Minggu, 05 April 2015

RANAH_ATAU_WILAYAH_IJTIHAD

MAKALAH
RANAH ATAU WILAYAH IJTIHAD

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Ushul Fiqh 2”
Dosen Pengampu: Khairun Nasih

Disusun Oleh:
Kelompok 10
Ulfatun Nazilah    120721100096
Maltufah              120721100033
Indah antiyani      120721100047

PROGRAM STUDY EKONOMI SYARI’AH 4A
FAKULTAS ILMU-ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
PERIODE 2014

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia serta inayah-Nya, sehingga kami dapat merasakan betapa indahnya alam semesta ini. Begitu pula ribuan kata syukur tak lupa kami lantunkan kapada Rabbul Izzati karena dengan nikmat kesehatan yang Dia berikan, kami dapat melaksanakan rutinitas kami sehari-hari.  Demikian pula dengan terlaksananya makalah ini berjalan sesuai dengan kehendak-Nya.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan pada pemuda sejati, pembawa risalah penuh arti, dialah nabi kita nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju ke alam yang terang benderang seperti saat ini. Begitu pula dengan diutusnya beliau ke muka bumi ini merupakan suatu keberkahan bagi umat islam.
Dan inilah tugas makalah yang telah kami susun, namun kami hanyalah seorang mahasiswa yang masih dalam tahap pembelajaran yang kemungkinan sekali banyak kesalahan dalam pembuatan makalah ini. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan kami kedepan.
Akhirnya kami ucapkan kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu penyelesaian makalah ini, khususnya kepada Bapak Khoirun Nasih, S.HI., M.HI selaku pengampu mata kuliah Ushul Fiqh 2.
Bangkalan, 1 Juni 2014
Kelompok 10
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I : PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
1.2.Rumusan Masalah
1.3.Tujuan
BAB II : PEMBAHASAN
A.     Pengertian dan Pentingnya Ijtihad
B.     Bidang atau wilayah Ijtihad
C.     Contoh-contoh Ijtihad
D.     Tingkatan, Macam-macam dan Syarat Mujtahid
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Hukum dalam masyarakat manapun adalah bertujuan untuk mengendalikan masyarakat. Ia adalah sebuah sistem yang ditegakan terutama untuk melindungi hak-hak individu maupun hak-hak masyarakat. Sistem hukum disetiap masyarakat memilki sifat,karakter dan ruang lingkupnya sendiri. Sama halnya, islam memiliki sistem hukum sendiri yang dikenal sebagai fiqh.
Hukum islam bukanlah hukum murni dalam pengertiaanya yang sempit. islam mencakup seluruh bidang kehidupan-etika, keagamaan, politik, dan ekonomi. Islam bersumber dari wahyu ilahi. Wahyu menentukan norma-norma dan konsep dasar hukum islam serta dalam banyak hal merintis dobrakan terhadap adat dan sistem hukum kesukuan arab pra islam.
Hendaklah dicatat bahwa terdapat perbedaan mendasar antara tujuan dan ruang lingkup hukum dalam artian modern dan dalam artian Al-Qur’an. Hukum dalam artian modern adalah aturan-aturan khusus yang mengatur permasalahn sosial, ekonomi, dan politik dari suatu bangsa, yang disusun oleh suatu badan berwenang yang kompeten dan diberlakukan dengan sanksi-sanksi dari negara.
Aturan-aturan prilaku moral individu tidak termasuk dalam lingkup hukum modern, meskipun aturan prilaku tersebut ada dalam bentuk adat istiadat dan prilaku sosial, dan sampai sejauh tertentu dipaksakan berlakunya oleh polisi susila dan dengan menggunakan opini publik semata-mata.
Dalam menentukan atau menetapkan hukum-hukum ajaran Islam,  para mujtahid telah berpegang teguh kepada sumber-sumber ajaran Islam. Sumber pokok ajaran Islam adalah Al-Qur’an yang memberi sinar pembentukan hukum Islam sampai akhir zaman. Disamping itu terdapat as-Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an terhadap hal-hal yang masih bersifat umum.
1.2.Rumusan Masalah
a.       Apakah pengertian dan pentingnya ijtihad ?
b.      Apa saja bidang atau wilayah ijtihad?
c.       Apa contoh-contoh Ijtihad?
d.      Apa saja tingkatan, macam-macam, dan syarat-syarat mujtahid?
1.3.Tujuan Penulisan
a.       Untuk mengetahui pengertian dan pentingnya ijtihad
b.      Untuk mengetahui apa saja bidang atau wilayah ijtihad
c.       Untuk mengetahui apa contoh-contoh ijtihad
d.      Untuk mengetahui apa saja tingkatan, macam-macam, dan syarat-syarat mujtahid
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Pentingnya Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata ijtihada yajtahidu ijtihadan yang berarti mengerahkan segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurut bahasa, ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. Sedangkan menurut istilah pengertian ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hokum. Oleh karena itu tidak disebut ijtihad apabila tidak ada unsure kesulitan didalam suatu pekerjaan. Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariah melalui metode tertentu. Ijtihad dipandang sebagai sumber hokum islam yang ketiga setelah Al-qur’an dan hadist, serta turut memegang fungsi penting dalam penetapan hokum islam. Orang yang melakukan ijtihad tersebut dinamakan mujtahid.
Fungsi ijtihad adalah untuk mendapatkan solusi hokum jika ada suatu masalah yang harus diterapkan hukumnya, tetapi tidak dijumpai di dalam Al-Qur’an dan hadist. Jadi, jika dilihat dari segi fungsi ijtihad tersebut, maka ijtihad mendapatkan kedudukan dan legalitas dalam islam. Meskipun demikian, ijtihad tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya orang yang memenuhi syarat yang boleh berijtihad.
Jika kejadian yang hendak diketahui hokum syara’nya itu telah ditunjukkan oleh dalil yang sharih (jelas) dan petunjuk serta maknanya adalah pasti, maka tidak ada peluang untuk ijtihad. Yang wajib adalah melaksanakan pemahaman yang ditunjukkan nashnya. Karena selama dalil itu pasti datangnya, maka ketetapan dan keluarnya dari Allah dan Rasul-NYA bukan menjadi objek pembahasan dan sasaran pengerahan daya. Selama dalil itu pasti maknanya, maka petunjuk atas makna dan pengambillan hokum darinya bukan sasaran pembahasan dan ijtihad.
Dari hal diatas perkara atau kejadian yang belum diketahui hokum syara’nya secara pasti maka disinilah pentingnya melakukan ijtihad karena ijtihad sebagai jalan untuk mengetahui hokum pada permasalahan yang tidak jelas hukumnnya dalam nash. Hal ini menjadi peluang tersendiri bagi ijtihad untuk berperan demi kemaslahatan ummat.
Ijtihad mempunyai peranan yang penting dalam kaitannya pengembangan hukum Islam. Sebab, dalam kenyataannya di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat Muhkamat dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran, belum terang). Dari sinilah, sehingga ajaran Islam selalu menganjurkan agar manusia menggunakan akalnya. Apalagi agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluruh alam) membuat kesediaannya dalam menerima perkembangan yang dialami umat manusia. Sehingga secara pasti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam setiap waktu dan tempat. Maka peranan ijtihad semakin penting untuk membuktikan keluasan dan keluwesan hukum Islam.
Para ulama menetapkan bahwa hukum melakukan ijtihad terbagi menjadi 3 yaitu :
1.      Wajib ‘ain, bagi orang yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Dan dia khawatir peristiwa itu akan lenyap tanpa ada kepastian hukumnya.
2.      Wajib kifayah, bagi orang yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang tidak dikhawatirkan lenyap peristiwa itu. Sedangkan selain dia masih terdapat mujtahid-mujtahid lainnya.
3.      Sunnat, apabila melakukan ijtihad mengenai maslah- masalah yang belum atau tidak terjadi.
Urgensi upaya ijtihad dapat dilihat dari fungsi ijtihad itu sendiri,yaitu :
  1. Fungsi al ruju’(kembali), yaitu  mengembalikan ajaran islam kepada alquran dan assunnah dari segala interpretasi yang mungkin kurang relevan.
2.      Fungsi al ihya’ (kehidupan), yaitu menghidupkan kembali bagian bagian dari nilai dan semangat islam agar mampu menjawab tantangan zaman.
3.      Fungsi al inabah (pembenahan), yaitu memenuhi ajaran ajaran islam yang telah diijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman dan kondisi yang dihadapi.
Mengingat betapa pentingnya ijtihad, Ulama menunjuk ijtihad sebagai sebagai salah satu hukum islam berdasarkan Firman Allah dalam surat An Nisa :59.
B.     Bidang atau Wilayah Ijtihad
Menurut ulama salaf, bidang atau wilayah ijtihad terbatas pada masalah fiqhiyah. Namun pada wilayah tersebut telah berkembang pada berbagai aspek keislaman, meliputi : Akidah, Filsafat, Tasawwuf dan Fiqh. Itu artinya tidak semua bidang bisa di-ijtihadkan.
Hal-hal yang tidak boleh di ijtihadkan antara lain :
  1. Masalah Qathiyah adalah masalah yang sudah ditetapkan hukumnya dengan dalil dalil yang pasti, baik melalui dalil naqli maupun dalil aqli. Hukum ini bersifat muthlaq dan sudah pasti diberlakukan sepanjang masa, sehingga tak mungkin terjadi adanya perubahan dan modifikasi serta tak ada peluang juga dalam mengistinbathksn hukum bagi para mujtahid. Contohnya, kewajiban seperti shalat, zakat, puasa, haji. Untuk kewajiban tersebut, alquran telah mengaturnya dengan dalil yang sharih (tegas).
  2. Masalah yang telah dijinakkan oleh ulama mujtahid dai suatu massa demikian pula lapangan hukum yang bersifat ta’abbudi (ghairu ma’qulil makna) dimana kualitas illat hukumnya tidak dapat dicerna dan diketahui oleh akal mujtahid. Contohnya, setiap pemberian 1/6 pusaka untuk nenek.
Adapun masalah-masalah yang dapat diijtihadkan, antara lain :
1.      Masalah-masalah yang ditunjuk oleh nash yang zhanniyatul wurud (kemunculannya perlu penelitian lebih lanjut) dan zhanniyatud dilalah (makna dan ketetapan hukumnya tidak jelas dan tegas). Masalah Zhanniyah terbagi menjadi 3 macam, yaitu:
a.       Hasil analisa para theology Yaitu maslah yang tidak berkaitan dengan akidah keimanan seseorang. Karena hal itu membutuhkan pemikiran. Dan ilmu yang membutuhkan pemikiran bukanlah bidang ijtihad.
b.      Aspek amaliyah yang zhanni Yaitu masalah yang belum ditentukan kadar dan kriterianya dalam nash. Contohnya : apakah batas batas menyusui yang dapat menimbulkan mahram.
c.       Sebagian kaidah-kaidah zhanni Yaitu masalah qiyas. Sebagian ulama memeganginya karena qiyas merupakan norma hukum tersendiri.
2.      Masalah-masalah yang tidak ada nashnya sama sekali. Sedangkan bagi masalah yang telah ditetapkan oleh dalil sharih (jelas dan tegas) yang qat’iyyatud wurud (kemunculannya tidak perlu penelitian lebih lanjut) dan qath’iyyatud dilalah (makna dan ketetapan hukumnya sudah jelas dan tegas), maka tidak ada jalan untuk diijtihadi. Kita berkewajiban melaksanakan petunjuk nash tersebut. Misalnya jumlah hukum cambuk seratus kali dalam firman Allah:
اﻟزاﻧﻴﺔﻮاﻟزاﻧﻓﺄﺟﻠﺪﻮاﻛﻞﻮاﺣﺪﻣﻨﻬﻤﺎﻣﺎﺋﺔﺟﻠﺪة
Ruang lingkup berijtihad menurut Muhammad Al-baqir adalah sebagaimana setiap ketentuan yang berlaku dikalangan masyarakat beradab, memilki aturan permainan, demikian pula soal ijtihad dan ketentuan hukum agamapun memiliki aturan permainan. Oleh para ulama yang kompoten, aturan permainan tersebut telah disimpulkan dari prinsip-prinsip umum Al-Qur’an dan Al-Sunnah serta praktek para sahabat dan tabi’in (ushulil fiqh).
Telah disepakati bahwa hukum-hukum islam yang berkaitan dengan ibadah maupun muamalah, harus berdasarkan nash atau dalil Al-Qur’an atau Sunah Nabi SAW apabila tidak dijumpai dalam kedua-duanya, atau dalil yang ada dianggap kurang jelas, maka digunakanlah ijtihad untuk menentukan hukumnya, dengan tidak meninngalkan prinsip-prinsip umum yang dapat diketahui dari ayat-ayat ataupun hadist-hadist lainnya.
Dari uraian tersebut ditariklah suatu kesimpulan yang merupakan salah satu kaidah yang disepakati oleh para ahli ushulul fiqh: “ tidak diperkenankan berijtihad dalam hukum-hukum yang berdasarkan nash qhat’iy”. Berdasarkan hal itu, apabila suatu nash telah diyakini sumbernya dari firman Allah atau sunnah Rasulullah SAW dan juga telah diyakini makna dan sasaran yang ditujunya, maka tidak ada lagi ruang untuk berijtihad padanya. Termasuk dalam hal ini, ketepan-ketetapan syariat yang telah menjadi kesepakatan umum para ulama besar terdahulu maupun yang kemudian, seperti tentang kewajiban lima shlat fardhu dalam sehari semalam, atau tentang wanita-wanita yang haram dinikahi disebabkan adanya hubungn kekeluargaan tertentu, atau tentang kadar pembagian harta warisan bagi masing-masing ahli waris, atau tentang diharamkannya makan daging babi atau minum khamr, dan lain sebagainya seperti tersbut dalam Al-Qur’an dengan jelas dan pasti .
Sebaliknya, apabila nash yang mendasari suatu hukum masih bersifat zhanniy  - yakni mengandung unsur keraguan dan kesamaran, baik berkaitan dengan arah sumbernya ataupun makna dan tujuannya – maka disinilah terdapat ruang untuk berijtihad. Keraguan itu bisa datang dari arah sanad para rawi sebuah hadist, sehingga harus diteliti terlebih dahulu mengenai kelayakan mereka satu perstu dalam periwayatannya sebelum dapat ditetapkan apakah hadist yang mereka riwayatkan itu bisa dijadikan dalilm atau tidak. Adakalanya juga, suatu hadist telah diyakini keshahihan sumbernya, namun susunan kata-katanya ataupun materinya masih menimbulkan keraguan dan ketidak pastian dalam memahami makna dan tujuannya. Mungkin pula bersama nash itu terdapat syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi sebelum dapat dijadikan dalil.
Ada pun peristiwa-peristiwa yang masuk dalam wilayah ijtihad adalah:
1.      Peristiwa-peristiwa yang ditunjuk oleh nas (naṣ) yang ẓannī al-wurūd (hadis-hadis āhād) dan ẓannī al-dalālah (nas Alquran yang masih dapat ditafsirkan atau ditakwilkan).
2.      Peristiwa-peristiwa yang tidak ada nasnya sama sekali. Peristiwa-peristiwa semacam ini dapat diijtihadkan dengan leluasa.
 Peristiwa-peristiwa yang suadah ada nasnya yang qaṭ’iy al-ṡubūt dan qaṭ’iy al-dalālah. Yang terakhir ini khusus dijalankan oleh ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb r.a. Beliau meneliti nas-nas tersebut tentang tujuan al-Syāri’ dalam menetapkan hukum, kemudian menerapkan ijtihad padanya, sekalipun sudah memiliki nas yang qaṭ’iy.
C.    Contoh-contoh Ijtihad
      Setelah memahami tulisan diatas, kami akan mengulas sedikit tentang contoh-contoh ijtihad.
1.      Perempuan dan laki-laki yang berzina cambuklah masing-masing dari keduanya seratus kali. (QS. An-Nur:2). Sebab sebab yang menimbulkan Perbedaan Hasil Ijtihad, dikarenakan beberapa sebab. Hasan Al-Banna dalam risalahnya berjudul Da’watuna telah menyebutkan beberapa sebab, antara lain:
a.      Perbedaan kekuatan akal dalam melakukan istinbath, perbedaan dalam memahami dalil-dalil, perbedaan dalam menyelami kandungan2 makna, dan dalam menghubungkan antara hakikat yang satu dengan hakikat yang lain.
  1. Adanya perbedaan banyak dan sedikitnya ilmu seseorang. Dalam artian,ada ilmu yang telah sampai kepada seseorang, namun tidak sampai kepada orang lain, orang ini keilmuannya begini dan orang itu keilmuannya begitu.
  2. Perbedaan kondisi dan lingkungan. Karenanya, kita melihat fikih penduduk Irak berbeda dengan fikih penduduk orang Hijaz. Bahkan kita menyaksikan bahwa pendapat seorang ahli fikih yang sama pada kondisi dan lingkungan tertentu, dapat berbeda pendapatnya pada kondisi dan lingkungan yang lain. Kita bisa melihat bagaimana Imam Syafi’i berfatwa dengan menggunakan qaul qadiim (hasil ijtihadnya sebelum masuk mesir di Irak) dan berfatwa dengan menggunakan qaul jadiid (hasil ijtihad setelah masuk mesir). Padahal, pada kedua pendapat tersebut sama-sama ia ambil dari konsep dan pandangan  yang jelas dan benar menurutnya. Hal ini tidak berarti ia menyimpangkan kebenaran di dalam dua pendapatnya tersebut.
  3. Perbedaan kemantapan hati terhadap suatu riwayat ketika menerimanya. Kita menemukan seorang perawi menurut seorang imam adalah tsiqah (terpercaya). Karenanya, imam tersebut jiwanya merasa tenang, dan dirinya merasa baik. Maka,ia merasa baik mengambil riwayat darinya. Dan menurut imam yang lain perawi itu cacat, setelah diketahui dari keadaanya (yang membuat cacat)
Perbedaan dalam menentukan kualitas indikasi dalil. Misalnya, imam ini berpendapat bahwa praktek yang dilakukan orang-orang didahulukan atas hadist ahad, namun imam yang lain tidak setuju dengan hal tersebut. Atau imam ini mengambil dan mengamalkan hadist mursal, tapi imam yang lain tidak.
2.      Dalam wahana sufi ke-64
Pada masa Sayyidina Umar bin Khatab Ra, saat beliau mengambil keputusan, yang ketika itu dianggap oleh sahabat yang lain sangat kontroversial. Ada seorang pencuri yang ditangkap, tetapi oleh Sayyidina Umar bin Khatab Ra tidak dipotong tangannya, hal inilah yang membuat para sahabat yang lain mempertanyakan keputusannya. 
Para Sahabat : “lho, kenapa? padahal ayatnya sudah jelas harus dipotong tangannya” Sayyidina Umar bin Khatab Ra: “kita tanya dulu, dia mencuri karena apa? ”Kemudian pencurinya ditanya, “Hai Pencuri, kamu mencuri karena apa?” Pencuri :  “saya kelaparan tidak bisa makan tuan Khalifah. Saya tidak punya makanan dan akhirnya mencuri untuk makan”.  Sayyidina Umar bin Khatab Ra balik bertanya ke para sahabat : “menurut kalian sebenarnya hukum syariah ditegakkan untuk apa sih ? ”Para Sahabat : “Ya untuk menciptakan keadilan ”Sayyidina Umar bin Khatab Ra : “apakah adil saya memotong tangan pencuri yang mencuri karena kelaparan? ”Para Sahabat : “Ya tidak adil” Sayyidina Umar bin Khatab Ra : “Ya sudah, karena itu tidak usah dipotong tangannya” 
Inilah yang dinamakan tujuan utama perintah Allah itu untuk apa. Maka dari itu ada wilayah-wilayah ijtihadiyah. Sedangkan wilayah non ijtihad yaitu Iman yang berada di wilayah Qolbu.  Misal bahwa Allah itu Esa, itu tidak ada wilayah ijtihad. Tidak ada satupun orang yang akan mempertanyakan Ke-MAHA ESA-an Allah Swt."
D.    Tingkatan, Macam-Macam, dan Syarat-Syarat Mujtahid
Ø  Abu-Zahra membagi mujtahid menjadi 4 tingkatan, yaitu:
1.      Mujtahid Mustaqil (independen) adalah tingkatan tertinggi, oleh abu Zahra disebut juga sebagai Al-mujtahid fi Al-Syar’i, atau disebut juga mujtahid mutlaq.
2.      Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam masalah ushul fiqh, meskipun dari segi kemampuannya ia mampu merumuskannya, namun tetap berpegang kepada ushul fiqh salah seorang imam mujtahid mustaqil, seperti berpegang kepada ushul fiqh abu hanifah.
3.      Mujtahid fih Al-madzab, yaitu tingkatan mujtahid yang dalam ushul fiqh, dan furu’ bertaqlid kepada imam mujtahid tertentu (ijtihad dengan meng-istinbat-kan hokum kepada permasalahan yang tidak ditemukan dalam buku madzab imam mujtahid yang jadi panutan).
4.      Mujtahid fi at-Tarjih, yaitu mujtahid yang kegiatannya bukan meng-istinbat-kan hokum tetapi terbatas memperbandingkan berbagai madzhab atau pendapat, mempunyai kemampuan untuk mentarjih atau memilih salah satu pendapat terkuat dari pendapat-pendapat yang ada, dengan memakai metode tarjih yang telah dirumuskan oleh ulama’-ulama’ mujtahid sebelumnya.
Ø  Macam-macam ijtihad
Ijtihad dilihat dari jumlah pelakunya dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Ijtihad fardi. Menurut al-Tayyib Khuderi al-Sayyid, ijtihad fardi adalah ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau hanya beberapa orang mujtahid.
2.      Ijtihad jama’I yaitu apa yang dikenal dengan ijma’ dalam kitab-kitab ushul fiqh yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW.setelah Rasulullah wafat dalam masalah tertentu.
Ø  Syarat-Syarat Mujtahid
Menurut Muhammad bin Ali bin Muhammad al Syaukani, syarat-syarat Mujtahid ada 5 antara lain :
1.      Mengetahui al quran dan as sunah yang bertalian dengan masalah masalah hukum.
2.      Mengetahui ijma’ sehingga tidak berpendapat yang menyalahi ijma’ ulama.
3.      Mengetahui nasikh mansukh sehingga tidak berpendapat berdasarkan dalil yang mansukh
4.      Mengetahui bahasa arab.
5.      Mengetahui ilmu ushul fiqh yang merupakan ilmu terpenting bagi mujtahid karena membahas dasar dasar yang berkaitan dengan ijtihad.
Ø  Abu-Zahra membagi mujtahid menjadi 4 tingkatan, yaitu:
1.      Mujtahid Mustaqil (independen) adalah tingkatan tertinggi, oleh abu Zahra disebut juga sebagai Al-mujtahid fi Al-Syar’i, atau disebut juga mujtahid mutlaq.
2.      Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam masalah ushul fiqh, meskipun dari segi kemampuannya ia mampu merumuskannya, namun tetap berpegang kepada ushul fiqh salah seorang imam mujtahid mustaqil, seperti berpegang kepada ushul fiqh abu hanifah.
3.      Mujtahid fih Al-madzab, yaitu tingkatan mujtahid yang dalam ushul fiqh, dan furu’ bertaqlid kepada imam mujtahid tertentu (ijtihad dengan meng-istinbat-kan hokum kepada permasalahan yang tidak ditemukan dalam buku madzab imam mujtahid yang jadi panutan).
4.      Mujtahid fi at-Tarjih, yaitu mujtahid yang kegiatannya bukan meng-istinbat-kan hokum tetapi terbatas memperbandingkan berbagai madzhab atau pendapat, mempunyai kemampuan untuk mentarjih atau memilih salah satu pendapat terkuat dari pendapat-pendapat yang ada, dengan memakai metode tarjih yang telah dirumuskan oleh ulama’-ulama’ mujtahid sebelumnya.
Sedangkan menurut Khalaf dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqih menyatakan bahwa syarat mujtahid ada 5, antara lain :
1.      Menguasai bahasa arab dan segala aspeknya, seperti nahwu, sharaf, balaghah serta seluk beluknya.
2.      Mengetahui pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat alquran yang berhubungan dengan masalah hukum.
3.      Mengenal dan mengerti hadist nabi yang berhubungan dengan masalah hukum, baik qauliyah (perkataan), fi’liyah (perbuatan), dan taqririyah (ketetapan).
4.      Mengerti tentang ushul fiqh sebagai sarana untuk istinbath hokum.
5.      Mengenal ijma’ sehingga tidak memberikan fatwa yang bertentangan dengan ijma’ tersebut.
Syarat-syarat umum yang di sepakati oleh para ulama menurut Dr. Yusuf Qordhowi yaitu:
1.      Harus mengetahui Al-Qur’ab dan ulumul Qur’an
2.      Harus mengetahui sebab-sebab turunnya ayat al-qur’an
3.      Mengetahui sepenuhnya sejarah pengumpulan atau penyusunan al-qur’an
4.      Mengetahui sepenuhnya ayat-ayat makiyah dan madaniyah, nasikh dan mansukh, dan mutasyabih
5.      Menguasai ilmu tafsir diantaranya yaitu:
a.       Mengetahui tentang pemahaman al-qur’an
b.      Mengetahui as-sunah dan al-hadist
c.       Mengetahui bahasa arab
d.      Mengetahui tema-tema yang sudah merupakan ijma’
e.       Mengetahui usul fiqih
f.       Mengenal manusia dan alam sekitarnya
g.      Mengetahui ilmu ushuluddin
h.      Mengetahui ilmu mantiq
i.        Mengetahui cabang-cabang fiqih
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa pengertian ijtihad adalah pengarahan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Perkembangan ijtihad dikalangan kaum muslimin berkenaan dengan hukum-hukum syariat, secara singkat dapat dibedakan dengan cara penerapan dan penyimpulannya.
Bahwasanya ruang lingkup berijtihad pada dasarnya disimpulkan dari prinsip-prinsip umum Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
1.      Ijtihad merupakan sumber hukum islam setelah Alquran dan Assunah. Yang merupakan sebuah usaha penafsiran dalil-dalil tersebut untuk mengetahui hukum islam yang masih membutuhkan penafsiran lebih mendalam
2.      Ijtihad tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh seseorang sehingga dia bisa menjadi seorang mujtahid.
3.      Dalam pelaksanaannya, seorang mujtahid dapat digolongkan menjadi beberapa golongan- golongan atau kelompok- kelompok.
4.      Ijtihad tidak bisa dilakukan dalam seluruh aspek agama, melainkan hanya pada hal-hal yang bersifat amaliyah dan  yang membutuhkan penafsiran lebih rinci mengenai dalil-dalil muthlaq. Sedangkan dalil-dalil yang sudah tidak membutuhkan penafsiran lagi tidak bisa dijadikan objek dalam ijtihad.
5.      Dapat dijumpai perbedaan hasil ijtihad. Hal itu dikarenakan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut bisa berasal dari mujtahidnya atau subjeknya dan ada pula dikarenakan oleh faktor sekitarnya.
Ijtihad dilihat dari jumlah pelakunya dibagi menjadi dua, yaitu Ijtihad fardi dan Ijtihad jama’i.
Syarat-syarat mujtahid menurut Muhammad bin Ali bin Muhammad al Syaukani, syarat-syarat Mujtahid ada 5 antara lain :
1.      Mengetahui al quran dan as sunah yang bertalian dengan masalah masalah hukum.
2.      Mengetahui ijma’ sehingga tidak berpendapat yang menyalahi ijma’ ulama.
3.      Mengetahui nasikh mansukh sehingga tidak berpendapat berdasarkan dalil yang mansukh.
4.      Mengetahui bahasa arab.
5.      Mengetahui ilmu ushul fiqh yang merupakan ilmu terpenting bagi mujtahid karena membahas dasar dasar yang berkaitan dengan ijtihad.
Sedangkan menurut Khalaf dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqih menyatakan bahwa syarat mujtahid ada 5, antara lain :
1.      Menguasai bahasa arab dan segala aspeknya, seperti nahwu, sharaf, balaghah serta seluk beluknya.
2.      Mengetahui pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat alquran yang berhubungan dengan masalah hukum.
3.      Mengenal dan mengerti hadist nabi yang berhubungan dengan masalah hukum, baik qauliyah (perkataan), fi’liyah (perbuatan), dan taqririyah (ketetapan).
4.      Mengerti tentang ushul fiqh sebagai sarana untuk istinbath hokum.
5.      Mengenal ijma’ sehingga tidak memberikan fatwa yang bertentangan dengan ijma’ tersebut.
Abu-Zahra membagi mujtahid menjadi 4 tingkatan, yaitu: Mujtahid Mustaqil (independen), Mujtahid Muntasib, Mujtahid fih Al-madzab, dan Mujtahid fi at-Tarjih
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, H. Satria. 2012. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Hasan, M. Ali. 2003. Perbandingan Mazhab. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Khallaf, Abdul Wahab. 2003. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani
Rifa’i, Moh. 2003. Fiqh. Semarang: CV Wicaksana
Syafe’I, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia
Zahrah, Muhammad Abu. 2011. Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus


Tidak ada komentar:

Posting Komentar