Selasa, 28 April 2015

syarat_syarat_yang_dibuat_dalam_akad



SYARAT-SYARAT YANG DIBUAT DALAM AKAD
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Fiqih Mu’amalah 1”
Dosen  : Ach. Mus’if, S.HI, M.A 
Oleh
Kelompok 11:
Fajar Surya Rahman
Husni Mubarak
Ali Fadlal
Ulfatun Nazilah
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH 3A
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
TAHUN AKADEMIK 2013-2014
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A.    Sifat-sifat Akad
B.     Ta’liq, taqyid, dan Ifadlah
C.     Perbedaan antara Ta’liq, taqyid, dan Ifadlah
D.    Akad yang dapat menerima syarat
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa lepas dari kehidupan bermasyarakat, yang selalu mengadakan kontak dengan manusia lainnya dalam bentuk muamalah. Contohnya, Manusia selalu melakukan jual beli untuk mendapatkan barang-barang yang dibutuhkan untuk memenuhi kehidupannya. Hubungan antar sesama manusia khususnya dalam bidang harta kekayaan biasanya diwujudkan dalam bentuk perjanjian (akad).
Sebuah perjanjian (akad) dilakukan manusia hampir setiap hari, seperti sewa menyewa, jual beli, dan lain sebagainya. Sebuah akad mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu akad. Singkatnya dapat dikatakan bahwa hukum perjanjian islam memegang peranan penting  dalam pelaksanaan muamalah yang menyangkut ekonomi islam.
Akad dari sudut penggunaan bahasa Arab mempunyai makna yang beragam antaranya, janji, jaminan, kepercayaan dan ikatan (sama ada ikatan sebenar seperti mengikat tali atau ikatan simbolik seperti ikatan ijab dan qabul dalam akad jual-beli). Manakala Kamus Dewan pula memberikan pengertian akad sebagai janji dan perjanjian. Perkataan akad merupakan perkataan yang sinonim dengan perkataan kontrak.
Akad dari istilah fiqh ialah ikatan di antara ijab dan qabul yang dibuat mengikut cara yang disyariatkan yang sabit kesannya pada barang berkenaan. Dengan perkataan lain akad melibatkan pergantungan cakapan salah satu pihak yang berakad dengan cakapan pihak yang satu lagi, mengikut ketentuan syarak yang akan melahirkan kesan pada barang yang diakadkan. Dari aspek undang-undang pula, kontrak didefinisikan sebagai semua perjanjian adalah kontrak jika dibuat atas kerelaan bebas pihak-pihak yang layak membuat kontrak, untuk sesuatu balasan yang sah, dan dengan sesuatu tujuan yang sah.
B.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini adalah:
1.      Bagaimanakah sifat-sifat akad?
2.      Bagaimanakah Ta’liq, Taqyid, dan Idlafah?
3.      Bagaimanakah perbedaan antara Ta’liq, Taqyid, dan Idlafah?
4.      Bagaimanakah akad yang dapat menerima syarat?
C.      Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui sifat-sifat akad
2.      Untuk mengetahui tentang Ta’liq, Taqyid, dan Idlafah
3.      Untuk mengetahui perbedaan Ta’liq, Taqyid, dan Idlafah
4.      Untuk mengetahui tentang akad yang dapat menerima syarat
BAB II PEMBAHASAN
A.       Sifat-Sifat Akad
Segala bentuk tasharuf (aktifitas hukum) termasuk akad memiliki dua keadaan umum.
Pertama: akad itu diucapkan seseorang, tanpa memberi ketentuan (batasan) dengan suatu kaidah dan tanpa menetapkan suatu syarat. Maka apabila dilakukan demikian, syara’pun menghargai dan berwujudlah segala hukum akad semenjak waktu akad itu diadakan.
Di dalam referensi yang lain disebut dengan akad tanpa syarat (akad munjiz), yang dimaksud akad munjiz adalah akad yang diucapkan seseorang, tanpa memberiakn batasan dengan suatu kaidah atau tanpa menetapkan suatu syarat. Akad seperti ini dihargai syarat sehingga menimbulkan dampak hukum.
Contoknya, seseorang berkata, saya membeli rumah kepadamu. Lalu dikabulkan oleh seorang lagi, maka berwujudlah akad, serta berakibat pada hukum itu juga, yakni pembeli memiliki rumah dan penjual memiliki uang. Contoh yang lain, seseorang berkata: saya jual sepeda kepada kawan saya ini, lalu dikabulkan oleh seorang lagi (Si pembeli), maka berwujud akad, serta berakibat hukum diwaktu itu juga. Si pembeli memilki sepeda dan Si penjual memiliki uang.
Kedua: akad itu diucapkan seseorang dengan dikaitkan dengan sesuatu, dalam arti apabila kaitan itu tidak ada, maka akadpun tidak jadi. Baik dikaitkan dengan wujudnya sesuatu, baik dikaitkan dengan hukumnya atau ditangguhkan pelaksanaanya sehingga waktu tertentu.
Di jelaskan dalam referensi lainya sifat-sifat akat yang kedua ini disebut juga akad bersyarat (akad ghair munjiz), akad ghair munjiz adalah akad yang diucapkan seseorang dan dikaitkan dengan sesuatu, yakni apabila syarat atau kaitannya itu tidak ada, akadpun tidak jadi, baik dikaitkan dengan wujud sesuatu tersebut atau ditannguhkan pelaksanaannya.
Contohnya, seseorang berkata,” saya jual mobil ini dengan harga Rp. 40.000.000,00 jika disetujui oleh atasan saya. Contoh lain, seorang berkata saya jual mobil ini dengan syarat saya boleh memakainya selama sebulan, sesudah itu akan saya serahkan kepadamu.
B.       Ta’liq, Taqyid, dan Idlafah
Akad ghair munjiz ada tiga macam:
1.              Ta’liq syarat seperti contoh pertama.
2.              Taqyid  syarat seperti contoh kedua.
3.              Syarat idlafah yaitu menangguhkan pelaksanaannya.
1.      Ta’liq Syarat
Ta’liq syarat adalah lawan dari tanjiz, yaitu:
ربط حطول امر بحصول امر اخر
Artinya : menautkan hasil dari urusan dengan urusan yang lain.
Yakni terjadinya suatu akad bergantung pada urusan lain. Jika urusan lain tidak terjadi atau tidak ada, akadpun tidak ada, seperti perkataan seseorang,”jika orang yang berutang kepada anda pergi, saya menjamin utangnya.
Orang yang menanggung utang (kafil) menyangkutkan kesanggupannya untuk melunasi utang pada perginya orang yang berutang tersebut.
Ta’liq syarat ini memerlukan dua ungkapan. Ungkapan yang pertama mengharuskan adanya syarat, seperti dengan kata jika dan kalau, yang dinamakan ungkapan syarat. Adapun ungkapan kedua dinamakan ungkapan jasa (balasan). “kedua ungkapan ini boleh didahulukan yang mana saja”
Dalam referensi yang lain hadis diatas  diartikan “mentautkan hasil sesuatu urusan dengan hasil sesuatu urusan lain” dengan alasan jika seseorang berkata: jika orang yang berhutang kepada anda pergi, maka saya menjamin hutang-hutang itu.
Penjelasannya, Si Kahfi menyangkut kepada perginya orang yang berhutang itu. Contoh ta’liq ini membutuhkan dua ungkapan. Dalam ungkapan yang pertama di masukkan adat syarat, yaitu jika dan kalau, dan ungkapan ini dinamakan ungkapan syarat. Ungkapan yang kedua dinamakan jaza’. Dua ungkapan ini boleh didahulukan mana saja. Boleh dikatakan : jika hari ini barang-barangku datang, maka aku jadikan kamu wakil untuk menjualnya, atau dikatakan: aku jadikan kamu wakil buat menjual barang-barang itu jika dia datang hari ini.
2.      Taqyid Syarat
Pengertian taqyid syarat adalah:

التزام حكم في التصرف القلي لا يستلزمه دالك التصرف في حالة الا طلاق.
Artinya:
“pemenuhan hukum dalam tasharruf ucapan yang sebenarnya tidak menjadi lazim (wajib) tasharruf dalam keadaan mutlak.” Penjelasnnya syarat pada suatu akad atau tasharruf yang hanya berupa ucapan saja sebab pada hakikatnya tidak ada atau tidak mesti dilakukan.
 Contoh taqyid syarat seperti orang yang menjual barang dengan syarat ongkos pengangkutannya ditanggung penjual. Penjual mengaku atau berjanji untuk memenuhi persyaratan tersebut, yaitu memilki ongkos. Sebenarnya, iltijam tersebut tidak bersyarat karena akad yang mutlak tidak mengharuskan ongkos angkutan itu dipikul oleh si penjual.
Di dalam buku yang lain hadis diatas diartikan “berjanji akan memenuhi hokum dalam tasharruf dengan lidah yang tidak menjadi lazim (wajib) tasharruf itu dalam keadaan tidak ditegaskan.
Seperti orang yang menjual barang dengan syarat ongkos membawa kerumah si pembeli dipikul oleh si penjual sendiri. Dalam hal ini si penjual mengaku atau berjanji memenuhi sesuatu syarat, yaitu memikul ongkos. Iltizam ini sebenarnya tidak bersyarat, karenanya, akad yang mutlak tidak mengharuskan ongkos angkutan itu dipikul oleh si penjual.
3.      Syarat Idlafah
Syarat idlafah adalah  adalah maknanya menyandarkan kepada suatu masa yang akan datang atau idlafah mustaqbal, adalah
تا خير حكم التصرف القولي الى زمان مستقبل معين 
Artinya:
Melambatkan hukum tasharruf qauli kemasa yang akan datang.
Seperti dikatakan,” saya menjadikan anda sebagai wakil saya mulai awal tahun depan. Ini contoh syarat yang di idlafahkan ke masa yang akan datang. Zaman mustaqbal ini adakalanya malhudh dapat dirasakan sendiri atau dipahami sendiri dari akad, seperti pada wasiat. Wasiat memberi pengertian bahwa wasiat itu berlaku sesudah yang berwasiat wafat.
C.    Perbedaan antara Ta’liq, Taqyid Dan Idlafah
Ta’liq menghendaki bahwa syarat yang menjadikan ta’liq belum terjadi di masa itu.
Taqyid menghendaki bahwa akad itu telah sempurna. Hanya dipikul oleh salah satu pihak apa yang dijadikan kaitan, seperti memikul ongkos.
Idlafah sama dengan ta’liq, karena akad belum mulai berlaku, dan menyerupai taqyid dari segi yang lain, karena dikatakan pada bulan muka mulai berlaku sewaan. Bulan muka itu pasti akan datang. Berbeda dengan seperti persetujuan yang mungkin di setujui, mungkin tidak. Dengan demikian teranglah perbedaan Ta’liq, Taqyid dan Idlafah.
D.    Akad yang Dapat Menerima Syarat
Menurut pendapat jumhur fuqaha tidaklah semua akad dapat menerima syarat, taqyid dan idlafah. Ada akad yang dapat dita’liq, ditaqyid, dan di-idlafahkan dan ada yang tak dapat. Madzhab Hambali adalah madzhab yang paling luwes dalam masalah ini. Madzhab Hambali dalam hal ini merupakan madzhab yang wasath yang tidak terlalu membolehkan, tidak terlalu menidak bolehkan. Madzhab Syafi’i dan Maliki dalam hal ini terlalu menyempitkan syarat-syarat itu.
Para fuqaha membagi akad dan tasharruf mengingat maliyahnya dan qabiliyahnya kepada delapan bagian:
1.      Muawadlah, seperti jual beli, sulh terhadap harta dengan harta, menentukan bagian masing-masing (qismah) dan ijarah.
2.      Nikah. Nikah dimasukkan oleh para fuqaha kedalam mu’awadlah ghairu maliyah. Tetapi menurut penelitian sebagian ulama’, nikah ini lebih baik kita jadikan bagian yang berdiri sendiri, yakni: tidak dimasukkan kedalam mu’awadlah ghairu maliyah. Sebab nikah ini mempunyai ciri-ciri yang tersendiri. Ia tidak dapat dikatakan sebagai akad terhadap benda dan sebagainya.
3.      Akad tabarru’, yakni memilikkan sesuatu barang tanpa iwadl seperti hibah, shadaqah, wasiat dan waqaf. Masuk kedalam ini membebaskan seseorang dari hutangnya, walaupun membebaskan hutang itu pada asalnya merupakan isqath, namun isqath ini mengandung arti tamlik.
4.      Itlak memberi kepada seseorang hak bertasharruf pada milik kita seperti wakalah, memberi izin berdagang, atau jual beli kepada anak kecil yang mumayyiz oleh wakilnya. Dalam hal ini terdapat unsur memberikan hak tasharruf kepada wakil dan anak kecil yang mumayyiz yang tadinya tidak mempunyai hak itu.
5.      Wilayah. Boleh juga dikatakan walayah, seperti pengangkatan seorang hakim oleh kepala negara, atau mengangkat pegawai oleh seseorang pejabat tinggi. Ini namanya wilayah atau walayah.
6.      Taqyid, yaitu membatasi hak bergerak atau membatasi wewenang, seperti memecat wakil, menarik pegawai dan menarik kembali izin yang telah diberikan.
7.      Iltizam, yaitu: seperti kafalah, menjamin hutang orang atau menjamin sesuatu yang harus dilakukan orang lain.
8.      Isqath. Seperti thalaq, itq (memerdekakan budak) dan mengugurkan hak syuf’ah.
Wasiat dan wakaf menerima ta’liq atas kematian dan idlafah sesudah terjadi kematian. Ijarah, i’arah dapat menerima idlafah kepada zaman mustaqbal, tidak dapat menerima ta’liq.
Ithlaqat, wilayat, taqyidat dan iltizam menerima ta’liq syarat yang berpadanan dengan dirinya, tidak menerima taqyid syarat yang tidak berpadanan dengan dirinya. Ia menerima taqyid dengan syarat dan idlafad kepada zaman mustaqbal.
Syarat yang berpadanan ialah: seperti dikatakan: ”saya wakilkan engkau untuk menjual barangku, apabila barang itu telah sampai”. Tetapi jika dikatakan: “jika bertiup angin badai, maka engkau menjadi wakilku”, tidak dapat diterima. Ta’liq yang begini tidak sah, karena tidak berpadanan dengan wakalah.
Isqat, dapat menerima ta’liq syarat, baik berpadanan ataupun tidak. Sebagaimana dapat menerima idlafah kepada zaman mustaqbal. Mu’awadlah maliyah, seperti jual beli, ijarah dan lain-lain, menerima taqyid dengan syarat yang shahih dan harus dipenuhi. Mengenai batalnya akad, maka para fuqaha menandaskan bahwa bai’ (penjualan) dan i’arah (penyewaan) dapat menerima syara, seperti dapat diterima oleh akad sendiri.
BAB III PENUTUP
A.       Kesimpulan
Syarat yang dibuat dalam akad berkaitan dengan sifat-sifat akad,ta’liq,taqyid,ifadlah dan juga akad yang menerima syarat. Dan sifat-sifat akad membahas tentang bentuk tasharruf (perbuatan akad), yang didalamnya mengupas masalah akad tanpa syarat (akad munjiz) dan akad bersyarat (akad ghairu munjiz).
Sedangkan ta’liq, taqyid dan ifadlah membahas tentang transaksi seperti jual-beli, utang-piutang dan wasiat yang dibahas dalam ifadlah. Dan akad yang menerima syarat membahas tentang bagian dari akad dan tasarruf yang dibagi delapan oleh para fuqaha’, yang mana para fuqaha’ melihat dari sisi maliyahnya dan qabiliyahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Cari sendiri dibuku-buku tentang akad yaa...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar