Minggu, 05 April 2015

MAHABBAH

MAKALAH

AKHLAK TASAWUF


MAHABBAH
Diajukan untuk memenuhi tugas”Akhlak Tasawwuf
DOSEN: Firman Setiawan, SHI. MEI.










OLEH :
KELOMPOK 7
Ulfatun Nazilah
Moh.Zairi
Fajar Shodiqi Aprilia
Karimatun Nisa’
Fatimatuz Zahrah
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS ILMU-ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2012

KATA PENGANTAR
       Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
        Segala puji hanya milik Allah yang telah melimpahkan rahmatnya kepada kita sekalian sehingga kita bisa menikmati indahnya kehidupan ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada sang revolusioner akbar,penegak kebenaran, penjunjung tinggi nilai-nilai agama islam yakni nabi Muhammad SAW.
        Alhamdulillah pada kesempatan kali ini,kami telah diberikan karunia yang sangat berarti sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini tanpa halangan yang berarti. Kami menyusun makalah ini: pertama karena untuk memenuhi tugas mata kuliah akhlak tasawuf,kedua untuk menambah wawasan tentang mahabbah dalam akhlak tasawuf. Dan kami berharap mudah-mudahan makalah ini dapat membantu pembaca untuk memperoleh gambaran tentang mahabbah,macam-macam mahabbah,dan realisasinya dalam kehidupan sehari-hari.
         Penulisan makalah ini tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan,sehingga kami berharap kepada para pembaca untuk menyampaikan kritik dan sarannya pada kami. Dan kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Mudah-mudahan bermanfaat,amin.
         Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

                                                                                    Bangkalan,25 september 2012
                                                                                    Penyusun,

DAFTAR ISI
JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
        A.Latar Belakang
        B.Rumusan Masalah
        C.Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
        A.Pengertian Mahabbah
        B.Macam-macam Mahabbah
        C.Tingkatan Mahabbah
        D.Alat Untuk Mencapai Mahabbah
BAB III PENUTUP
        A.Kesimpulan
        B.Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tasawuf adalah salah satu pilar Islam. Ia adalah ajaran dan amalan Rasulullah saw. Beserta para sahabatnya. Sesungguhnya tanpa tasawuf  agama ini akan kehilangan ruhnya dan tidak ada bedanya dengan ideologi buatan manusia. Sepeninggal Rasulullah dan para sahabatnya, setelah Islam berkembang, ilmu-ilmu Islam pun mengalami perkembangan yang hebat. Jika tadinya hanya iman, Islam, dan Ihsan, maka mulai muncul ilmu-ilmu baru seperti ilmu tafsir, nahwu sharaf, musthalah hadits, ushul fiqih dan lain-lain. Umat Islam pun terdiri dari berbagai macam bangsa dengan berbagai bahasa. Untuk memudahkan dalam mempelajari Islam, para ulama Islam membagi ilmu-ilmu dengan memberinya istilah baru seperti aqidah untuk iman, fiqih untuk Islam, dan tasawuf untuk ikhsan. Dalam mempelajari ilmu Islam dibolehkan secara terpisah, tetapi dalam mengamalkan wajib serentak antara iman, Islam, dan ikhsan.
Tasawuf merupakan salah satu jalan dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, sebuah kesadaran akan adanya komunikasi dengan Tuhan. Tasawuf sangat erat hubungannya dengan keadaan menjauhi hidup duniawi dan kesenangan material atau biasa disebut dengan istilah zuhud. Sedang orang yang mempunyai sifat zuhud disebut zahid. Setelah itu barulah barulah meningkat menjadi sufi.
Dalam perkembangan zuhud terdapat dua golongan zahid. Satu golongan zahid meninggalkan kehidupan dunia serta kesenangan material dan memusatkan perhatian pada ibadah karena didorong oleh perasaan takut akan masuk neraka di akhirat kelak. Tuhan dipandang sebagai suatu dzat yang ditakuti, dan perasaan takutlah yang menjadi pendorong mereka. Satu golongan lain didorong oleh perasaan cinta kepada Tuhan. Bagi mereka, Tuhan bukanlah dzat yang harus ditakuti dan dijauhi, namun harus dicintai dan didekati. Maka mereka meninggalkan kehidupan duniawi dan banyak beribadah karena ingin mendekatkan diri kepada Tuhan.
Kalangan sufi yang termasuk dalam kalangan ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah, dengan konsep pemikiran tasawufnya yaitu mahabbah illahiyah (kecintaan kepada Tuhan). Seorang wanita sufi dari Basrah yang terkenal dengan ibadah dan kedekatannya dengan Allah Swt dengan memasukkan konsep kecintaan terhadap Tuhan dalam dunia tasawuf.


B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, kami merumuskan beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya:
1.Apa pengertian mahabbah?
2.Apa saja macam-macam Mahabbah?
3.Apa saja tingkatan mahabbah?
4.Apa saja alat untuk mencapai mahabbah?
C.    Tujuan Pembahasan
Dalam makalah ini kami memiliki tujuan pembahasan sebagaimana berikut:
1.Megetahui dan memahami arti dari mahabbah.
2.Mengetahui apa saja macam-macam mahabbah.
3.Mengetahui apa saja tingkatan mahabbah.
4.Mengetahui apa saja alat untuk mencapai mahabbah.

BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Mahabbah
Cinta atau yang dikenal dalam bahasa Arab Mahabbah berasal dari kata ahabbah-yuhibbu-mahabbatan, yang secara bahasa berarti mencintai secara mendalam, kecintaan, atau cinta yang mendalam[1]. Dalam  Al-Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan, Mahabbah (cinta) adalah lawan dari kata al-baghd (benci)[2]. Al- Mahabbah dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat pengasih atau penyayang[3]. Selain itu, al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja pada pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak,yaitu cinta kepada Tuhan[4].
Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan suatu paham atau aliran dalam tasawwuf. Dalam hubungan ini, objek mahabbah lebih ditunjukkan kepada Tuhan.Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan diatas , tampaknya ada juga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhani kepada Tuhan[5].
Mahabbah dalam pengertian tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan oleh Al-Qusyairi sebagai berikut:
Al-Mahabbah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikan nya (kemutlakan) Allah Swt oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya[6].
Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintai-Nya itu selanjutnya dapat mengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang melimpah[7]. Mahabbah berbeda dengan al-raghbah. Mahabbah adalah cinta yang tidak dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan al-raghbah adalah cinta yang disertai dengan keinginan yang kuat untuk mendapatkan sesuatu, meskipun harus mengorbankan segalanya[8].
Menurut Harun Nasution, pengertian mahabbah adalah:
  1. Patuh kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
  2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
  3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi,yaitu Tuhan[9].
Dengan urain tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang mencintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa mahabbah (cinta) merupakan keinginan yang sangat kuat terhadap sesuatu melebihi kepada yang lain atau ada perhatian khusus, sehingga menimbulkan usaha untuk memiliki dan bersatu dengannya, sekalipun dengan pengorbanan.
Sedangkan secara terminologi, terdapat perbedaan defenisi di kalangan ulama. Menurut Imam al-Gazāli mengatakan bahwa mahabbah adalah kecenderungan hati kepada sesuatu. Kecenderungan yang dimaksud oleh al-Gazali adalah kecenderungan kepada Tuhan karena bagi kaum sufi mahabbah yang sebenarnya bagi mereka hanya mahabbah kepada Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari ucapannya, “Barangsiapa yang mencintai sesuatu tanpa ada kaitannya dengan mahabbah kepada Tuhan adalah suatu kebodohan dan kesalahan karena hanya Allah yang berhak dicintai.” Al-Gazali berkata, “ Cinta adalah inti keberagamaan. Ia adalah awal dan juga akhir dari perjalanan kita. Kalau pun ada maqam yang harus dilewati seorang sufi sebelum cinta, maqam itu hanyalah pengantar ke arah cinta, maqam itu akibat dari cinta saja”.
Pengertian tersebut di atas sesuai dengan tingkatan kaum muslimin dalam pengalamannya terhadap ajaran agama, tidak semuanya mampu menjalani hidup kesufian, bahkan hanya sedikit saja yang menjalaninya, yang terbanyak adalah kelompok awam  mahabbah-nya.Mengenai Mahabbah sesuai dengan firman Allah Swt. Surat Ali imran: 31 yang artinya: Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan dalam hadis Nabi Muhammad SAW,  sebagai berikut:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ اْلإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Artinya: Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.
B.     Macam-Macam Mahabbah
Dalam Qur’an cinta memiliki 8 pengertian berikut ini penjelasannya:
1.      Mahabbah mawaddah adalah jenis cinta mengebu-gebu, membara dan“nggemesi”. Orang yang memiliki cinta jenis mawaddah, maunya selalu berdua, enggan berpisah dan selalu ingin memuaskan dahaga cintanya. Ia ingin memonopoli cintanya, dan hampir tak bisa berfikir lain.
2.      Mahabbah rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut,siap berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan orang yang dicintainya dibanding terhadap diri sendiri. Baginya yang penting adalah kebahagiaan sang kekasih meski untuk itu ia harus menderita. Ia sangat memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya.
Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antar orang yang bertalian
darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya. Dari
itu maka dalam al Qur’an , kerabat disebut al arham, dzawi al arham ,yakni orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang secara fitri, yang berasal dari g
harba kasih sayang ibu, disebut rahim (dari kata rahmah). Sejak janin seorang anak sudah diliputi oleh suasana psikologis kasih sayang dalam satu ruang yang disebut rahim..
3.      Mahabbah mail, adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat membara, sehingga menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung kurang diperhatikan. Cinta jenis mail ini dalam al Qur’an disebut dalam konteks orang poligami dimana ketika sedang jatuh cinta kepada yang muda, cenderung mengabaikan kepada yang lama.
4.      Mahabbah syaghaf. Adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil dan memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) bisa seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tak menyadari apa yang dilakukan. Al Qur’an menggunakan term syaghaf ketika mengkisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, istri pembesar Mesir kepada bujangnya, Yusuf.
5.      Mahabbah ra’fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan norma-norma kebenaran, misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk salat, membelanya meskipun salah. Al Qur’an menyebut term ini ketika mengingatkan agar janganlah cinta ra`fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah, dalam hal ini kasus hukuman bagi pezina (Q/24:2).
6.      Mahabbah shobwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilaku menyimpang tanpa sanggup mengelak. Al Qur’an menyebut term ini ketika mengkisahkan bagaimana Nabi Yusuf berdoa agar dipisahkan denganZulaiha yang setiap hari menggodanya (mohon dimasukkan penjara saja),sebab jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir juga dalam perbuatan bodoh, wa illa tashrif `anni kaidahunna ashbu ilaihinna wa akun minaljahilin (Q/12:33)
7.      Mahabbah syauq (rindu). Term ini bukan dari al Qur’an tetapi dari hadis yang menafsirkan al Qur’an. Dalam surat al `Ankabut ayat 5 dikatakan bahwa barangsiapa rindu berjumpa Allah pasti waktunya akan tiba. Kalimat kerinduan ini kemudian diungkapkan dalam doa ma’tsur dari hadis riwayat Ahmad; wa as’aluka ladzzata an nadzori ila wajhikawa as syauqa ila liqa’ika, aku mohon dapat merasakan nikmatnya memandang wajah Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan Mu.Menurut Ibn al Qayyim al Jauzi dalam kitab Raudlat al Muhibbin waNuzhat al Musytaqin, Syauq (rindu) adalah pengembaraan hati kepadasang kekasih (safar al qalb ila al mahbub), dan kobaran cinta yangapinya berada di dalam hati sang pecinta, hurqat al mahabbah wa iltihab naruha fi qalb al muhibbi
8.      Mahabbah kulfah. yakni perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-hal yang positif meski sulit, seperti orang tua yang menyuruh anaknya menyapu, membersihkan kamar sendiri, meski ada pembantu. Jenis cinta ini disebut al Qur’an ketika menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya, layukallifullah nafsan illa wus`aha (Q/2:286)
C.    Tingkatan Mahabbah
Menurut Al-Sarraj, sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution, ada tiga macam tingkatan mahabbah, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq, dan mahabbah orang yang arif. Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan berzikir, memuji Allah, suka menyebut nama-nama Allah, dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Allah. Mahabbah orang shidiq adalah cinta dari seseorang yang kenal kepada Allah, kepada kebesaran-Nya, kepada kekuasaan-Nya, kepada ilmu-Nya, dan lain-lain. Juga cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan..Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat seseorang sanggup menghilangkan kehendak  dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta kepada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya. Sedangkan mahabbah orang yang arif adalah cinta dari seseorang yang tahu betul kepada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai.
Dari ketiga tingkatan mahabbah yang dikemukakan oleh Harun Nasution tersebut tampak menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya melalui dzikir, dilanjutkan dengan leburnya diri (fana) pada sifat-sifat  Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkatan ini tampaknya cinta yang terakhirlah yang ingin dituju oleh mahabbah[10].
Terlepas dari banyaknya penjelasan mengenai defenisi dan “seluk-beluk” cinta atau mahabbah tersebut, namun yang pasti, mahabbah pada dasarnya merupakan sebuah sikap operasional. Dengan kata lain, konsep mahabbah (cinta kepada Allah) adalah salah satu ajaran pokok yang memungkinkan Islam membawa rahmat bagi seluruh isi alam. Cinta pada hakikatnya bukanlah sebutan untuk emosi semata-mata yang hanya dipupuk di dalam batin saja, akan tetapi ia adalah cinta yang memiliki kecenderungan pada kegiatan nyata sekaligus menjadi sumber keutamaan moral.Hanya saja dalam perjalanan sejarah umat Islam, term “cinta” atau “mahabbah” telah menjadi salah satu pokok pembicaraan orang-orang sufi. Mereka menggeser penekanan cinta kea rah idealism emosional yang dibatinkan secara murni. Sehingga di kalangan sufi, mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan makrifat, baik dalam penempatannya maupun dalam pengertiannya. Kalau makrifat merupakan tingkat pengetahuan tentang Tuhan melalui hati, sedang mahabbah adalah merupakan perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Seluruh jiwa terisi oleh rasa kasih dan kasih dan cinta kepada Tuhan. Rasa cinta yang tumbuh dari pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan, sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan cinta, tetapi”diri yang dicintai”. Oleh karena itu menurut  al-Gazali, mahabbah itu adalah manifestasi dari makrifat kepada Tuhan.
Demikian cintanya orang-orang sufi kepada Tuhan, mereka rela mengorbankan dirinya demi memenuhi keinginan Tuhannya. Olehnya itu, cinta atau mahabbah pada hakikatnya adalah lupa terhadap kepentingan diri sendiri, karena mendahulukan kepentingan yang dicintainya yaitu Tuhan. Mahabbah adalah suatu ajaran tentang cinta atau kecintaan kepada Allah. Tetapi bagaimana bentuk pelaksanaan kecintaan kepada Allah itu tidak bisa dirumuskan secara pasti karena hal itu menyangkut perasaan dan penghayatan subyektif tiap sufi.
D.    Alat Untuk Mencapai Mahabbah
Dari penjelasan diatas tentang macam-macam mahabbah, tentunya kita sudah tahu yang mana mahabbah yang harus didahulukan dan yang mana yang diakhirkan. Didahulukan karena lebih penting, dan diakhirkan bukan berarti tidak penting , akan tetapi sesuai tingkatan kebutuhan dan juga disesuaikan dengan keinginan dan kemampuan yang kita miliki.
Untuk mencapai mahabbah seperti yang sudah disebutkan diatas,para ahli tasawuf menjawab dengan menggunakan pendekatan psikologi,yaitu pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniyah yang ada dalam diri manusia. Harun Nasution dalam bukunya falsafah dan mistisis dalam islam mengatakan bahwa dalam diri manusia ada alat untuk memperoleh ma’rifat oleh sufi disebut sir. Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi Harun Nasution mengatakan bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan.
Pertama,al-qalb(hati sanubari),sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan.
Kedua,roh sebagai alat untuk mencintai Tuhan.
Ketiga, sir yaitu alat untuk melihat Tuhan.
Sir lebih halus dari pada ruh, dan ruh lebih halus dari pada qalb. Kelihatanya sir bertempat di ruh, dan ruh bertempat di qalb, dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah kalau qalb dan ruh telah suci sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apapun[11].
Dengan keterangan tersebut,dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah ruh, yaitu ruh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu,melainkan hanya diisi oleh cinta kepada Tuhan. Ruh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia sejak kehidupannya dalam kandungan ketika umur empat bulan. Dengan  demikian alat untuk mahabbah itu sebenarnya telah diberikan Tuhan manusia tidak tahu sebenarnya hakikat ruh itu,yang mengetahui hanyalah Allah. Sebagaimana Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an surahal-Isra’,17:85 dan surah al-Hijr,15:29 serta dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim.       

BAB III PENUTUPAN
A.    Kesimpulan
Pengertian mahabbah antara lain sebagai berikut:
1.      Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan memberi sikap melas kepada-Nya.
2.      Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3.      Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi.
Mahabah adalah paham tasawuf yang menenkankan perasaan cinta kepada tuhan.
Tuhan bukanlah suatu zat yang harus ditakuti, tapi sebaliknya sebagai zat yan harus dicintai dan didekati. Untuk dapat mencintai dan dekat dengan tuhan, maka sekarang harus banyak melakukan peribadatan dan meninggalkan kesenangan duniawi.
Berbagai sebab yang mengutamakan rasa cinta allah swt . Pertama : memutuskan interaksi duniawi dan mengeluarkan rasa cinta kepada selain Allah SWT. dari hati karena hati dapat di ibaratkan seperti sebuah bejana yang tidak akan muat untuk menampung sebuah cuka, umpamanya, jika tidak dikeluarkan semua air darinya.
Kedua bagi kuatnya rasa cinta adalah kuatnya pengenalan Allah SWT. Keluasanya dan mendominasi terhadap hati hal itu dapat terjadi setelah setelah mensucikan hati dari segala kesibukan duniawi dan berbagai interaksinya. Berjalan seperti peristiwa peletakan sebuah benih di bumi setelah membersihkannya dari rerumputan, dimana dia merupakan bagian ke dua. Kemudian dai benih itu tumbuhlah sebuah pohon cinta dan ma’rifat yaitu kalimah yang baik yang dicontohkan oleh allah swt dalam sebuah surat yaitu surat ibrahim ayat 24: Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik akarnya tegh dan cabangnya (menjulang) kelangit”.
Aliran sufi mahabbah dipelopori dan dikembangkan oleh seorang seorang sufi wanita bernama rabiah al-adawiyah ia lahir di basrah pada tahun 714 M . rabiah meninggal pada tahun 801 M di barsrah, dimakamkan di mana ia meninggal. Ketika jenazah diusung ke pekuburan orang-orang suci, para sufi, dan orang islam yang saleh dalam jumlah yng luar biasa banyaknya datang ikut mengiringinya.
B.     SARAN
Kita sebagai orang islam yang harus selalu menjalankan syariat islam secara serentak bersamaan dengan iman dan ihsan, harus benar-benar mengabdikan diri kepada Allah karena kita diciptakan oleh Allah dan kepada-Nya pula kita akan kembali. Jadi janganlah sekali-kali kita tidak mengerjakan perintahnya atau malah melupakannya. Mungkin dengan kita mengetahui macam-macam mahabbah diatas kita dapat mengukur diri kita seberapa besar cinta kita kepada Sang Pencipta.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qusyairi al-Naisabury.t.t.al-Risalah al-Qusyairiyah.Mesir:Dar al-Kahir.hal 318
Fadhlallah Syaikh, The element of Sufisme. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2000
Harun Nasution.1983.Falsafah dan Mistisisme dalam Islam.Jakarta:Bulan Bintang. cet.III.hal. 70
IAIN Sumatera Utara.1983/1984.pengantar ilmu tasawuf.Sumatera Utara. Hal 77
Jamil Shaliba.1978.Al Mu’jam Al-Falsafy,Jilid II.Mesir:Dar al-Kitab.hal 439
Kamal Adnan Mustofa, Rahasia Pesona Cinta Illahi, Jakarta : Rabitha Press. 2008           
Mahmud Yunus.1990.Kamus Arab Indonesia.Jakarta:Hidakarya.hal 96
Prof.Dr.H.Abuddin Nata,M.A.2011.Akhlak Tasawuf.Jakarta:Rajawali Press.hal 208
Smith Margaret, Rabi’ah Pergulatan Spiritual Peremupuan, Surabaya : Risalah Gusti, 1997
                                                                                                               





[1]  Mahmud Yunus.1990.Kamus Arab Indonesia.Jakarta:Hidakarya.hal 96
[2]  Jamil Shaliba.1978.Al Mu’jam Al-Falsafy,Jilid II.Mesir:Dar al-Kitab.hal 439
[3]  Ibid,hal 349
[4]  Prof.Dr.H.Abuddin Nata,M.A.2011.Akhlak Tasawuf.Jakarta:Rajawali Press.hal 208
[5]  Jamil Shaliba.1978.al-Mu’jam al-Falsafy Jilid II.Mesir:Dar al-Kitab. Hal 440
[6]  al-Qusyairi al-Naisabury.t.t.al-Risalah al-Qusyairiyah.Mesir:Dar al-Kahir.hal 318
[7]  ibid,hal 318
[8]  Jamil Shaliba,op.cit.hal 617
[9]  Harun Nasution.1983.Falsafah dan Mistisisme dalam Islam.Jakarta:Bulan Bintang.cet.III.hal 70
[10] Prof.Dr.H.Abuddin Nata.2011.Akhlak Tasawuf.Jakarta:Rajawali Press.hal 210
[11] IAIN Sumatera Utara.1983/1984.pengantar ilmu tasawuf.Sumatera Utara. Hal 77

Tidak ada komentar:

Posting Komentar