MAKALAH
NASIKH
DAN MANSUKH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Ulumul
Qur’an”
Dosen
: Dony Burhan NH.LC,MA
Oleh
kelompok IV:
lilik
Wulandari (120721100014)
Anis
Fitriyah (120721100025)
Ulfatun
Nazilah (120721100096)
Dalilatus
Shobahah (120721100133)
PRODI EKONOMI SYARIAH (A)
FAKULTAS ILMU-ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
TAHUN 2013
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan
rahmat,taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ‘nasikh
dan mansukh’ ini. Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah ulumul qur’an,
makalah ini juga bisa menjadi penunjang bagi mahasiswa dalam mata kuliah ulumul
qur’an khususnya tentang nasikh dan mansukh.
Makalah
ini mengulas sedikit tentang nasikh dan mansukh, yang sub pokok bahasannya
meliputi pengertian naskh, syarat dan rukunnya dan lain-lain.Kami menyadari
bahwa dalam makalah ini tentunya masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh
karena itu, kepada para pembaca dan pakar ulum Al-Qur’an dimohon saran dan
kritiknya yang bersifat membangun demi kesempurnaan isi makalah ini.Kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak atas bantuan dan kerja
samanya demi selesainya makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak baik para mahasiswa dan masyarakat pada umumnya. Amien....
Wassalamualaikum
warahmatullahi wabarokatuh
Bangkalan, 07 maret
2013
Penulis,
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
B.
Rumusan
Masalah
C.
Tujuan
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
nasikh dan mansukh
B.
Pendapat
Ulama’ tentang Nasikh Mansukh
C.
Bentuk-bentuk
dan Macam-macam Nasikh Mansukh
D.
Faedah
Naskh
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Secara umum Maqasid Al-Tasri’ adalah untuk
kemaslahatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat
dielakkan, adanya Nasikh Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti
dengan hukumyang sesuai dengan tuntutan realitas zaman, waktu dan kemaslahatan
manusia. Proses serupa ini disebut dengan Nasikh Mansukh.
Dengan demikkian dapat dipahami bahwa nasikh mansukh
terjadi karena Al-Qur’an diturunkan secara mutawatir sesuai dengan peristiwa
yang mengiringinya. Oleh karena itu, untuk mengitahui Al-Qur’an dengan baik
harus mengetahui imu Nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.
Apa pengertian
Nasikh Mansukh?
2.
Apa pendapat ulama’
tentang Nasikh Mansukh?
3.
Apa saja bentuk-bentuk
dan macam-macam Nasikh Mansukh?
4.
Apa faedah Naskh?
C.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.
Mengetahui apa
pengertian Nasikh Mansukh
2.
Mengetahui pendapat
ulama’ tentang Nasikh Mansukh
3.
Mengetahui bentuk-bentuk
dan macam-macam Nasikh Mansukh
4.
Mengetahui apa
faedah Naskh
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nasikh Mansukh
Secara Lughawi ada empat makna Naskh yang sering
diungkapkan ulama’, yaitu sebagai berikut[1]:
1.
Izalah
atau menghilangkan, seperti dalam ayat dalam surat Al-Hajj ayat 52 yang
artinya: dan kami tidak mengutus sebelum
kamu seorang Rasul pun dan tidak seorang Nabi, melainkan apabila Ia mempunyai
suatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu,
Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya.
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS.Al-Hajj[22]:52)
2.
Tabdil
atau penggantian, seperti dalam ayat Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 101 yang artinya:
dan apabila kami letakkan suatu ayat
ditempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa
yang diturunkannya, mereka berkata:”sesungguhnya kamu adalah orang yang
mengada-ngadakan saja”. (QS.An-Nahl[16]:101)
3.
Tahwil
atau memalingkan, seperti tanasukh
Al-mawaris, artinya memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang lain.
4.
Naql
atau memindahkan dari saru tempat ketempat lain, seperti nasakhtu Al-kitaaba, yakni mengutip atau mengutip isi kitab
tersebut berikut lafadz dan tulisannya. Sebagian ulama’ menolak makna keempaat
ini, dengan alasan bahwa si nasikh tidak dapat mendatangkan lafazh yang di-mansukh itu, tetpi hany mendatangkan
lafazh lain.
Sejalan
dengan pengertian tersebut Ahmad Syadali mengartikan Nasakh dengan 2 macam
yaitu : pertama الازلة yang berarti hilangkan, hapuskan.
Definisi ini merujuk pada dialek orang Arab yang sering berkata نسحت الشمس الظل
(Cahaya Matahari menghilangkan bayang-bayang). Kedua نقل الشيئ الى موضع yaitu
memindahkan sesuatu dari satu tempat ketempat yang lainnya.
Sedangkan
secara istilah Nasakh dapat didefinisikan dengan beberapa pengertian antara
lain:
a.
Hukum Syara’ atau dalil Syara’ yang
menghapuskan dalil Syara’ terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum
baru yang dibawahnya.
Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah jika akan menghadap rasul menjadi bebas.
Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah jika akan menghadap rasul menjadi bebas.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ
الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ
وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (12)
أَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ
تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا
الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
(13) [المجادلة/12، 13]
12. Hai orang-orang
beriman, apabila kamu Mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu
mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang
demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh
(yang akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
13. Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu
memberikan sedekah sebelum Mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu
tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu Maka dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
b. Nasakh adalah Allah SWT. Artinya otoritas menghapus
dan menggantikan hukum syara’ hakikatnya
adalah Allah SWT. Definisi ini didasarkan pada Al-Baqoroh : 106
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ
مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
[البقرة/106]
106. Ayat mana saja[81]
yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan
yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu
mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
[81] Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada
yang mengartikan ayat Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.
c. رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي شرحياعنه artinya mengangkatkan hukum syara’ dengan perintah atau khitab
Allah yang datang kemudian dari padanya.
Dari
definisi di atas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya Nasakh tidak lain
sebagai proses penghapusan ayat dan hukum yang tertuang dalam al-Qur’an. Selain
itu kedatangan ayat yang menghapus mutlak adanya setelah ayat yang di hapus[2].
Adapun dari sesi terminologi , para ulama’
mendefinisikan nasakh dengan redaksi yang sedikit berbeda, tetapi dengan
pengertian yang sama, dengan: “raf’u
al-hukum al-syar’i bi al-khitab al-syar’i”(menghapuskan hukum syara’ dengan
kitab syara’ pula) atau “raf’u al-hukm
bil al-dalil al-syar’i”(manghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang
lain). Terminologi “menghapuskan” dalam definisi tersebut adalah terputusnya
hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukallaf, dan bukan terhapusnya
substansi hukum itu sendiri[3].
Sementara itu, Quraish Syihab menyatakan bahwa
antara ulama’-ulama’ mutaqaddimin dan muta’akhirin tidak sepakat dalam memberikan pengertian nasakh secara terminologi. Hal ini
terlihat dari kontroversi yang muncul diantara mereka dalam menetapkan adanya nasakh dalam Al-Qur’an. Ulama’-ulama’
mutaqaddimin bahkan memperluas arti nasakh
hingga mencakup:
1. Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan
kemudian;
2. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum
yang spesifik yang datang kemudian;
3. Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat
ambigius; dan
4. Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian
guna membatalkan atau merebut atau menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum
yang terdahulu[4].
Dari definisi-definisi yang ada, para ahli ushul
fiqh menyatakan bahwa nasakh bisa
dibenarkan bila memenuhi kriteri berikut[5]:
1. Pembatalan harus dilakukan melalui tututan syara’
yang mengandung hukum dari Allah dan Rasun-Nya yang disebut Nasikh (yang menghapus). Dengan
demikian, habisnya masa berlaku hukum yang disebabkan wafatnya seseorang tidak
dinamakan nasakh.
2. Yang dibatalkan adalah ayara’ yang disebut mansukh (yang dihapus).
3. Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan demikian, istisna’ (pengecualian) tidak disebut nasakh.
Rukun nasakh antara
lain:
1. Adat Naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya
pembatalan hukum yang telah ada.
2.
Nasikh,
yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya nasikh itu berasal dari Allah, karena
Dia-lah yang membuat hukum dan Dia pulalah yang menghapusnya.
3. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau
dipindahkan.
4. Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum[6].
Syarat-syarat Nasakh
adalah:
1. Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
2. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’.
3. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya
waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa
tidak berarti dinaskh setelah selesai
melaksanakan puasa tersebut.
4. Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian[7].
Dengan demkian, ada dua lapangan yang tidak menerima
nasakh, yaitu:
1. Seluruh khabar/aqidah
baik dari Al-Qur’an maupun dari As-Sunnah. Sebab pembatalan khabar berarti mendustakan khabar itu sendiri, sedangkan Al-Qur’an
dan As-Sunnah mustahil memuat kebohongan.
2. Hukum-hukum yang disyari’atkan secara abadi.
Manna’ Al-Qaththan menetapkan tiga dasar untuk
menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan nasikh
(menghapus) ayat lain mansukh
(dihapus). Ketiga dasar adalah[8]:
1. Melalui pentransmisian yang jelas (Al-Naql Al-Sharih) dari Nabi atau para
Sahabatnya, seperti hadits: ”kuntu
naihaitukum ‘an ziyarat Al-qubur ala fa zuruha” (aku (dulu) melarang kalin
berziarah kubur, (sekarang) berziarahlah). Juga seperti ungkapan Anas berkaitan
dengan Ashab sumur Ma’unah: “wanuzilah
fihim quran qaranahhata rufi’a” (untuk mereka telah turun ayat, sampai
akhirnya dihapus).
2. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
3. Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang
turun, sehingga disebut nasikh,dan
mana yang duluan turun, sehingga disebut mansukh.
Al-Qaththan menambahkan bahwa nasikh tidak bisa ditetapkan
melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena adanya kontradiksi
antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau belakangnya keislaman
salah seorang dari pembawa riwayat[9].
Hal senada dikemukakan oleh Ibnu Al-Hisar:
Persoalan nasakh dapat dikembalikan (didasarkan)
pada penukilan yang jelas dari Rasulullah SAW., atau dari seorang sahabat yang
mengatakan subuah ayat ini di-nasakh
oleh yang ini. Bisa jadi ditetapkan dengan cara ini, manakala terjadi
kontradiksi yang pasti, dengan bantuan pengetahuan sejarah untuk diketahui mana
yang lebih dulu turun dan yang kemudian. Dalam masalah nasakh, tidak diperkenankan memegangi pendapat kebayakan para
mufassir, bahkan tidak diperkenankan memegangi ijtihad para mujtahid tanpa
penukilan yang shahih, dan sanggahan yang jelas, sebab naskh mengandung arti
menghapuskan dan menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada masa Nabi SAW.
yang dipegang dalam masalah ini adalah penukilan dan sejarah, bukna pendapat
dan ijtihad. Para ulama’, dalam masalah ini, berada pada dua kutub kontradiksi;
ada yang mengatakan dalam masalah naskh
hadits ahad yang adil, para perawinya tidak diterima, ada yang bersikap terlalu
toleran, dalam hal ini cukup memegangi pendapat seorang mufassir atau mujtahid.
Yang benar adalah pendapat yang bertentangan dengan keduanya[10].
Adapun
Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan
disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang mengartikan dengan الحكم المرتفع Hukum
yang diangkat. Contoh QS. Al-Nisa : 11 Menasakh QS. Al-Baqarah: 180 tentang
wasiat
Al-Nisa
: 11
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ
حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا
مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ
يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ
إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا
فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا [النساء/11]
11. Allah mensyari'atkan
bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang
anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak
itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut
di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[272] Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena
kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar
maskawin dan memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34).
[273] Lebih dari dua
Maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi.
Al-
Baqarah : 180
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ
تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ
حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ [البقرة/180]
180. Diwajibkan atas kamu,
apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma'ruf[112], (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
[112] Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi
sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini
dinasakhkan dengan ayat mewaris.
Sedangkan
secara istilah Mansukh adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang
pertama yang belum diubah, dengan dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil
syara’ baru yang datang kemudian[11].
B.
Pendapat Ulama’ tentang Nasakh
Keberadaan
Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai mana yang telah diungkap dalam awal pembicaraan
di atas, menunjukkan bahwa Nasakh dan Mansukh sangat penting dalam kajian hukum
Islam, sebab ia bukan hanya terkait dengan aspek hukum syara’ melainkan juga
tak jarang berkaitan dengan teologi. Oleh karena itu Al-Nasakh Wa al-Mansukh
dalam pandangan para ulama tentunya beraneka ragam. Di antara pendapat-pendapat
tersebut adalah:
1.
Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara
sam’I telah terjadi. Pendapat pertama ini merupakan pendapat dari kalangan Jumhur
ulama’. Dasar hukum yang mereka pakai adalah : Bahwa perbuatan Allah tidak
bergantung pada alasan dan tujuan. Sehingga dengan ketidak ketergantungan Allah
pada adanya tujuan dan alasan tersebut, maka adalah hak progative-Nya untuk
menghapus ataupun tidak. Adanya Nash Qur’an dan Hadis yang membolehkan, seperti
:
a.
Dalam Qur’an surat an-Nahl : 101
وَإِذَا
بَدَّلْنَا آَيَةً مَكَانَ آَيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا
إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ [النحل/101]
101. Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat
yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang
diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang
mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.
b. QS.
Al-Baqarah:106
مَا
نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]
106. Ayat mana saja[81]
yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan
yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu
mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
[81] Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada
yang mengartikan ayat Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.
2.
Nasakh secara akal mungkin terjadi namun
secara syara’ tidak. Pendapat ini di motori oleh Abu Muslim Al-Asfihani.
Ia berpendapat Nasakh mungkin terjadi secara logika namun secara syara’ tidak.
Sebab ia berpedoman pada QS. Fushilat:42
لَا
يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ
حَكِيمٍ حَمِيدٍ [فصلت/42]
42. Yang tidak datang
kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang
diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
Menurut
Al-Asfihani, bertolak dari ayat di atas, Al-Qur’an tidak mungkin disentuh oleh
pembatalan. Sudah tentu mayoritas ulama keberatan terhadap pandangan
Al-Asfihani tersebut., sebab menurut mereka ayat di atas tidak bicara tentang
pembatalan, tetapi kebatilan yang berarti lawan dari kebenaran. Menurut mereka,
hukum Tuhan yang dibatalkan tidak mengandung keharusan bahwa hukum itu batil.
Hal ini karena sesuatu yang dibatalkan penggunaannya ketika terdapat
perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu, bukan berarti hukum itu
menjadi tidak benar.
3.
Nasakh tidak mungkin terjadi baik secara akal
maupun pandangan. Pendapat ini berasal dari kaum Nasrani. Menurut
pandangan kaum Nasrani Nasakh mengandung konsep al-Ba’da yang hal itu mustahil
bagi Allah SWT. Dengan demikian adalah mustahil Allah menghapus apa yang telah
di FirmankanNya.
Ulama
mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'iyang ditetapkan kemudian,
tidak hanya untuk ketentuan/hukumyang mencabut ketentuan/hukum yang sudah
berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang
dinyatakan berakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh
hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi
juga mencakup pengertian pembatasan (qaid) bagi suatu
pengertian bebas (muthlaq). juga dapat mencakup
pengertian pengkhususan (makhasshish) terhadap suatu
pengertian umum ('am). Bahkan juga pengertian pengecualian
(istitsna). Demikian pula pengertian syarat dan sifatnya.
Sebaliknya
ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan pengertian
tersebut untuk mempertajam perbedaan antara nasikh
dan makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga pengertian
naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum
yang datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya
masa pemberlakuan ketentuan
hukum yang terdahulu, sehingga
ketentuan yang diberlakukan ialah ketentuan
yang ditetapkan terakhir dan
menggantikan ketentuan yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah,
di satu pihak naskh mengandung lebih dari satu pengertian,
dan di lain pihak -dalam perkembangan selanjutnya-
naskh membatasinya hanya pada satu pengertian. Masalah yang tidak kurang
pentingnya disoroti, sejauh mana jangkauan naskh
itu? Apakah semua ketentuan hukum didalam syari'at ada kemungkinannya
terjangkau naskh? Dalam hal ini Imam Subki menukil pendapat Imam Ghazali
bahwa esensi taklif (beban tugas keagamaan) sebagai
suatu kebulatan tidak mungkin terjangkau oleh naskh.
Selanjutnya, Syekh Asshabuni mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya
menyangkut perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena
mustahil Allah berdusta. Sejalan dengan ini
Imam Thabari mempertegas, nasikh-mansukh yang
terjadi antara ayat-ayat al-Qur'an yang mengubah halal menjadi
haram, atau sebaliknya, itu semua
hanya menyangkut perintah dan larangan,
sedangkan dalam berita
tidak terjadi nasikh-mansukh.
Ada
beberapa perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir mengenai apa saja yang
dinasakh dari ayat-ayat Al Qur’an, maupun ayat-ayat yang mansukh. Di dalam ilmu
tafsir ada istilah Annasikh dan Almansukh. Annaasikh adalah ayat-ayat yang
menghapus, sedangkan al Mansukh adalah ayat-ayat yang dihapus.
Kelompok pendapat pertama
dari kalangan ahli tafsir (jumhur ulama)
meyakini ada ayat-ayat yang menghapus (naasikh) dan ada ayat-ayat yang dihapus
(mansukh), tetapi dari segi hukumnya saja, bukan redaksi atau lafal ayat.
Jadi redaksi ayat masih tetap tidak dihapus.
Sebagai
contoh pertama adalah ayat 219 Surat Al Baqarah :
Yas aluunaka ‘anil khomri wal maisir…Qul fiihima
itsmun kabiirun wa maanaafi’u linnas wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa…
“
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada
keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi
dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu
apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan."
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir” (QS
Al Baqarah : 219)
Bagi
kelompok yang meyakini ada nasikh mansukh dari segi hukum, ayat ini dinasikh
atau dihapus hukumnya oleh S. Al Maidah ayat 90. Innamal khomru wal maisiru wal anshobu wal azlaamu rijsumin
‘amalisysyaithoon fajtanibuuhu…
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
(QS Al Maidah : 90)
Begitu
juga S. An Nisa’ ayat 43 juga di nasikh oleh ayat ini tadi.
Walaa taqrobushsholaata wa antum sukaaro. hattaa
ta’lamu maa taquuluuna….
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri
masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,
hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang
dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”.
(QS An Nisa’:43)
Sedangkan kelompok pendapat kedua dari kalangan ulama’ meyakini
ada juga ayat-ayat yang dihapus dari redaksi ayatnya. Contohnya adalah ayat
tentang rajam (hukuman bagi pezina muhson). Di dalam surat An-Nur tentang
sangsi atau had (hukuman) bagi pezina itu Allah nyatakan AzZaaniyatu wazzaanii fajliduu kulla waahidin
minhumaa mi-ata jaldah… (Pezina perempuan dan pezina laki-laki
cambuklah tiap dari mereka itu seratus kali cambukan…)
Tetapi
dalam hadits hukuman itu masih ada, hanya saja redaksi ayat tentang rajam
ini sudah tidak ada. Jadi sudah dihapus dengan Azzaaniyatu wazzaani fajliduu dan seterusnya. Jadi Allah
menggunakan kata-kata yang umum. Jadi tidak dibedakan antara pezina muhson
(yang sudah kawin) atau pezina yang ghoiru muhson (pezina yang belum kawin.)
Kemudian kelompok pendapat ulama yang ketiga adalah
menolak faham tentang adanya ayat nasikh dan mansukh. Contohnya Imam
Abu Muslim Al Isfihani. Ia berpendapat tidak mungkin di dalam Al Qur’an ada
nasikh dan mansukh. Apalagi nasikh mansukh yang berkaitan dengan redaksi. Jadi
menurut beliau istilahnya bukan nasikh mansukh, tetapi hanya pengecualian atau
ketentuan lain. Sedangkan redaksinya tetap. Jadi (misalnya) kalau kita
ingin membina atau mengingatkan orang-orang yang mabuk tadi ada istilah tadrij.
Jadi redaksi maupun hukumnya tidak dimansukh, tetapi tetap dan memang harus
demikian. Itu merupakan teknik atau sistem tadrij yang dipakai Al Qur’an
untuk mengingatkan manusia. . Baik itu hukumnya maupun redaksinya tidak
dihapus, hanya itu merupakan pengecualian atau pengkhususan …Atau itu
sebenarnya merupakan suatu teknik tadrij .
Sebagai
contoh untuk mencegah orang yang minum minuman keras tidak mungkin dihentikan
sekaligus, tetapi melalui tiga tahapan tadi. Istilahnya tadrij dari sedikit
demi sedikit. Pertama penyadaran dulu dengan diajak berpikir: Yas aluunaka ‘anil khomri wal maisir…Qul
fiihima itsmun kabiirun wa maanaafi’u linnas wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I
himaa… Dalam mengajak berpikir ini sudah diarahkan. Jadi ini
obyektif, bahwa memang khomr itu minuman keras ada manfaatnya, juga ada
madhorotnya. Manfaatnya memanaskan badan, tetapi ada madhorotnya: merusak hati,
pikiran, dan sebagainya. Dalam mengajak berpikir tersebut sudah
diarahkan: wa
itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa… Dan dosa atau madhorotnya lebih
besar dibandingkan manfaatnya. Setelah itu tahap kedua: Walaa taqrobushsholaata wa antum sukaaro
hattaa ta’lamu maa taquuluuna…. janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, Ketika
ayat ini turun orang masih boleh minum khomr, tetapi diingatkan: jangan
menjalankan sholat! Kemudian baru tahap yang ketiga, secara tegas dinyatakan
keharomannya dalam Surat Al Maidah ayat 90: Innamal khomru wal maisiru wal anshoobu wal azlaamu rijsumin
‘amalisysyaithoon fajtanibuuhu… Jadi ini merupakan suatu teknik
tadrij, sebagaimana dipahami Abu Muslim al Isfihani tadi bahwa tidak ada nasikh
mansukh, apalagi redaksinya. Kalau ada ayat yang turun dianggap sebagai nasikh,
maka menurut Al-Asfihani itu adalah ayat yang berfungsi untuk memberi
pengecualian atau pengkhususan atau sebagai teknik tadrij, yakni dalam
menyelesaikan permasalahan tidak melarang sekaligus, tetapi melalui tahapan
seperti contoh masalah khomr tadi.
Sedangkan pendapat yang keempat
adalah sebagaimana pemahaman Imam al
Alusi yang meyakini bahwa ayat yang dihapus atau Nabi dilupakan itu
bukanlah ayat-ayat Qur’aniyah (Al Qur’an), melainkan ayat-ayat Qolbiyah atau
Kauniyah[12].
C.
Bentuk-bentuk dan Macam-macam Nasikh mansukh
Berdasarkan
kejelasan dan cakupannya,naskh dalam Al-Quran dibagi menjadi empat macam yaitu[13]:
1. Naskh
Sharih, yaitu ayat yang
secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu. Misalnya ayat
tentang perang (qital) pada ayat 65 surat Al-Anfal yang mengharuskan satu orang
muslim melawan sepuluh kafir: “Hai nabi, Kobarkanlah semangat para mukmin
untuk berperang.jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu,niscaya mereka
akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh,dan jika ada seratus orang yang
sabar diantaramu,niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang
kafir,disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” (QS.
Al Anfal : 65)
Menurut jumhur Ulama’ayat ini di naskh oleh Surat Al
Anfal ayat 66 yang artinya: “Sekarang
Allah Telah meringankan kepadamu dan dia Telah mengetahui bahwa padamu ada
kelemahan.Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka
akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir,dan jika diantaramu ada seribu
orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang,dengan
seizin Allah.dan Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al Anfal :
66)
Ayat di atas mengandung maksud bahwa pengharusan bagi
satu orang mukmin melawan dua orang kafir,dimana sebelumnya pada ayat yang dimansukh
dijelaskan bahwa pengharusan satu orang muslim melawan sepuluh kafir.
2.
Nasikh Dhimmy, yaitu
jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan dan tidak dapat
dikompromikan. Keduanya turun untuk masalah yang sama,dan diketahui waktu
turunnya, maka ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu.
contohnya: ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan
mati yang terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 180 yang artinya: “Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak,berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Al Baqoroh : 180)
Ayat ini menurut pendukung teori nasikh dihapus oleh
hadis la washiyyah li warits (tidak
ada wasiat bagi ahli waris).
3.
Nasikh Kully, orang
yang mensyariatkan itu membatalkan hukum syar’i sebelumnya. Membatalkan secara
keseluruhannya dengan merangkaikan kepada setiap pribadi mukallaf.
Sebagai contoh ketentuan ‘iddah empat bulan sepuluh
hari yang terdapat dalam surat Al Baqoroh ayat 234 yang artinya: “Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh
hari.Kemudian apabila Telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Albaqoroh : 234). Di Naskh oleh ketentuan
‘iddah satu tahun pada (QS.Albaqarah
:240).
4.
Naskh Juz’i, yaitu
mensyariatkan hukum secara umum, meliputi seluruh pribadi mukallaf, kemudian
hukum ini dibatalkan dengan menisbahkan kepada sebagian ifrad. Atau
mensyariatkan hukum itu secara mutlak, kemudian dibatalkan dengan menisbahkan
kepada beberapa hal. Maka nasikh itu tidak membatalkan perbuatan itu dengan
hukum pertama yang dijadikan dasar. Tapi membatalkannya itu dengan
menisbahkannya kepada ifrad atau kepada beberapa hal.
Contoh yang demikian itu ialah firman tuhan yang
artinya: ”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”(QS. An
Nuur : 4)
Ayat tersebut menjelaskan hukum dera 80 kali bagi
orang yang menuduh wanita berzina tanpa adanya saksi yang kemudian dinaskh oleh
ketentuan li’an yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah bagi si penuduh
pada ayat yang artinya: ”Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina),
padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka
persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya
dia adalah termasuk orang-orang yang benar.” (QS. An Nuur : 6)
Naskh dalam Al-Qur’an ada tiga macam berdasarkan segi
bacaan dan hukumnya yaitu[14]:
1.
Naskh Tilawah dan Hukum
Maksudnya adalah bahwa terdapat ayat Al-Qur’an yang
sebelumnya telah permanent dari sisi lafadz dan juga makna tetapi kemudian di
naskh, baik itu lafadz maupun makna. Para ulama’ mencontohkan bagian kedua ini
dengan ayat tentang penyusuan yang berasal dari riwayat Aisyah, sebuah
riwayat Al-Bukhari dan Muslim, yaitu hadis yang isinya, mula-mula ditetapkan
dua orang yang berlainan ibu sudah dianggap bersaudara apabila salah seorang
diantara keduanya menyusu kepada ibu salah seorang diantara mereka sebanyak
sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan ini kemudian dinaskh menjadi lima
isapan. Ayat tentang sepuluh atau lima isapan dalam menyusu kepada seorang ibu,
sekarang ini tidak termaktub didalam Mushaf karena baik bacaannya maupun
hukumnya telah di-nasikh.
Yang jelas ialah bahwa tilawahnya itu telah dinaskh
(dihapuskan) tetapi penghapusan ini tidak sampai kepada semua orang kecuali
sesudah rosulullah wafat. Oleh karena itu ketika beliau wafat, sebagian orang
masih tetap membacanya.
2.
Naskh Hukum sedang Tilawahnya Tetap
Maksudnya adalah proses naskh yang terjadi pada isi
kandungan yang terdapat dalam ayat alquran dengan tetap memelihara dan mengakui
keberadaan lafadz bacaannya.
Contohnya: ajakan para penyembah berhala dari kalangan
musyrikin pada umat islam untuk saling bergantian dalam beribadah, telah
dihapus oleh ayat qital. Akan tetapi, bunyi teksnya masih dapat kita temukan
dalam surat Al Kafirun sebagai berikut:
Artinya : “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”
(QS Al Kafirun : 6)
Contoh lainnya adalah ayat tentang mendahulukan
sedekah (Q.S Al-Mujadalah:12)
Artinya: “Hai orang-orang beriman,apabila kamu
mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul,hendaklah kamu mengeluarkan
sedekah(kepada orang miskin)sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah
lebih baik bagimu dan lebih bersih,jika kamu tiada memperoleh(yang akan disedehkahkan)maka
sesunggguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang (Q.S Al-Mujadalah:12)”.
Ayat ini di-Naskh dalam surat yang sama ayat 13
Artinya: “ Apakah kamu takud akan (menjadi miskin)
karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu
tidak memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu,maka dirikanlah
Sholat,tunaikanlah zakat,dan taatlah kepada Allah dan Rasulnya,dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Mujadalah:13).
3.
Naskh Tilawah sedang hukumnya tetap
Maksudnya bahwa terdapat ayat Al-Qur’an yang turun
kepada Rosulullah SAW yang kemudian bacaan dan lafadnya dinaskh tetapi hukum
yang terdapat dan lafadnya di naskh tetapi hukum yang terdapat di dalam lafadz
tersebut masih tetap berlaku. Contoh pada penghapusan ayat rajam, dimana
ayat ini dinyatakan mansukh bacaannya sementara hukumnya masih tetap berlaku.
Adapun pada
sisi otoritas yang lebih berhak menghapus sebuah naskh, para ulama’ membagi
naskh menjadi ada empat bagian[15]:
1. Naskh Quran dengan Quran
:Ulama’ sepakat dengan kebolehannya.
2. Naskh Quran dengan
Sunnah:Bagi kalangan hanafiyah, naskh
semacam ini diperbolehkan apabila sunnah yang menghapus kedudukannya mutawatir
dan masyhur. Akan tetapi ketentuan itu tidak berlaku apabila sunnah yang menghapusnya
berupa sunnah ahad. Bila kedua jenis sunnah diatas berstatus Qath’i
tsubut,sebagaimana Al-Quran,hal itu berbeda dengan sunnah ahad yang bersifat
zhanny tsubut. Keputusan-keputusan kalangan Hanafiyah mendapat bantahan keras
dari kalangan mayoritas ulama ushul fiqh. Bagi mereka,apapun jenis sunnah yang
akan menghapus ketentuan yang ada dalam Al-Quran,hal itu tetap tidak
diperkenankan. Untuk itu Asy-Syafi’i mengajukan analisisnya sebagai berikut:
Sunnah tidak sederajat dengan Al-Quran. Padahal Naskh yang dijanjikan dalam
Quran surat al-baqarah ayat 106 adalah yang sepadan derajatnya atau bahkan
lebihh tinggi. Dalam surat Yunus ayat 15 dinyatakan bahwa Muhammad tidak berhak
mengubah Al-Quran atas kemauannya. Surat An-Nahl ayat 44 menyatakan bahwa missi
Nabi Muhammad adalah penjelasan(mubayin) terhadap Al-Quran,sehingga setelah
mereka memperoleh penjelasan darinya,umat bisa mengamalkan Al-Quran.Bila
muhammad berhak menghapus ketentuan Al-Quran,nanti yang diamalkan umat bukan
lagi Al-Quran,tetapi As-Sunnah. Ini berarti bertentangan dengan kandungan surat
An-Nahl ayat 44. Menghindari naskh Al-Quran dengan As-Sunnah bisa menjauhi
celaan atas diri Muhammad.
3.
Naskh Sunnah dengan Quran
Menurut mayoritas ahli usul fiqh, naskh yang seperti
ini benar-benar terjadi. Contoh : penghapusan kiblat shalat ke Bait Al Maqdis
menjadi ke ka’bah.Akan tetapi lagi-lagi As-Syafii menolak penghapusan semacam
ini. Baginya jika Muhammad menetapkan suatu ketentuan,kemudian turun ayat yang
isinya bertentangan,beliau pasti akan membuat ketentuan baru yang sesuai dengan
Al-Quran. Jika tidak demikian,akan terbukalah pintu untuk menuduh bahwa setiap
sunnah yang menjadi bayan Al-Quran sudah dihapus.
4.
Naskh sunnah dengan sunnah
Bagi Al Qattan pada dasarnya ketentuan naskh dalam
ijma’ dan qiyas itu tidak ada dan tidak diperkenankan.
D.
Faedah Mempelajari Nasikh Mansukh
Menurut manna’
al-qaththan terdapat empat hikmah keberadaan ketentuan naskh,yaitu[16]:
1. Menjaga kemaslahatan hamba
2. Pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada
tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu
sendiri.
3. Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan
cara adanya perintah yang kemudian dihapus.
4. Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat.
Sebab apabila ketentuan nasikh lebih berat daripada ketentuaan mansukh, berarti
mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam
nasikh lebih muda daripada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
uraian diatas bisa disimpulkan bahwa:
1.
Definisi
a. Naskh Secara etimologi: penghilangan(izalah),
penggantian(tabdil), pengubahan(tahwil), dan pemindahan(naql).Secara
terminologi: “raf’u Al-hukm Al-syar’i bi Al-khitab Al-syar’i”(menghapuskan
hukum syara’ dengan khitab syara’ pula) atau “raf’u Al-hukm bil
Al-dalilAl-syar’i”(menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain
b. Mansukh
secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan
disalin/dinukil, ada juga yang mengartikan dengan الحكم
المرتفع Hukum yang diangkat.
Secara istilah adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama
yang belum diubah, dengan dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil syara’
baru yang datang kemudian.
c. Rukun
nasakh antara lain: adat nasakh, nasikh, mansukh, mansukh ‘anh.
d. Syarat
naskh adalah:
1. Yang
dibatalkan adalah hukum syara’.
2. Pembatalan
itu datangnya dari tuntutan syara’.
3. Pembatalan
hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum.
4. Tuntutan yang mengandung naskh harus datang
kemudian.
e. Dasar penetapan nasikh dan mansukh:
1. Melalui pentransmisian yang jelas(an-naql
Al-Sharih) dari Nabi atau sahabatnya.
2. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini
nasikh dan ayat itu mansukh.
3. Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih
belakang turun, karenanya disebut nasikh, dan mana yang duluan turun, karenanya
disebut mansukh.
2.
Cara
mengetahui nasikh dan mansukh adalah:
a. Penjelasan langsung dari Rasulullah.
b. Dalam suatu naskh terkadang terdapat
keterangan yang menyatakan bahwa salah satu naskh diturunkan terlebih dahulu.
c. Berdasarkan keterangan dari para periwayat
hadits yang menyatakan satu hadits dikeluarkan tahun sekian dan hadits lain
dikeluarkan tahun sekian.
3.
Bentuk-bentuk
dan macam-macam naskh dalam Al-Qur’an antara lain:
a. Naskh sharih
b. Naskh dhimmy
c. Naskh kully
d. Naskh juz’iy
4.
Hikmah
keberadaan naskh diantaranya
a. Menjaga kemaslahatan hamba
b. Pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada
tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu
sendiri.
c. Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan
cara adanya perintah yang kemudian dihapus.
d. Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat.
Sebab apabila ketentuan nasikh lebih berat daripada ketentuaan mansukh, berarti
mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam
nasikh lebih muda daripada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.
B.
Saran
Kita sebagai generasi islam, sangat bagus sekali apabila
mengetahui salah satu disiplin ilmu tentang Al-Qur’an, salah satunya ilmu
nasikh mansuk ini.. Karena selain untuk mengetahui yang mana ayat yang nasikh
dan yang mana ayat yang mansukh, kita juga secara tidak sengaja tidak
menyia-nyiakan adanya ulama’ terdahulu. Maka dari itu, kita perlu belajar
tentang disiplin ilmu ini, agar bisa tetap memelihara sumber islam yakni
Al-Qur’an seperti halnya ulama’-ulama’ terdahulu. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bag kita semua. Amin...
DAFTAR PUSTAKA
http://mambaulhikaminduk.blogspot.com/2012/03/ulumul-quran-nasikh-mansukh.html.
Jalaluddin
As-Suyuthi.t.t.Al-Itqan fi ‘Ulum
Al-Qur’an.Beirut:Dar Al-Fikr, jilid II.
Manna’
Al-Qaththan.1973.Mabahits fi ‘Ulum
Al-Qur’an.t.t.p.Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadits
Muhammad
‘Abd Al-‘Ashim Az-Zarqani.t.Manahil
Al-Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an.Beirut:Dar Al-Fikr, jilid II.
Quraisy
Shihab.1992.Membumikan Al-Qur’an.Bandung:Mizan.
Rachmat
Syafe’i.1999.Ilmu Ushul Fiqh.Bandung:Pustaka
Setia.
Rosihon Anwar.2012.Ulum Al-Qur’an.Bandung:Pustaka Setia, hal 173-175.
[1].
Quraisy
Shihab.1992.Membumikan Al-Qur’an.Bandung:Mizan,
hal 143. Jalaluddin As-Suyuthi.t.t.Al-Itqan
fi ‘Ulum Al-Qur’an.Beirut:Dar Al-Fikr, jilid II hal 20. Muhammad ‘Abd
Al-‘Ashim Az-Zarqani.t.Manahil Al-Irfan
fi ‘Ulum Al-Qur’an.Beirut:Dar Al-Fikr, jilid II hal 71.
[2]. http://mambaulhikaminduk.blogspot.com/2012/03/ulumul-quran-nasikh-mansukh.html
[3].
Az-Zarqani,op.cit.,hal 72.
[4]
. Shihab,o.p.cit., hal 144-147.
[5]
. Rachmat
Syafe’i.1999.Ilmu Ushul Fiqh.Bandung:Pustaka
Setia, hal 232.
[6].
Ibid, hal 232.
[7].
Manna’ Al-Qaththan.1973.Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an.t.t.p.Mansyurat
Al-‘Ashr Al-Hadits; Syafe’i.,op.cit.,hal
236.
[8]. Al-Qaththan.,op.cit.,hal 234.
[9].
Ibid
[10].
Suyuthi.,op.cit., jilid II, hal 24.
[11]. http://mambaulhikaminduk.blogspot.com/2012/03/ulumul-quran-nasikh-mansukh.html
[12]. http://mambaulhikaminduk.blogspot.com/2012/03/ulumul-quran-nasikh-mansukh.html
[13]. Rosihon
Anwar.2012.Ulum Al-Qur’an.Bandung:Pustaka
Setia, hal 173-175.
[14]. As-Suyuthi.op.cit., jilid II,hal 22; Al-Qaththan,op.cit.,hal 238-239.
[15]. Al-Qaththan,op.cit.,hal 236-237.
[16].
Ibid, hal
240.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar