SYARAT-SYARAT
YANG DIBUAT DALAM AKAD
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Fiqih Mu’amalah 1”
Dosen : Ach. Mus’if, S.HI,
M.A
Oleh
Kelompok 11:
Fajar Surya
Rahman
Husni Mubarak
Ali Fadlal
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH 3A
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
TAHUN AKADEMIK 2013-2014
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
B.
Rumusan
Masalah
C.
Tujuan
Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Sifat-sifat Akad
B. Ta’liq, taqyid, dan Ifadlah
C. Perbedaan antara Ta’liq, taqyid, dan
Ifadlah
D. Akad yang dapat menerima syarat
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial
yang tidak bisa lepas dari kehidupan bermasyarakat, yang selalu mengadakan
kontak dengan manusia lainnya dalam bentuk muamalah. Contohnya, Manusia
selalu melakukan jual beli untuk mendapatkan barang-barang yang dibutuhkan untuk
memenuhi kehidupannya. Hubungan antar sesama manusia khususnya dalam bidang
harta kekayaan biasanya diwujudkan dalam bentuk perjanjian (akad).
Sebuah perjanjian (akad) dilakukan
manusia hampir setiap hari, seperti sewa menyewa, jual beli, dan lain
sebagainya. Sebuah akad mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi untuk
sahnya suatu akad. Singkatnya dapat dikatakan bahwa hukum perjanjian islam
memegang peranan penting dalam pelaksanaan muamalah yang
menyangkut ekonomi islam.
Akad dari sudut penggunaan bahasa
Arab mempunyai makna yang beragam antaranya, janji, jaminan, kepercayaan dan
ikatan (sama ada ikatan sebenar seperti mengikat tali atau ikatan simbolik
seperti ikatan ijab dan qabul dalam akad jual-beli). Manakala
Kamus Dewan pula memberikan pengertian akad sebagai janji dan perjanjian.
Perkataan akad merupakan perkataan yang sinonim dengan perkataan kontrak.
Akad dari
istilah fiqh ialah ikatan di antara ijab dan qabul yang dibuat mengikut cara
yang disyariatkan yang sabit kesannya pada barang berkenaan. Dengan perkataan
lain akad melibatkan pergantungan cakapan salah satu pihak yang berakad dengan
cakapan pihak yang satu lagi, mengikut ketentuan syarak yang akan melahirkan
kesan pada barang yang diakadkan. Dari aspek undang-undang pula, kontrak
didefinisikan sebagai semua perjanjian adalah kontrak jika dibuat atas kerelaan
bebas pihak-pihak yang layak membuat kontrak, untuk sesuatu balasan yang sah,
dan dengan sesuatu tujuan yang sah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,
maka rumusan masalah makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah
sifat-sifat akad?
2. Bagaimanakah
Ta’liq, Taqyid, dan Idlafah?
3. Bagaimanakah
perbedaan antara Ta’liq, Taqyid, dan Idlafah?
4. Bagaimanakah
akad yang dapat menerima syarat?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas,
tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk
mengetahui sifat-sifat akad
2. Untuk
mengetahui tentang Ta’liq, Taqyid, dan Idlafah
3. Untuk
mengetahui perbedaan Ta’liq, Taqyid, dan Idlafah
4. Untuk
mengetahui tentang akad yang dapat menerima syarat
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Sifat-Sifat
Akad
Segala bentuk tasharuf (aktifitas
hukum) termasuk akad memiliki dua keadaan umum.
Pertama: akad itu diucapkan seseorang, tanpa memberi
ketentuan (batasan) dengan suatu kaidah dan tanpa menetapkan suatu syarat. Maka
apabila dilakukan demikian, syara’pun menghargai dan berwujudlah segala hukum
akad semenjak waktu akad itu diadakan.
Di dalam referensi yang
lain disebut dengan akad tanpa syarat (akad munjiz), yang dimaksud akad
munjiz adalah akad yang diucapkan seseorang, tanpa memberiakn batasan dengan
suatu kaidah atau tanpa menetapkan suatu syarat. Akad seperti ini dihargai
syarat sehingga menimbulkan dampak hukum.
Contoknya, seseorang
berkata, saya membeli rumah kepadamu. Lalu dikabulkan oleh seorang lagi, maka
berwujudlah akad, serta berakibat pada hukum itu juga, yakni pembeli memiliki
rumah dan penjual memiliki uang. Contoh yang lain, seseorang berkata: saya jual
sepeda kepada kawan saya ini, lalu dikabulkan oleh seorang lagi (Si pembeli),
maka berwujud akad, serta berakibat hukum diwaktu itu juga. Si pembeli memilki
sepeda dan Si penjual memiliki uang.
Kedua: akad itu diucapkan seseorang dengan dikaitkan
dengan sesuatu, dalam arti apabila kaitan itu tidak ada, maka akadpun tidak
jadi. Baik dikaitkan dengan wujudnya sesuatu, baik dikaitkan dengan hukumnya
atau ditangguhkan pelaksanaanya sehingga waktu tertentu.
Di jelaskan dalam
referensi lainya sifat-sifat akat yang kedua ini disebut juga akad bersyarat
(akad ghair munjiz), akad ghair munjiz adalah akad yang diucapkan seseorang
dan dikaitkan dengan sesuatu, yakni apabila syarat atau kaitannya itu tidak
ada, akadpun tidak jadi, baik dikaitkan dengan wujud sesuatu tersebut atau
ditannguhkan pelaksanaannya.
Contohnya, seseorang berkata,” saya jual mobil ini dengan harga Rp. 40.000.000,00 jika
disetujui oleh atasan saya. Contoh lain, seorang berkata saya jual mobil ini
dengan syarat saya boleh memakainya selama sebulan, sesudah itu akan saya
serahkan kepadamu.
B.
Ta’liq,
Taqyid, dan Idlafah
Akad ghair munjiz ada tiga macam:
1.
Ta’liq syarat seperti contoh pertama.
2.
Taqyid syarat
seperti contoh kedua.
3.
Syarat idlafah yaitu menangguhkan pelaksanaannya.
1. Ta’liq Syarat
Ta’liq syarat adalah lawan dari tanjiz, yaitu:
ربط حطول امر
بحصول امر اخر
Artinya : menautkan hasil dari urusan dengan urusan yang lain.
Yakni terjadinya suatu akad bergantung pada urusan lain. Jika urusan
lain tidak terjadi atau tidak ada, akadpun tidak ada, seperti perkataan
seseorang,”jika orang yang berutang kepada anda pergi, saya menjamin utangnya.
Orang yang menanggung utang (kafil) menyangkutkan kesanggupannya untuk
melunasi utang pada perginya orang yang berutang tersebut.
Ta’liq syarat ini memerlukan dua ungkapan. Ungkapan yang pertama
mengharuskan adanya syarat, seperti dengan kata jika dan kalau, yang
dinamakan ungkapan syarat. Adapun ungkapan kedua dinamakan ungkapan jasa
(balasan). “kedua ungkapan ini boleh didahulukan yang mana saja”
Dalam referensi yang lain hadis diatas
diartikan “mentautkan hasil sesuatu urusan dengan hasil sesuatu urusan
lain” dengan alasan jika seseorang berkata: jika orang yang berhutang kepada
anda pergi, maka saya menjamin hutang-hutang itu.
Penjelasannya, Si Kahfi menyangkut kepada perginya orang yang berhutang
itu. Contoh ta’liq ini membutuhkan dua ungkapan. Dalam ungkapan yang pertama di
masukkan adat syarat, yaitu jika dan kalau, dan ungkapan ini
dinamakan ungkapan syarat. Ungkapan yang kedua dinamakan jaza’. Dua
ungkapan ini boleh didahulukan mana saja. Boleh dikatakan : jika hari ini
barang-barangku datang, maka aku jadikan kamu wakil untuk menjualnya, atau
dikatakan: aku jadikan kamu wakil buat menjual barang-barang itu jika dia
datang hari ini.
2. Taqyid Syarat
Pengertian taqyid syarat adalah:
التزام حكم
في التصرف القلي لا يستلزمه دالك التصرف في حالة الا طلاق.
Artinya:
“pemenuhan
hukum dalam tasharruf ucapan yang sebenarnya tidak menjadi lazim (wajib)
tasharruf dalam keadaan mutlak.” Penjelasnnya syarat pada suatu akad atau
tasharruf yang hanya berupa ucapan saja sebab pada hakikatnya tidak ada atau
tidak mesti dilakukan.
Contoh taqyid syarat seperti orang yang
menjual barang dengan syarat ongkos pengangkutannya ditanggung penjual. Penjual
mengaku atau berjanji untuk memenuhi persyaratan tersebut, yaitu memilki
ongkos. Sebenarnya, iltijam tersebut tidak bersyarat karena akad yang mutlak
tidak mengharuskan ongkos angkutan itu dipikul oleh si penjual.
Di dalam
buku yang lain hadis diatas diartikan “berjanji akan memenuhi hokum dalam
tasharruf dengan lidah yang tidak menjadi lazim (wajib) tasharruf itu dalam
keadaan tidak ditegaskan.
Seperti
orang yang menjual barang dengan syarat ongkos membawa kerumah si pembeli
dipikul oleh si penjual sendiri. Dalam hal ini si penjual mengaku atau berjanji
memenuhi sesuatu syarat, yaitu memikul ongkos. Iltizam ini sebenarnya tidak
bersyarat, karenanya, akad yang mutlak tidak mengharuskan ongkos angkutan itu
dipikul oleh si penjual.
3. Syarat Idlafah
Syarat
idlafah adalah adalah maknanya
menyandarkan kepada suatu masa yang akan datang atau idlafah mustaqbal, adalah
تا خير حكم
التصرف القولي الى زمان مستقبل معين
Artinya:
Melambatkan
hukum tasharruf qauli kemasa yang akan datang.
Seperti
dikatakan,” saya menjadikan anda sebagai wakil saya mulai awal tahun depan. Ini
contoh syarat yang di idlafahkan ke masa yang akan datang. Zaman mustaqbal ini
adakalanya malhudh dapat dirasakan sendiri atau dipahami sendiri dari akad,
seperti pada wasiat. Wasiat memberi pengertian bahwa wasiat itu berlaku sesudah
yang berwasiat wafat.
C. Perbedaan antara
Ta’liq, Taqyid Dan Idlafah
Ta’liq
menghendaki bahwa syarat yang menjadikan ta’liq belum terjadi di masa itu.
Taqyid menghendaki bahwa akad itu telah sempurna. Hanya dipikul oleh
salah satu pihak apa yang dijadikan kaitan, seperti memikul ongkos.
Idlafah sama dengan ta’liq, karena akad belum mulai berlaku, dan
menyerupai taqyid dari segi yang lain, karena dikatakan pada bulan muka mulai
berlaku sewaan. Bulan muka itu pasti akan datang. Berbeda dengan seperti
persetujuan yang mungkin di setujui, mungkin tidak. Dengan demikian teranglah
perbedaan Ta’liq, Taqyid dan Idlafah.
D.
Akad
yang Dapat Menerima Syarat
Menurut pendapat jumhur fuqaha
tidaklah semua akad dapat menerima syarat, taqyid dan idlafah. Ada akad yang
dapat dita’liq, ditaqyid, dan di-idlafahkan dan ada yang tak dapat. Madzhab
Hambali adalah madzhab yang paling luwes dalam masalah ini. Madzhab Hambali
dalam hal ini merupakan madzhab yang wasath
yang tidak terlalu membolehkan, tidak terlalu menidak bolehkan. Madzhab Syafi’i
dan Maliki dalam hal ini terlalu menyempitkan syarat-syarat itu.
Para fuqaha membagi akad dan
tasharruf mengingat maliyahnya dan qabiliyahnya kepada delapan bagian:
1. Muawadlah,
seperti jual beli, sulh terhadap harta dengan harta, menentukan bagian
masing-masing (qismah) dan ijarah.
2. Nikah.
Nikah dimasukkan oleh para fuqaha kedalam mu’awadlah
ghairu maliyah. Tetapi menurut penelitian sebagian ulama’, nikah ini lebih
baik kita jadikan bagian yang berdiri sendiri, yakni: tidak dimasukkan kedalam
mu’awadlah ghairu maliyah. Sebab nikah ini mempunyai ciri-ciri yang tersendiri.
Ia tidak dapat dikatakan sebagai akad terhadap benda dan sebagainya.
3. Akad tabarru’,
yakni memilikkan sesuatu barang tanpa iwadl
seperti hibah, shadaqah, wasiat dan waqaf. Masuk kedalam ini membebaskan
seseorang dari hutangnya, walaupun membebaskan hutang itu pada asalnya
merupakan isqath, namun isqath ini
mengandung arti tamlik.
4. Itlak
memberi kepada seseorang hak bertasharruf pada milik kita seperti wakalah,
memberi izin berdagang, atau jual beli kepada anak kecil yang mumayyiz oleh
wakilnya. Dalam hal ini terdapat unsur memberikan hak tasharruf kepada wakil
dan anak kecil yang mumayyiz yang tadinya tidak mempunyai hak itu.
5. Wilayah.
Boleh juga dikatakan walayah, seperti pengangkatan seorang hakim oleh kepala
negara, atau mengangkat pegawai oleh seseorang pejabat tinggi. Ini namanya
wilayah atau walayah.
6. Taqyid,
yaitu membatasi hak bergerak atau membatasi wewenang, seperti memecat wakil,
menarik pegawai dan menarik kembali izin yang telah diberikan.
7. Iltizam,
yaitu: seperti kafalah, menjamin
hutang orang atau menjamin sesuatu yang harus dilakukan orang lain.
8. Isqath.
Seperti thalaq, itq (memerdekakan
budak) dan mengugurkan hak syuf’ah.
Wasiat
dan wakaf menerima ta’liq atas
kematian dan idlafah sesudah terjadi kematian. Ijarah, i’arah dapat menerima
idlafah kepada zaman mustaqbal, tidak
dapat menerima ta’liq.
Ithlaqat,
wilayat, taqyidat dan iltizam menerima ta’liq syarat yang berpadanan dengan dirinya,
tidak menerima taqyid syarat yang tidak berpadanan dengan dirinya. Ia menerima
taqyid dengan syarat dan idlafad kepada zaman mustaqbal.
Syarat yang berpadanan ialah:
seperti dikatakan: ”saya wakilkan engkau untuk menjual barangku, apabila barang
itu telah sampai”. Tetapi jika dikatakan: “jika bertiup angin badai, maka
engkau menjadi wakilku”, tidak dapat diterima. Ta’liq yang begini tidak sah,
karena tidak berpadanan dengan wakalah.
Isqat, dapat menerima ta’liq
syarat, baik berpadanan ataupun tidak. Sebagaimana dapat menerima idlafah
kepada zaman mustaqbal. Mu’awadlah maliyah, seperti jual beli, ijarah dan
lain-lain, menerima taqyid dengan syarat yang shahih dan harus dipenuhi. Mengenai
batalnya akad, maka para fuqaha menandaskan bahwa bai’ (penjualan) dan i’arah
(penyewaan) dapat menerima syara, seperti dapat diterima oleh akad sendiri.
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan
Syarat yang
dibuat dalam akad berkaitan dengan sifat-sifat akad,ta’liq,taqyid,ifadlah dan
juga akad yang menerima syarat. Dan sifat-sifat akad membahas tentang bentuk
tasharruf (perbuatan akad), yang didalamnya mengupas masalah akad tanpa syarat
(akad munjiz) dan akad bersyarat (akad ghairu munjiz).
Sedangkan
ta’liq, taqyid dan ifadlah membahas tentang transaksi seperti jual-beli,
utang-piutang dan wasiat yang dibahas dalam ifadlah. Dan akad yang menerima
syarat membahas tentang bagian dari akad dan tasarruf yang dibagi delapan oleh
para fuqaha’, yang mana para fuqaha’ melihat dari sisi maliyahnya dan
qabiliyahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Cari sendiri dibuku-buku tentang akad yaa...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar