antara lain:
1.      Fathul Mu’in bi Bayani mahtija li Bayanihi min.
2.      Zadil Muslim, oleh Habibullah As-Syanqithy.
-          Syarah untuk Sunan Abu Daud, antara lain:
1.      Aunul Ma’bud, oleh Syamsul Haq Al-Adzim Al-Abady dan dalam kitab ini juga Ibnu Qayyim menulis syarahnya.
2.      Syarah Zawaid Abu Daud, oleh Ibnul Mulaqqin (804 H).
-          Syarah untuk Sunan At-Turmudzi, antara lain:
1.      Qutul Mughtadzy, oleh As-Suyuthy.
2.      Syarah Zawaid Jami’ At-Turmudzi, oleh Ibnul Mulaqqin.
-          Syarah Sunan An-Nasa’iy, antara lain:
1.      Syarah (ta’liq), oleh As-Suyuthy.
2.      Syarah (ta’liq), oleh As-Sindy.
-          Syarah Sunan Ibnu Majah, antara lain:
1.      Ad-Dibajah, oleh Kamaluddin Ad-Damiry (808 H).
2.      Miahbahuz Zujajah, oleh As-Suyuthy.
-          Syarah kitab Hadits Ahkam, antara lain:
1.      Subulus Salam, oleh Ismail As-Shan’any (1182 H), sebagai syarah terhadap kitab Bulughul Maram (Ibnu Hajar).
2.      Nailul Authar, oleh Muhammad As-Syaukany (1250 H), sebagai syarah terhadap kitab Muntaqal Akhbar fil Ahkam (Majduddin Abdus Salam).
d.      Kitab Mukhtashar, antara lain:
1.      Al-Jami’us Shaghir, oleh As-Suyuthy, sebagai ringkasan dari kitab Jami’ul Jawami’ (As-Suyuthy).
2.      Mukhtashar Shahih Muslim, oleh Muhammad Fuad Abdul Baqy.
e.       Kitab Takhrij yaitu kitab yang menjelaskan tempat-tempat pengambilan hadits-hadits yang dimuat dalam kitab tertentu dan menjelaskan kualitasnya. Misalnya:
1.      Takhrij Ahaditsil Ihya’, oleh Al-Iraqy, sebagai kitab takhrij terhadap kitab Ihya’ ‘Ulumuddin (Al-Ghazali).
2.      Takhrij Ahaditsil Baidlawy, oleh Al-Mannawy (1031 H) sebagai kitab takhrij terhadap tafsir Al-Baidlawy.
3.      Al-Kafis Syafi’ Takhriji Ahaditsil Kasysyaf, oleh Ibnu Hajar, sebagai kitab Takhrij terhadap hadits-hadits yang ditakhrijkan oleh Az-Zaila’iy (762 H).
f.       Kitab Athraf, antara lain:
1.      Athraful Ahaditsil Mukhtarah, oleh Ibnu Hajr Al-Asqalany.
2.      Athraf Shahih Ibnu Hibban, oleh Al-Iraqy (806 H).
3.      Athraful Masanidil Asyarah, oleh Syihabuddin  Al-Bushiry (804 H).
g.      Kitab Zawaid, antara lain:
1.      Zawaidus Sunanil Qubra, oleh Al-Bushiry, memuat hadits-hadits riwayat Al-Baihaqy yang tidak termuat dalam Al-Kutubus Sittah.
2.      Al-Mathalibul Aliyah fi Zawaidil Masanidits Tsanawiyah, oleh Ibnu Hajar.
3.      Majma’uz Zawa’id, oleh Abul Husain Al-Haitsamy (807 H).
h.      Kitab Penunjuk Hadits, antara lain:
-          Miftah Kunuzis Sunnah, oleh Prof.Dr.A.J.Winsink. buku ini diterjemahkan kedalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul Baqy. Kitab ini memberi petunjuk untuk mencari matan-matan hadits yang terdapat dalam 14 kitab hadits (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Jami’ At-Turmudzi, Sunan An-Nasa’iy, Sunan Ibnu Majah, Sunan Ad-Darimy, Muwattha’ Malik, Musnad Zaid bin Ali, Musnad Abu Daud At-Thayalisy, Musnad Ahmad, Thabaqah Ibnu Saad, Sirah Ibnu Hisyam dan Al-Maghazy Al-Waqidy).
i.        Kitab Himpunan Hadits Qudsiy, antara lain:
1.      Al-It-hafatus Saniyyah, oleh Al-Mannawy.
2.      Al-Kalimatut Tayyibah, oleh Ibnu Taimiyah.
3.      Adabul Ahaditsil Qudsiyah, oleh Dr.Ahmad As-Syarbashy.[25]

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
Proses kodifikasi al-Hadits adalah proses pembukuan al-Hadits secara resmi yang dikoordinasi oleh pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah, bukan hanya kegiatan penulisan al-Hadits Semata, karena kegiatan penulisan al-Hadits secara berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah saw masih hidup. Berangkat dari realitas ini adanya tuduhan bahwa al-Hadits sebagai sumber yurisprudensi diragukan otentisitasnya atau tidak otentik merupakan tuduhan yang tidak beralasan karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Tentang adanya larangan penulisan Hadits yang kemudian dikaitkan dengan ke-bid'ah-an penulisannya, hal ini patut dimaknai bahwa larangan tersebut sebenarnya adalah larangan secara khusus yaitu larangan untuk menuliskan al-Hadits bersama al-Quran dalam satu tempat sehingga dikhawatirkan menimbulkan kerancuan, atau larangan yang dapat menyebabkan para sahabat menyibukkan diri dalam penulisan al-Hadits sehingga mengesampingkan al-Quran. Hal ini berdasarkan fakta bahwa penulisan hadits sebenarnya telah dimulai sejak zaman Rasulullah Saw yang diperintahkan sendiri oleh Rasulullah Saw. kepada sahabat tertentu.
B.     Saran
Kita sebagai generasi islam, sangat bagus sekali apabila mengetahui sejarah perkembangan hadits. Karena selain untuk mengetahui sejarahnya kita juga secara tidak sengaja telah peduli terhadap sejarah utamanya sejarah perkembangan hadits ini. Maka dari itu, kita perlu membaca sejarah agar bisa tetap memelihara sumber islam seperti halnya ulama’-ulama’ terdahulu. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bag kita semua. Amin...
DAFTAR PUSTAKA
Barmawie Umarie.1965.Status Hadits Sebagai Dasar Tasjri.Solo:AB.Siti Sjamsijah
Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2
http://herycomdev.wordpress.com/2012/03/16/mata-kuliah-ulumul-hadits-_-sejarah-perkemangan-hadits/
M.Hasbi Ash-Shidieqy.1987.Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.Jakarta:Bulan Bintang
Penyusun Ensiklopedi Islam.1999.Ensiklopedi Islam.(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), cet.4,jld.1




[2] http://herycomdev.wordpress.com/2012/03/16/mata-kuliah-ulumul-hadits-_-sejarah-perkemangan-hadits/
[4] Penyusun Ensiklopedi Islam.1999.Ensiklopedi Islam.(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), cet.4,jld.1, hal 149
[7] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 101
[8] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 104)

[9] Penyusun Ensiklopedi Islam.1999.Ensiklopedi Islam.(Jakarta:Ichtiar Baru Van Hoeve).cet.4,jld.1,hal 46
[11] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 106
[12] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 107
[13] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 110
[14] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 111

[15] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 111-113
[16] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 113-115
[17] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 115-116
[18] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 116-117

[19] M.Hasbi Ash-Shidieqy.1987.Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.Jakarta:Bulan Bintang hal 101-102

[20] M.Hasbi Ash-Shidieqy.1987.Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.Jakarta:Bulan Bintang hal 103
[21] Barmawie Umarie.1965.Status Hadits Sebagai Dasar Tasjri.Solo:AB.Siti Sjamsijah, hal 103

[22] M.Hasbi Ash-Shidieqy.1987.Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.Jakarta:Bulan Bintang hal 115-116
[24] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 121-123
[25] Drs. M.Syuhudi Ismail.1987.Pengantar Ilmu Hadist.Bandung:Angkas. Cet.2 hal 124-129

Tidak ada komentar:

Posting Komentar