Minggu, 05 April 2015

NASIKH_DAN_MANSUKH

MAKALAH
NASIKH DAN MANSUKH

Diajukan  untuk memenuhi tugas mata kuliah “Ulumul Qur’an”
Dosen : Dony Burhan NH.LC,MA

Oleh kelompok IV:
lilik Wulandari (120721100014)
Anis Fitriyah (120721100025)
Ulfatun Nazilah (120721100096)
Dalilatus Shobahah (120721100133)

PRODI EKONOMI SYARIAH (A)
FAKULTAS ILMU-ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
TAHUN 2013



KATA PENGANTAR
            Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh
            Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat,taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ‘nasikh dan mansukh’ ini. Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah ulumul qur’an, makalah ini juga bisa menjadi penunjang bagi mahasiswa dalam mata kuliah ulumul qur’an khususnya tentang nasikh dan mansukh.
            Makalah ini mengulas sedikit tentang nasikh dan mansukh, yang sub pokok bahasannya meliputi pengertian naskh, syarat dan rukunnya dan lain-lain.Kami menyadari bahwa dalam makalah ini tentunya masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu, kepada para pembaca dan pakar ulum Al-Qur’an dimohon saran dan kritiknya yang bersifat membangun demi kesempurnaan isi makalah ini.Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak atas bantuan dan kerja samanya demi selesainya makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak baik para mahasiswa dan masyarakat pada umumnya. Amien....
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh
                                                                                                            Bangkalan, 07 maret 2013
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian nasikh dan mansukh
B.     Pendapat Ulama’ tentang Nasikh Mansukh
C.     Bentuk-bentuk dan Macam-macam Nasikh Mansukh
D.    Faedah Naskh
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Secara umum Maqasid Al-Tasri’ adalah untuk kemaslahatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakkan, adanya Nasikh Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukumyang sesuai dengan tuntutan realitas zaman, waktu dan kemaslahatan manusia. Proses serupa ini disebut dengan Nasikh Mansukh.
Dengan demikkian dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena Al-Qur’an diturunkan secara mutawatir sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karena itu, untuk mengitahui Al-Qur’an dengan baik harus mengetahui imu Nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.                  Apa pengertian Nasikh Mansukh?
2.                  Apa pendapat ulama’ tentang Nasikh Mansukh?
3.                  Apa saja bentuk-bentuk dan macam-macam Nasikh Mansukh?
4.                  Apa faedah Naskh?
C.    Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.                  Mengetahui apa pengertian Nasikh Mansukh
2.                  Mengetahui pendapat ulama’ tentang Nasikh Mansukh
3.                  Mengetahui bentuk-bentuk dan macam-macam Nasikh Mansukh
4.                  Mengetahui apa faedah Naskh
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Nasikh Mansukh
Secara Lughawi ada empat makna Naskh yang sering diungkapkan ulama’, yaitu sebagai berikut[1]:  
1.   Izalah atau menghilangkan, seperti dalam ayat dalam surat Al-Hajj ayat 52 yang artinya: dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasul pun dan tidak seorang Nabi, melainkan apabila Ia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS.Al-Hajj[22]:52)
2.   Tabdil atau penggantian, seperti dalam ayat Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 101 yang artinya: dan apabila kami letakkan suatu ayat ditempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkannya, mereka berkata:”sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-ngadakan saja”. (QS.An-Nahl[16]:101)
3.   Tahwil atau memalingkan, seperti tanasukh Al-mawaris, artinya memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang lain.
4.   Naql atau memindahkan dari saru tempat ketempat lain, seperti nasakhtu Al-kitaaba, yakni mengutip atau mengutip isi kitab tersebut berikut lafadz dan tulisannya. Sebagian ulama’ menolak makna keempaat ini, dengan alasan bahwa si nasikh tidak dapat mendatangkan lafazh yang di-mansukh itu, tetpi hany mendatangkan lafazh lain.
Sejalan dengan pengertian tersebut Ahmad Syadali mengartikan Nasakh dengan 2 macam yaitu : pertama الازلة yang berarti hilangkan, hapuskan. Definisi ini merujuk pada dialek orang Arab yang sering berkata نسحت الشمس الظل (Cahaya Matahari menghilangkan bayang-bayang). Kedua  نقل الشيئ الى موضع  yaitu memindahkan sesuatu dari satu tempat ketempat yang lainnya.
Sedangkan secara istilah Nasakh dapat didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain:
a.       Hukum Syara’ atau dalil Syara’ yang menghapuskan dalil Syara’ terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum baru yang dibawahnya.
Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah jika akan menghadap rasul menjadi bebas.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (12) أَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (13) [المجادلة/12، 13] 
12. Hai orang-orang beriman, apabila kamu Mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
13. Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum Mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu Maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.        
b. Nasakh adalah Allah SWT. Artinya otoritas menghapus dan menggantikan hukum  syara’ hakikatnya adalah Allah SWT. Definisi ini didasarkan pada Al-Baqoroh : 106
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]
106. Ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
[81] Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.
c.  رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي شرحياعنه artinya mengangkatkan hukum syara’ dengan perintah atau khitab Allah yang datang kemudian dari padanya.      
Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya Nasakh tidak lain sebagai proses penghapusan ayat dan hukum yang tertuang dalam al-Qur’an. Selain itu kedatangan ayat yang menghapus mutlak adanya setelah ayat yang di hapus[2].
Adapun dari sesi terminologi , para ulama’ mendefinisikan nasakh dengan redaksi yang sedikit berbeda, tetapi dengan pengertian yang sama, dengan: “raf’u al-hukum al-syar’i bi al-khitab al-syar’i”(menghapuskan hukum syara’ dengan kitab syara’ pula) atau “raf’u al-hukm bil al-dalil al-syar’i”(manghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain). Terminologi “menghapuskan” dalam definisi tersebut adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukallaf, dan bukan terhapusnya substansi hukum itu sendiri[3].
Sementara itu, Quraish Syihab menyatakan bahwa antara ulama’-ulama’ mutaqaddimin dan muta’akhirin  tidak sepakat dalam memberikan pengertian nasakh secara terminologi. Hal ini terlihat dari kontroversi yang muncul diantara mereka dalam menetapkan adanya nasakh dalam Al-Qur’an. Ulama’-ulama’ mutaqaddimin bahkan memperluas arti nasakh hingga mencakup:
1.      Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan kemudian;
2.      Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian;
3.      Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius; dan
4.      Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum yang terdahulu[4].
Dari definisi-definisi yang ada, para ahli ushul fiqh menyatakan bahwa nasakh bisa dibenarkan bila memenuhi kriteri berikut[5]:
1.      Pembatalan harus dilakukan melalui tututan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan Rasun-Nya yang disebut Nasikh (yang menghapus). Dengan demikian, habisnya masa berlaku hukum yang disebabkan wafatnya seseorang tidak dinamakan nasakh.
2.      Yang dibatalkan adalah ayara’ yang disebut mansukh (yang dihapus).
3.      Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan demikian, istisna’ (pengecualian) tidak disebut nasakh.
Rukun nasakh antara lain:
1.      Adat Naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
2.      Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya nasikh itu berasal dari Allah, karena Dia-lah yang membuat hukum dan Dia pulalah yang menghapusnya.
3.      Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4.      Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum[6].
Syarat-syarat Nasakh adalah:
1.      Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
2.      Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’.
3.      Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti dinaskh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
4.      Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian[7].
Dengan demkian, ada dua lapangan yang tidak menerima nasakh, yaitu:
1.      Seluruh khabar/aqidah baik dari Al-Qur’an maupun dari As-Sunnah. Sebab pembatalan khabar berarti mendustakan khabar itu sendiri, sedangkan Al-Qur’an dan As-Sunnah mustahil memuat kebohongan.
2.      Hukum-hukum yang disyari’atkan secara abadi.
Manna’ Al-Qaththan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (dihapus). Ketiga dasar adalah[8]:
1.      Melalui pentransmisian yang jelas (Al-Naql Al-Sharih) dari Nabi atau para Sahabatnya, seperti hadits: ”kuntu naihaitukum ‘an ziyarat Al-qubur ala fa zuruha” (aku (dulu) melarang kalin berziarah kubur, (sekarang) berziarahlah). Juga seperti ungkapan Anas berkaitan dengan Ashab sumur Ma’unah: “wanuzilah fihim quran qaranahhata rufi’a” (untuk mereka telah turun ayat, sampai akhirnya dihapus).
2.      Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
3.      Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga disebut nasikh,dan mana yang duluan turun, sehingga disebut mansukh.
Al-Qaththan menambahkan bahwa nasikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau belakangnya keislaman salah seorang dari pembawa riwayat[9].
Hal senada dikemukakan oleh Ibnu Al-Hisar:
Persoalan nasakh dapat dikembalikan (didasarkan) pada penukilan yang jelas dari Rasulullah SAW., atau dari seorang sahabat yang mengatakan subuah ayat ini di-nasakh oleh yang ini. Bisa jadi ditetapkan dengan cara ini, manakala terjadi kontradiksi yang pasti, dengan bantuan pengetahuan sejarah untuk diketahui mana yang lebih dulu turun dan yang kemudian. Dalam masalah nasakh, tidak diperkenankan memegangi pendapat kebayakan para mufassir, bahkan tidak diperkenankan memegangi ijtihad para mujtahid tanpa penukilan yang shahih, dan sanggahan yang jelas, sebab naskh mengandung arti menghapuskan dan menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada masa Nabi SAW. yang dipegang dalam masalah ini adalah penukilan dan sejarah, bukna pendapat dan ijtihad. Para ulama’, dalam masalah ini, berada pada dua kutub kontradiksi; ada yang mengatakan dalam masalah naskh hadits ahad yang adil, para perawinya tidak diterima, ada yang bersikap terlalu toleran, dalam hal ini cukup memegangi pendapat seorang mufassir atau mujtahid. Yang benar adalah pendapat yang bertentangan dengan keduanya[10].  
Adapun Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang mengartikan dengan الحكم المرتفع Hukum yang diangkat. Contoh QS. Al-Nisa : 11 Menasakh QS. Al-Baqarah: 180 tentang wasiat
Al-Nisa : 11
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا [النساء/11]
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[272] Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34).
[273] Lebih dari dua Maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi.
Al- Baqarah : 180                                               
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ [البقرة/180] 
180. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[112], (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
[112] Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.
Sedangkan secara istilah Mansukh adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama yang belum diubah, dengan dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian[11].

B.     Pendapat Ulama’ tentang Nasakh
Keberadaan Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai mana yang telah diungkap dalam awal pembicaraan di atas, menunjukkan bahwa Nasakh dan Mansukh sangat penting dalam kajian hukum Islam, sebab ia bukan hanya terkait dengan aspek hukum syara’ melainkan juga tak jarang berkaitan dengan teologi. Oleh karena itu Al-Nasakh Wa al-Mansukh dalam pandangan para ulama tentunya beraneka ragam. Di antara pendapat-pendapat tersebut adalah:
1.      Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara sam’I telah terjadi. Pendapat pertama ini merupakan pendapat dari kalangan Jumhur ulama’. Dasar hukum yang mereka pakai adalah : Bahwa perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Sehingga dengan ketidak ketergantungan Allah pada adanya tujuan dan alasan tersebut, maka adalah hak progative-Nya untuk menghapus ataupun tidak. Adanya Nash Qur’an dan Hadis yang membolehkan, seperti :
a.       Dalam Qur’an surat an-Nahl : 101
وَإِذَا بَدَّلْنَا آَيَةً مَكَانَ آَيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ [النحل/101] 
            101. Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.
b.      QS. Al-Baqarah:106  
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]
106. Ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
[81] Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.
2.      Nasakh secara akal mungkin terjadi namun secara syara’ tidak. Pendapat ini di motori oleh Abu Muslim Al-Asfihani. Ia berpendapat Nasakh mungkin terjadi secara logika namun secara syara’ tidak. Sebab ia berpedoman pada QS. Fushilat:42
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ [فصلت/42] 
42. Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
Menurut Al-Asfihani, bertolak dari ayat di atas, Al-Qur’an tidak mungkin disentuh oleh pembatalan. Sudah tentu mayoritas ulama keberatan terhadap pandangan Al-Asfihani tersebut., sebab menurut mereka ayat di atas tidak bicara tentang pembatalan, tetapi kebatilan yang berarti lawan dari kebenaran. Menurut mereka, hukum Tuhan yang dibatalkan tidak mengandung keharusan bahwa hukum itu batil. Hal ini karena sesuatu yang dibatalkan penggunaannya ketika terdapat perkembangan dan kemaslahatan pada suatu  waktu, bukan berarti hukum itu menjadi tidak benar.
3.      Nasakh tidak mungkin terjadi baik secara akal maupun pandangan. Pendapat ini berasal dari kaum Nasrani. Menurut pandangan kaum Nasrani Nasakh mengandung konsep al-Ba’da yang hal itu mustahil bagi Allah SWT. Dengan demikian adalah mustahil Allah menghapus apa yang telah di FirmankanNya.
Ulama  mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'iyang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk  ketentuan/hukumyang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama  yang  dinyatakan berakhirnya  masa  pemberlakuannya,  sejauh  hukum  tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi  juga  mencakup pengertian  pembatasan (qaid)  bagi  suatu pengertian bebas (muthlaq).  juga  dapat  mencakup  pengertian   pengkhususan (makhasshish)  terhadap  suatu pengertian umum ('am). Bahkan juga  pengertian  pengecualian  (istitsna). Demikian   pula pengertian syarat dan sifatnya.
Sebaliknya   ulama  mutaakhkhir  memperciut  batasan-batasan pengertian  tersebut  untuk  mempertajam  perbedaan   antara nasikh  dan  makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga pengertian naskh  terbatas  hanya  untuk  ketentuan hukum  yang  datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya   masa   pemberlakuan   ketentuan   hukum   yang terdahulu,   sehingga   ketentuan  yang  diberlakukan  ialah ketentuan  yang   ditetapkan   terakhir   dan   menggantikan ketentuan  yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari  satu  pengertian, dan  di  lain  pihak  -dalam perkembangan selanjutnya- naskh membatasinya hanya pada satu pengertian. Masalah yang tidak kurang pentingnya disoroti,  sejauh  mana jangkauan  naskh  itu?  Apakah semua ketentuan hukum didalam syari'at ada kemungkinannya terjangkau naskh? Dalam hal  ini Imam Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif (beban  tugas  keagamaan)  sebagai  suatu  kebulatan   tidak mungkin  terjangkau oleh naskh. Selanjutnya, Syekh Asshabuni mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya menyangkut perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena mustahil  Allah  berdusta.  Sejalan  dengan  ini  Imam Thabari  mempertegas,  nasikh-mansukh  yang  terjadi  antara ayat-ayat al-Qur'an yang mengubah halal menjadi haram,  atau sebaliknya,   itu   semua   hanya  menyangkut  perintah  dan larangan,   sedangkan    dalam    berita    tidak    terjadi nasikh-mansukh.
Ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir mengenai apa saja yang dinasakh dari ayat-ayat Al Qur’an, maupun ayat-ayat yang mansukh. Di dalam ilmu tafsir ada istilah Annasikh dan Almansukh. Annaasikh adalah ayat-ayat yang menghapus, sedangkan al Mansukh adalah ayat-ayat yang dihapus.
Kelompok pendapat pertama dari kalangan ahli tafsir (jumhur ulama) meyakini ada ayat-ayat yang menghapus (naasikh) dan ada ayat-ayat yang dihapus (mansukh), tetapi dari segi hukumnya saja, bukan  redaksi atau lafal ayat.  Jadi redaksi ayat masih tetap tidak dihapus.
Sebagai contoh pertama adalah ayat 219 Surat Al Baqarah :
Yas aluunaka ‘anil khomri wal maisir…Qul fiihima itsmun kabiirun wa maanaafi’u linnas wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa…
“ Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir” (QS Al Baqarah : 219)
Bagi kelompok yang meyakini ada nasikh mansukh dari segi hukum, ayat ini dinasikh atau dihapus hukumnya oleh S. Al Maidah ayat 90. Innamal khomru wal maisiru wal anshobu wal azlaamu rijsumin ‘amalisysyaithoon fajtanibuuhu…
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al Maidah : 90)
Begitu juga S. An Nisa’ ayat 43 juga di nasikh oleh ayat ini tadi.
Walaa taqrobushsholaata wa antum sukaaro. hattaa ta’lamu maa taquuluuna….
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”. (QS An Nisa’:43)
Sedangkan kelompok pendapat kedua dari kalangan ulama’ meyakini ada juga ayat-ayat yang dihapus dari redaksi ayatnya. Contohnya adalah ayat tentang rajam (hukuman bagi pezina muhson). Di dalam surat An-Nur tentang sangsi atau had (hukuman) bagi pezina itu Allah nyatakan AzZaaniyatu wazzaanii fajliduu kulla waahidin minhumaa mi-ata jaldah… (Pezina perempuan dan pezina laki-laki cambuklah tiap dari mereka itu seratus kali cambukan…)
Tetapi dalam hadits hukuman itu masih ada,  hanya saja redaksi ayat tentang rajam ini sudah tidak ada. Jadi sudah dihapus dengan Azzaaniyatu wazzaani fajliduu dan seterusnya. Jadi Allah menggunakan kata-kata yang umum. Jadi tidak dibedakan antara pezina muhson (yang sudah kawin) atau pezina yang ghoiru muhson (pezina yang belum kawin.)
Kemudian kelompok pendapat ulama yang ketiga adalah menolak faham tentang adanya ayat nasikh dan mansukh. Contohnya Imam Abu Muslim Al Isfihani. Ia berpendapat tidak mungkin di dalam Al Qur’an ada nasikh dan mansukh. Apalagi nasikh mansukh yang berkaitan dengan redaksi. Jadi menurut beliau istilahnya bukan nasikh mansukh, tetapi hanya pengecualian atau ketentuan lain. Sedangkan redaksinya tetap.  Jadi (misalnya) kalau kita ingin membina atau mengingatkan orang-orang yang mabuk tadi ada istilah tadrij. Jadi redaksi maupun hukumnya tidak dimansukh, tetapi tetap dan memang harus demikian. Itu merupakan teknik atau sistem tadrij yang dipakai  Al Qur’an untuk mengingatkan manusia. . Baik itu hukumnya maupun redaksinya tidak dihapus, hanya itu merupakan pengecualian atau pengkhususan …Atau itu sebenarnya merupakan suatu teknik tadrij .
Sebagai contoh untuk mencegah orang yang minum minuman keras tidak mungkin dihentikan sekaligus, tetapi melalui tiga tahapan tadi. Istilahnya tadrij dari sedikit demi sedikit. Pertama penyadaran dulu dengan diajak berpikir: Yas aluunaka ‘anil khomri wal maisir…Qul fiihima itsmun kabiirun wa maanaafi’u linnas wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa… Dalam mengajak berpikir ini sudah diarahkan. Jadi ini obyektif, bahwa memang khomr itu minuman keras ada manfaatnya, juga ada madhorotnya. Manfaatnya memanaskan badan, tetapi ada madhorotnya: merusak hati, pikiran, dan sebagainya. Dalam mengajak berpikir tersebut sudah diarahkan:    wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa… Dan dosa atau madhorotnya lebih besar dibandingkan manfaatnya.  Setelah itu tahap kedua:  Walaa taqrobushsholaata wa antum sukaaro hattaa ta’lamu maa taquuluuna…. janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,  Ketika ayat ini turun orang masih boleh minum khomr, tetapi diingatkan: jangan menjalankan sholat! Kemudian baru tahap yang ketiga, secara tegas dinyatakan keharomannya dalam Surat Al Maidah ayat 90:  Innamal khomru wal maisiru wal anshoobu wal azlaamu rijsumin ‘amalisysyaithoon fajtanibuuhu… Jadi ini merupakan suatu teknik tadrij, sebagaimana dipahami Abu Muslim al Isfihani tadi bahwa tidak ada nasikh mansukh, apalagi redaksinya. Kalau ada ayat yang turun dianggap sebagai nasikh, maka menurut Al-Asfihani itu adalah ayat yang berfungsi untuk memberi pengecualian atau pengkhususan atau sebagai teknik tadrij, yakni dalam menyelesaikan permasalahan tidak melarang sekaligus, tetapi melalui tahapan seperti contoh masalah khomr tadi.
Sedangkan pendapat yang keempat adalah sebagaimana pemahaman Imam al Alusi yang meyakini bahwa ayat yang dihapus atau Nabi dilupakan itu bukanlah ayat-ayat Qur’aniyah (Al Qur’an), melainkan ayat-ayat Qolbiyah atau Kauniyah[12].
C.    Bentuk-bentuk dan Macam-macam Nasikh mansukh
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya,naskh dalam Al-Quran dibagi menjadi empat macam yaitu[13]:
1.      Naskh Sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu. Misalnya ayat tentang perang (qital) pada ayat 65 surat Al-Anfal yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh kafir: “Hai nabi, Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang.jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu,niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh,dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu,niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir,disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” (QS. Al Anfal : 65)
Menurut jumhur Ulama’ayat ini di naskh oleh Surat Al Anfal ayat 66 yang artinya: “Sekarang Allah Telah meringankan kepadamu dan dia Telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan.Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir,dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang,dengan seizin Allah.dan Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al Anfal : 66)
Ayat di atas mengandung maksud bahwa pengharusan bagi satu orang mukmin melawan dua orang kafir,dimana sebelumnya pada ayat yang dimansukh dijelaskan bahwa pengharusan satu orang muslim melawan sepuluh kafir.
2.      Nasikh Dhimmy, yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Keduanya turun untuk masalah yang sama,dan diketahui waktu turunnya, maka ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. contohnya: ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 180 yang artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqoroh : 180)
Ayat ini menurut pendukung teori nasikh dihapus oleh hadis la washiyyah li warits (tidak ada wasiat bagi ahli waris).
3.      Nasikh Kully, orang yang mensyariatkan itu membatalkan hukum syar’i sebelumnya. Membatalkan secara keseluruhannya dengan merangkaikan kepada setiap pribadi mukallaf.
Sebagai contoh ketentuan ‘iddah empat bulan sepuluh hari yang terdapat dalam surat Al Baqoroh ayat 234 yang artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.Kemudian apabila Telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Albaqoroh : 234). Di Naskh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada  (QS.Albaqarah :240).
4.      Naskh Juz’i, yaitu mensyariatkan hukum secara umum, meliputi seluruh pribadi mukallaf, kemudian hukum ini dibatalkan dengan menisbahkan kepada sebagian ifrad. Atau mensyariatkan hukum itu secara mutlak, kemudian dibatalkan dengan menisbahkan kepada beberapa hal. Maka nasikh itu tidak membatalkan perbuatan itu dengan hukum pertama yang dijadikan dasar. Tapi membatalkannya itu dengan menisbahkannya kepada ifrad atau kepada beberapa hal.
Contoh yang demikian itu ialah firman tuhan yang artinya: ”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”(QS. An Nuur : 4)
Ayat tersebut menjelaskan hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh wanita berzina tanpa adanya saksi yang kemudian dinaskh oleh ketentuan li’an yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah bagi si penuduh pada ayat yang artinya: ”Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.” (QS. An Nuur : 6)
Naskh dalam Al-Qur’an ada tiga macam berdasarkan segi bacaan dan hukumnya yaitu[14]:
1.      Naskh Tilawah dan Hukum
Maksudnya adalah bahwa terdapat ayat Al-Qur’an yang sebelumnya telah permanent dari sisi lafadz dan juga makna tetapi kemudian di naskh, baik itu lafadz maupun makna. Para ulama’ mencontohkan bagian kedua ini dengan ayat tentang penyusuan yang berasal dari riwayat Aisyah,  sebuah riwayat Al-Bukhari dan Muslim, yaitu hadis yang isinya, mula-mula ditetapkan dua orang yang berlainan ibu sudah dianggap bersaudara apabila salah seorang diantara keduanya menyusu kepada ibu salah seorang diantara mereka sebanyak sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan ini kemudian dinaskh menjadi lima isapan. Ayat tentang sepuluh atau lima isapan dalam menyusu kepada seorang ibu, sekarang ini tidak termaktub didalam Mushaf karena baik bacaannya maupun hukumnya telah di-nasikh.
Yang jelas ialah bahwa tilawahnya itu telah dinaskh (dihapuskan) tetapi penghapusan ini tidak sampai kepada semua orang kecuali sesudah rosulullah wafat. Oleh karena itu ketika beliau wafat, sebagian orang masih tetap membacanya.
2.      Naskh Hukum sedang Tilawahnya Tetap
Maksudnya adalah proses naskh yang terjadi pada isi kandungan yang terdapat dalam ayat alquran dengan tetap memelihara dan mengakui keberadaan lafadz bacaannya.
Contohnya: ajakan para penyembah berhala dari kalangan musyrikin pada umat islam untuk saling bergantian dalam beribadah, telah dihapus oleh ayat qital. Akan tetapi, bunyi teksnya masih dapat kita temukan dalam surat Al Kafirun sebagai berikut:
Artinya : “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS Al Kafirun : 6)
Contoh lainnya adalah ayat tentang mendahulukan sedekah (Q.S Al-Mujadalah:12)
Artinya: “Hai orang-orang beriman,apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul,hendaklah kamu mengeluarkan sedekah(kepada orang miskin)sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih,jika kamu tiada memperoleh(yang akan disedehkahkan)maka sesunggguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang (Q.S Al-Mujadalah:12)”.
Ayat ini di-Naskh dalam surat yang sama ayat 13
Artinya: “ Apakah kamu takud akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tidak memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu,maka dirikanlah Sholat,tunaikanlah zakat,dan taatlah kepada Allah dan Rasulnya,dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Mujadalah:13).
3.      Naskh Tilawah sedang hukumnya tetap
Maksudnya bahwa terdapat ayat Al-Qur’an yang turun kepada Rosulullah SAW yang kemudian bacaan dan lafadnya dinaskh tetapi hukum yang terdapat dan lafadnya di naskh tetapi hukum yang terdapat di dalam lafadz tersebut masih tetap berlaku. Contoh pada penghapusan ayat  rajam, dimana ayat ini dinyatakan mansukh bacaannya sementara hukumnya masih tetap berlaku.
Adapun pada sisi otoritas yang lebih berhak menghapus sebuah naskh, para ulama’ membagi naskh menjadi ada empat bagian[15]:
1.      Naskh Quran dengan Quran :Ulama’ sepakat dengan kebolehannya.
2.      Naskh Quran dengan Sunnah:Bagi kalangan hanafiyah, naskh semacam ini diperbolehkan apabila sunnah yang menghapus kedudukannya mutawatir dan masyhur. Akan tetapi ketentuan itu tidak berlaku apabila sunnah yang menghapusnya berupa sunnah ahad. Bila kedua jenis sunnah diatas berstatus Qath’i tsubut,sebagaimana Al-Quran,hal itu berbeda dengan sunnah ahad yang bersifat zhanny tsubut. Keputusan-keputusan kalangan Hanafiyah mendapat bantahan keras dari kalangan mayoritas ulama ushul fiqh. Bagi mereka,apapun jenis sunnah yang akan menghapus ketentuan yang ada dalam Al-Quran,hal itu tetap tidak diperkenankan. Untuk itu Asy-Syafi’i mengajukan analisisnya sebagai berikut: Sunnah tidak sederajat dengan Al-Quran. Padahal Naskh yang dijanjikan dalam Quran surat al-baqarah ayat 106 adalah yang sepadan derajatnya atau bahkan lebihh tinggi. Dalam surat Yunus ayat 15 dinyatakan bahwa Muhammad tidak berhak mengubah Al-Quran atas kemauannya. Surat An-Nahl ayat 44 menyatakan bahwa missi Nabi Muhammad adalah penjelasan(mubayin) terhadap Al-Quran,sehingga setelah mereka memperoleh penjelasan darinya,umat bisa mengamalkan Al-Quran.Bila muhammad berhak menghapus ketentuan Al-Quran,nanti yang diamalkan umat bukan lagi Al-Quran,tetapi As-Sunnah. Ini berarti bertentangan dengan kandungan surat An-Nahl ayat 44. Menghindari naskh Al-Quran dengan As-Sunnah bisa menjauhi celaan atas diri Muhammad.
3.      Naskh Sunnah dengan Quran
Menurut mayoritas ahli usul fiqh, naskh yang seperti ini benar-benar terjadi. Contoh : penghapusan kiblat shalat ke Bait Al Maqdis menjadi ke ka’bah.Akan tetapi lagi-lagi As-Syafii menolak penghapusan semacam ini. Baginya jika Muhammad menetapkan suatu ketentuan,kemudian turun ayat yang isinya bertentangan,beliau pasti akan membuat ketentuan baru yang sesuai dengan Al-Quran. Jika tidak demikian,akan terbukalah pintu untuk menuduh bahwa setiap sunnah yang menjadi bayan Al-Quran sudah dihapus.
4.      Naskh sunnah dengan sunnah
Bagi Al Qattan pada dasarnya ketentuan naskh dalam ijma’ dan qiyas itu tidak ada dan tidak diperkenankan.
D.    Faedah Mempelajari Nasikh Mansukh
Menurut manna’ al-qaththan terdapat empat hikmah keberadaan ketentuan naskh,yaitu[16]:
1.      Menjaga kemaslahatan hamba
2.      Pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3.      Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang kemudian dihapus.
4.      Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab apabila ketentuan nasikh lebih berat daripada ketentuaan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih muda daripada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Dari uraian diatas bisa disimpulkan bahwa:
1.      Definisi
a.       Naskh Secara etimologi: penghilangan(izalah), penggantian(tabdil), pengubahan(tahwil), dan pemindahan(naql).Secara terminologi: “raf’u Al-hukm Al-syar’i bi Al-khitab Al-syar’i”(menghapuskan hukum syara’ dengan khitab syara’ pula) atau “raf’u Al-hukm bil Al-dalilAl-syar’i”(menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain
b.      Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan disalin/dinukil, ada juga yang mengartikan dengan الحكم المرتفع Hukum yang diangkat. Secara istilah adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama yang belum diubah, dengan dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
c.       Rukun nasakh antara lain: adat nasakh, nasikh, mansukh, mansukh ‘anh.
d.      Syarat naskh adalah:
1.      Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
2.      Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’.
3.      Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum.
4.      Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian.
e.       Dasar penetapan nasikh dan mansukh:
1.      Melalui pentransmisian yang jelas(an-naql Al-Sharih) dari Nabi atau sahabatnya.
2.      Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
3.      Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, karenanya disebut nasikh, dan mana yang duluan turun, karenanya disebut mansukh.
2.      Cara mengetahui nasikh dan mansukh adalah:
a.       Penjelasan langsung dari Rasulullah.
b.      Dalam suatu naskh terkadang terdapat keterangan yang menyatakan bahwa salah satu naskh diturunkan terlebih dahulu.
c.       Berdasarkan keterangan dari para periwayat hadits yang menyatakan satu hadits dikeluarkan tahun sekian dan hadits lain dikeluarkan tahun sekian.
3.      Bentuk-bentuk dan macam-macam naskh dalam Al-Qur’an antara lain:
a.       Naskh sharih
b.      Naskh dhimmy
c.       Naskh kully
d.      Naskh juz’iy
4.      Hikmah keberadaan naskh diantaranya
a.       Menjaga kemaslahatan hamba
b.      Pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
c.       Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang kemudian dihapus.
d.      Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab apabila ketentuan nasikh lebih berat daripada ketentuaan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih muda daripada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.
B.     Saran
            Kita sebagai generasi islam, sangat bagus sekali apabila mengetahui salah satu disiplin ilmu tentang Al-Qur’an, salah satunya ilmu nasikh mansuk ini.. Karena selain untuk mengetahui yang mana ayat yang nasikh dan yang mana ayat yang mansukh, kita juga secara tidak sengaja tidak menyia-nyiakan adanya ulama’ terdahulu. Maka dari itu, kita perlu belajar tentang disiplin ilmu ini, agar bisa tetap memelihara sumber islam yakni Al-Qur’an seperti halnya ulama’-ulama’ terdahulu. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bag kita semua. Amin...
DAFTAR PUSTAKA
http://mambaulhikaminduk.blogspot.com/2012/03/ulumul-quran-nasikh-mansukh.html.
Jalaluddin As-Suyuthi.t.t.Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an.Beirut:Dar Al-Fikr, jilid II.
Manna’ Al-Qaththan.1973.Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an.t.t.p.Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadits
Muhammad ‘Abd Al-‘Ashim Az-Zarqani.t.Manahil Al-Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an.Beirut:Dar Al-Fikr, jilid II.
Quraisy Shihab.1992.Membumikan Al-Qur’an.Bandung:Mizan.
Rachmat Syafe’i.1999.Ilmu Ushul Fiqh.Bandung:Pustaka Setia.
Rosihon Anwar.2012.Ulum Al-Qur’an.Bandung:Pustaka Setia, hal 173-175.



[1]. Quraisy Shihab.1992.Membumikan Al-Qur’an.Bandung:Mizan, hal 143. Jalaluddin As-Suyuthi.t.t.Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an.Beirut:Dar Al-Fikr, jilid II hal 20. Muhammad ‘Abd Al-‘Ashim Az-Zarqani.t.Manahil Al-Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an.Beirut:Dar Al-Fikr, jilid II hal 71.
[2]. http://mambaulhikaminduk.blogspot.com/2012/03/ulumul-quran-nasikh-mansukh.html
[3]. Az-Zarqani,op.cit.,hal 72.
[4] . Shihab,o.p.cit., hal 144-147.
[5] . Rachmat Syafe’i.1999.Ilmu Ushul Fiqh.Bandung:Pustaka Setia, hal 232.
[6].  Ibid, hal 232.
[7].  Manna’ Al-Qaththan.1973.Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an.t.t.p.Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadits; Syafe’i.,op.cit.,hal 236.
[8]. Al-Qaththan.,op.cit.,hal 234.
[9]. Ibid
[10]. Suyuthi.,op.cit., jilid II, hal 24.
[11]. http://mambaulhikaminduk.blogspot.com/2012/03/ulumul-quran-nasikh-mansukh.html
[12]. http://mambaulhikaminduk.blogspot.com/2012/03/ulumul-quran-nasikh-mansukh.html
[13]. Rosihon Anwar.2012.Ulum Al-Qur’an.Bandung:Pustaka Setia, hal 173-175.
[14]. As-Suyuthi.op.cit., jilid II,hal 22; Al-Qaththan,op.cit.,hal 238-239.
[15]. Al-Qaththan,op.cit.,hal 236-237.
[16]. Ibid, hal 240.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar