MAKALAH
RANAH ATAU WILAYAH IJTIHAD
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Ushul Fiqh 2”
Dosen Pengampu: Khairun Nasih
Disusun Oleh:
Kelompok
10
Ulfatun Nazilah 120721100096
Maltufah 120721100033
Indah antiyani 120721100047
PROGRAM STUDY EKONOMI SYARI’AH 4A
FAKULTAS ILMU-ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
PERIODE 2014
KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia serta inayah-Nya,
sehingga kami dapat merasakan betapa indahnya alam semesta ini. Begitu pula
ribuan kata syukur tak lupa kami lantunkan kapada Rabbul Izzati karena dengan
nikmat kesehatan yang Dia berikan, kami dapat melaksanakan rutinitas kami
sehari-hari. Demikian pula dengan terlaksananya
makalah ini berjalan sesuai dengan kehendak-Nya.
Shalawat
serta salam semoga tetap tercurahkan pada pemuda sejati, pembawa risalah penuh
arti, dialah nabi kita nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman
jahiliyah menuju ke alam yang terang benderang seperti saat ini. Begitu pula
dengan diutusnya beliau ke muka bumi ini merupakan suatu keberkahan bagi umat
islam.
Dan
inilah tugas makalah yang telah kami susun, namun kami hanyalah seorang
mahasiswa yang masih dalam tahap pembelajaran yang kemungkinan sekali banyak
kesalahan dalam pembuatan makalah ini. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran untuk perbaikan kami kedepan.
Akhirnya
kami ucapkan kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu penyelesaian
makalah ini, khususnya kepada Bapak Khoirun Nasih, S.HI., M.HI selaku pengampu mata kuliah Ushul Fiqh 2.
Bangkalan, 1
Juni 2014
Kelompok 10
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I : PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
1.2.Rumusan Masalah
1.3.Tujuan
BAB II : PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Pentingnya Ijtihad
B.
Bidang atau wilayah Ijtihad
C.
Contoh-contoh Ijtihad
D.
Tingkatan, Macam-macam dan Syarat Mujtahid
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Hukum dalam masyarakat manapun adalah bertujuan untuk mengendalikan
masyarakat. Ia adalah sebuah sistem yang ditegakan terutama untuk melindungi
hak-hak individu maupun hak-hak masyarakat. Sistem hukum disetiap masyarakat
memilki sifat,karakter dan ruang lingkupnya sendiri. Sama halnya, islam
memiliki sistem hukum sendiri yang dikenal sebagai fiqh.
Hukum islam bukanlah hukum murni dalam pengertiaanya yang sempit.
islam mencakup seluruh bidang kehidupan-etika, keagamaan, politik, dan ekonomi.
Islam bersumber dari wahyu ilahi. Wahyu menentukan norma-norma dan konsep dasar
hukum islam serta dalam banyak hal merintis dobrakan terhadap adat dan sistem
hukum kesukuan arab pra islam.
Hendaklah dicatat bahwa terdapat perbedaan mendasar antara tujuan
dan ruang lingkup hukum dalam artian modern dan dalam artian Al-Qur’an. Hukum
dalam artian modern adalah aturan-aturan khusus yang mengatur permasalahn
sosial, ekonomi, dan politik dari suatu bangsa, yang disusun oleh suatu badan
berwenang yang kompeten dan diberlakukan dengan sanksi-sanksi dari negara.
Aturan-aturan prilaku moral individu tidak termasuk dalam lingkup
hukum modern, meskipun aturan prilaku tersebut ada dalam bentuk adat istiadat
dan prilaku sosial, dan sampai sejauh tertentu dipaksakan berlakunya oleh
polisi susila dan dengan menggunakan opini publik semata-mata.
Dalam menentukan atau menetapkan hukum-hukum ajaran Islam,
para mujtahid telah berpegang teguh kepada sumber-sumber ajaran Islam.
Sumber pokok ajaran Islam adalah Al-Qur’an yang memberi sinar pembentukan hukum
Islam sampai akhir zaman. Disamping itu terdapat as-Sunnah sebagai penjelas
Al-Qur’an terhadap hal-hal yang masih bersifat umum.
1.2.Rumusan Masalah
a.
Apakah pengertian
dan pentingnya ijtihad ?
b.
Apa saja bidang
atau wilayah ijtihad?
c.
Apa contoh-contoh
Ijtihad?
d.
Apa saja tingkatan,
macam-macam, dan syarat-syarat mujtahid?
1.3.Tujuan
Penulisan
a.
Untuk
mengetahui pengertian dan pentingnya ijtihad
b.
Untuk
mengetahui apa saja bidang atau wilayah ijtihad
c.
Untuk
mengetahui apa contoh-contoh ijtihad
d.
Untuk
mengetahui apa saja tingkatan, macam-macam, dan syarat-syarat mujtahid
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan
Pentingnya Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata ijtihada yajtahidu ijtihadan
yang berarti mengerahkan segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurut
bahasa, ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. Sedangkan
menurut istilah pengertian ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan
pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hokum. Oleh karena itu
tidak disebut ijtihad apabila tidak ada unsure kesulitan didalam suatu
pekerjaan. Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap
kemampuan untuk mencari syariah melalui metode tertentu. Ijtihad dipandang
sebagai sumber hokum islam yang ketiga setelah Al-qur’an dan hadist, serta
turut memegang fungsi penting dalam penetapan hokum islam. Orang yang melakukan
ijtihad tersebut dinamakan mujtahid.
Fungsi ijtihad adalah untuk mendapatkan solusi hokum jika ada suatu
masalah yang harus diterapkan hukumnya, tetapi tidak dijumpai di dalam
Al-Qur’an dan hadist. Jadi, jika dilihat dari segi fungsi ijtihad tersebut,
maka ijtihad mendapatkan kedudukan dan legalitas dalam islam. Meskipun
demikian, ijtihad tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya orang
yang memenuhi syarat yang boleh berijtihad.
Jika kejadian yang hendak diketahui hokum syara’nya itu telah
ditunjukkan oleh dalil yang sharih (jelas) dan petunjuk serta maknanya adalah
pasti, maka tidak ada peluang untuk ijtihad. Yang wajib adalah melaksanakan
pemahaman yang ditunjukkan nashnya. Karena selama dalil itu pasti datangnya,
maka ketetapan dan keluarnya dari Allah dan Rasul-NYA bukan menjadi objek
pembahasan dan sasaran pengerahan daya. Selama dalil itu pasti maknanya, maka
petunjuk atas makna dan pengambillan hokum darinya bukan sasaran pembahasan dan
ijtihad.
Dari hal diatas perkara atau kejadian yang belum diketahui hokum
syara’nya secara pasti maka disinilah pentingnya melakukan ijtihad karena
ijtihad sebagai jalan untuk mengetahui hokum pada permasalahan yang tidak jelas
hukumnnya dalam nash. Hal ini menjadi peluang tersendiri bagi ijtihad untuk
berperan demi kemaslahatan ummat.
Ijtihad mempunyai peranan yang penting dalam kaitannya pengembangan
hukum Islam. Sebab, dalam kenyataannya di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat
Muhkamat dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran, belum terang). Dari
sinilah, sehingga ajaran Islam selalu menganjurkan agar manusia menggunakan
akalnya. Apalagi agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluruh
alam) membuat kesediaannya dalam menerima perkembangan yang dialami umat
manusia. Sehingga secara pasti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam setiap
waktu dan tempat. Maka peranan ijtihad semakin penting untuk membuktikan
keluasan dan keluwesan hukum Islam.
Para
ulama menetapkan bahwa hukum melakukan ijtihad terbagi menjadi 3 yaitu :
1.
Wajib ‘ain,
bagi orang yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Dan
dia khawatir peristiwa itu akan lenyap tanpa ada kepastian hukumnya.
2.
Wajib kifayah,
bagi orang yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang tidak
dikhawatirkan lenyap peristiwa itu. Sedangkan selain dia masih terdapat
mujtahid-mujtahid lainnya.
3.
Sunnat, apabila
melakukan ijtihad mengenai maslah- masalah yang belum atau tidak terjadi.
Urgensi
upaya ijtihad dapat dilihat dari fungsi ijtihad itu sendiri,yaitu :
- Fungsi al ruju’(kembali),
yaitu mengembalikan ajaran islam
kepada alquran dan assunnah dari segala interpretasi yang mungkin kurang
relevan.
2.
Fungsi al ihya’
(kehidupan), yaitu menghidupkan kembali bagian bagian dari nilai dan semangat
islam agar mampu menjawab tantangan zaman.
3.
Fungsi al
inabah (pembenahan), yaitu memenuhi ajaran ajaran islam yang telah diijtihadi oleh
ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman dan
kondisi yang dihadapi.
Mengingat
betapa pentingnya ijtihad, Ulama menunjuk ijtihad sebagai sebagai salah satu
hukum islam berdasarkan Firman Allah dalam surat An Nisa :59.
B.
Bidang atau
Wilayah Ijtihad
Menurut
ulama salaf, bidang atau wilayah ijtihad terbatas pada masalah fiqhiyah. Namun
pada wilayah tersebut telah berkembang pada berbagai aspek keislaman, meliputi
: Akidah, Filsafat, Tasawwuf dan Fiqh. Itu artinya tidak semua bidang bisa
di-ijtihadkan.
Hal-hal
yang tidak boleh di ijtihadkan antara lain :
- Masalah Qathiyah adalah masalah yang
sudah ditetapkan hukumnya dengan dalil dalil yang pasti, baik melalui
dalil naqli maupun dalil aqli. Hukum ini bersifat muthlaq dan sudah pasti
diberlakukan sepanjang masa, sehingga tak mungkin terjadi adanya perubahan
dan modifikasi serta tak ada peluang juga dalam mengistinbathksn hukum
bagi para mujtahid. Contohnya,
kewajiban seperti shalat, zakat, puasa, haji. Untuk kewajiban tersebut,
alquran telah mengaturnya dengan dalil yang sharih (tegas).
- Masalah yang telah dijinakkan
oleh ulama mujtahid dai suatu massa demikian pula lapangan hukum yang
bersifat ta’abbudi (ghairu ma’qulil makna) dimana kualitas illat hukumnya
tidak dapat dicerna dan diketahui oleh akal mujtahid. Contohnya, setiap
pemberian 1/6 pusaka untuk nenek.
Adapun
masalah-masalah yang dapat diijtihadkan, antara lain :
1.
Masalah-masalah
yang ditunjuk oleh nash yang zhanniyatul wurud (kemunculannya
perlu penelitian lebih lanjut) dan zhanniyatud dilalah (makna dan
ketetapan hukumnya tidak jelas dan tegas). Masalah Zhanniyah terbagi menjadi 3
macam, yaitu:
a. Hasil
analisa para theology Yaitu maslah yang tidak berkaitan dengan akidah keimanan
seseorang. Karena hal itu membutuhkan pemikiran. Dan ilmu yang membutuhkan
pemikiran bukanlah bidang ijtihad.
b. Aspek
amaliyah yang zhanni Yaitu masalah yang belum ditentukan kadar dan kriterianya
dalam nash. Contohnya : apakah batas batas menyusui yang dapat menimbulkan
mahram.
c. Sebagian
kaidah-kaidah zhanni Yaitu masalah qiyas. Sebagian ulama memeganginya karena
qiyas merupakan norma hukum tersendiri.
2. Masalah-masalah
yang tidak ada nashnya sama sekali. Sedangkan bagi masalah yang telah
ditetapkan oleh dalil sharih (jelas dan tegas) yang
qat’iyyatud
wurud (kemunculannya tidak perlu penelitian lebih lanjut) dan qath’iyyatud
dilalah (makna dan ketetapan hukumnya sudah jelas dan tegas), maka
tidak ada jalan untuk diijtihadi. Kita berkewajiban melaksanakan petunjuk nash
tersebut. Misalnya jumlah hukum cambuk seratus kali dalam firman Allah:
اﻟزاﻧﻴﺔﻮاﻟزاﻧﲕﻓﺄﺟﻠﺪﻮاﻛﻞﻮاﺣﺪﻣﻨﻬﻤﺎﻣﺎﺋﺔﺟﻠﺪة
Ruang lingkup berijtihad menurut Muhammad Al-baqir adalah
sebagaimana setiap ketentuan yang berlaku dikalangan masyarakat beradab,
memilki aturan permainan, demikian pula soal ijtihad dan ketentuan hukum
agamapun memiliki aturan permainan. Oleh para ulama yang kompoten, aturan
permainan tersebut telah disimpulkan dari prinsip-prinsip umum Al-Qur’an dan
Al-Sunnah serta praktek para sahabat dan tabi’in (ushulil fiqh).
Telah disepakati bahwa hukum-hukum islam yang berkaitan dengan
ibadah maupun muamalah, harus berdasarkan nash atau dalil Al-Qur’an atau
Sunah Nabi SAW apabila tidak dijumpai dalam kedua-duanya, atau dalil yang ada
dianggap kurang jelas, maka digunakanlah ijtihad untuk menentukan hukumnya,
dengan tidak meninngalkan prinsip-prinsip umum yang dapat diketahui dari
ayat-ayat ataupun hadist-hadist lainnya.
Dari uraian tersebut ditariklah suatu kesimpulan yang merupakan
salah satu kaidah yang disepakati oleh para ahli ushulul fiqh: “ tidak
diperkenankan berijtihad dalam hukum-hukum yang berdasarkan nash qhat’iy”.
Berdasarkan hal itu, apabila suatu nash telah diyakini sumbernya dari
firman Allah atau sunnah Rasulullah SAW dan juga telah diyakini makna dan
sasaran yang ditujunya, maka tidak ada lagi ruang untuk berijtihad padanya.
Termasuk dalam hal ini, ketepan-ketetapan syariat yang telah menjadi
kesepakatan umum para ulama besar terdahulu maupun yang kemudian, seperti
tentang kewajiban lima shlat fardhu dalam sehari semalam, atau tentang
wanita-wanita yang haram dinikahi disebabkan adanya hubungn kekeluargaan
tertentu, atau tentang kadar pembagian harta warisan bagi masing-masing ahli
waris, atau tentang diharamkannya makan daging babi atau minum khamr,
dan lain sebagainya seperti tersbut dalam Al-Qur’an dengan jelas dan pasti .
Sebaliknya, apabila nash yang mendasari suatu hukum masih
bersifat zhanniy - yakni mengandung unsur keraguan dan kesamaran,
baik berkaitan dengan arah sumbernya ataupun makna dan tujuannya – maka
disinilah terdapat ruang untuk berijtihad. Keraguan itu bisa datang dari arah sanad
para rawi sebuah hadist, sehingga harus diteliti terlebih dahulu
mengenai kelayakan mereka satu perstu dalam periwayatannya sebelum dapat
ditetapkan apakah hadist yang mereka riwayatkan itu bisa dijadikan dalilm atau
tidak. Adakalanya juga, suatu hadist telah diyakini keshahihan sumbernya, namun
susunan kata-katanya ataupun materinya masih menimbulkan keraguan dan ketidak
pastian dalam memahami makna dan tujuannya. Mungkin pula bersama nash
itu terdapat syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi sebelum dapat dijadikan
dalil.
Ada pun
peristiwa-peristiwa yang masuk dalam wilayah ijtihad adalah:
1.
Peristiwa-peristiwa yang ditunjuk oleh nas (naṣ)
yang ẓannī al-wurūd (hadis-hadis āhād) dan ẓannī al-dalālah (nas
Alquran yang masih dapat ditafsirkan atau ditakwilkan).
2.
Peristiwa-peristiwa yang tidak ada nasnya sama
sekali. Peristiwa-peristiwa semacam ini dapat diijtihadkan dengan leluasa.
Peristiwa-peristiwa yang suadah ada nasnya
yang qaṭ’iy al-ṡubūt dan qaṭ’iy al-dalālah. Yang terakhir ini
khusus dijalankan oleh ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb r.a. Beliau meneliti nas-nas
tersebut tentang tujuan al-Syāri’ dalam menetapkan hukum, kemudian menerapkan
ijtihad padanya, sekalipun sudah memiliki nas yang qaṭ’iy.
C.
Contoh-contoh Ijtihad
Setelah
memahami tulisan diatas, kami akan mengulas sedikit tentang contoh-contoh
ijtihad.
1. Perempuan dan laki-laki yang berzina
cambuklah masing-masing dari keduanya seratus kali. (QS. An-Nur:2). Sebab
sebab yang menimbulkan Perbedaan Hasil Ijtihad, dikarenakan beberapa sebab. Hasan Al-Banna dalam risalahnya
berjudul Da’watuna telah menyebutkan beberapa sebab, antara lain:
a.
Perbedaan
kekuatan akal dalam melakukan istinbath, perbedaan dalam memahami dalil-dalil,
perbedaan dalam menyelami kandungan2 makna, dan dalam menghubungkan antara
hakikat yang satu dengan hakikat yang lain.
- Adanya perbedaan banyak dan
sedikitnya ilmu seseorang. Dalam artian,ada ilmu yang telah sampai kepada
seseorang, namun tidak sampai kepada orang lain, orang ini keilmuannya
begini dan orang itu keilmuannya begitu.
- Perbedaan kondisi dan
lingkungan. Karenanya, kita melihat fikih penduduk Irak berbeda dengan
fikih penduduk orang Hijaz. Bahkan kita menyaksikan bahwa pendapat seorang
ahli fikih yang sama pada kondisi dan lingkungan tertentu, dapat berbeda
pendapatnya pada kondisi dan lingkungan yang lain. Kita bisa melihat
bagaimana Imam Syafi’i berfatwa dengan menggunakan qaul qadiim (hasil
ijtihadnya sebelum masuk mesir di Irak) dan berfatwa dengan menggunakan
qaul jadiid (hasil ijtihad setelah masuk mesir). Padahal, pada kedua
pendapat tersebut sama-sama ia ambil dari konsep dan pandangan yang
jelas dan benar menurutnya. Hal ini tidak berarti ia menyimpangkan
kebenaran di dalam dua pendapatnya tersebut.
- Perbedaan kemantapan hati terhadap
suatu riwayat ketika menerimanya. Kita menemukan seorang perawi menurut
seorang imam adalah tsiqah (terpercaya). Karenanya, imam tersebut jiwanya
merasa tenang, dan dirinya merasa baik. Maka,ia merasa baik mengambil
riwayat darinya. Dan menurut imam yang lain perawi itu cacat, setelah
diketahui dari keadaanya (yang membuat cacat)
Perbedaan dalam menentukan kualitas indikasi dalil. Misalnya, imam
ini berpendapat bahwa praktek yang dilakukan orang-orang didahulukan atas
hadist ahad, namun imam yang lain tidak setuju dengan hal tersebut. Atau imam
ini mengambil dan mengamalkan hadist mursal, tapi imam yang lain tidak.
2.
Dalam wahana
sufi ke-64
Pada masa Sayyidina Umar bin Khatab Ra, saat beliau mengambil
keputusan, yang ketika itu dianggap oleh sahabat yang lain sangat
kontroversial. Ada seorang pencuri yang ditangkap, tetapi oleh Sayyidina
Umar bin Khatab Ra tidak dipotong tangannya, hal inilah yang membuat para
sahabat yang lain mempertanyakan keputusannya.
Para Sahabat : “lho, kenapa? padahal ayatnya sudah jelas harus
dipotong tangannya” Sayyidina Umar bin Khatab Ra: “kita tanya dulu, dia mencuri
karena apa? ”Kemudian pencurinya ditanya, “Hai Pencuri, kamu mencuri karena
apa?” Pencuri : “saya kelaparan
tidak bisa makan tuan Khalifah. Saya tidak punya makanan dan akhirnya mencuri
untuk makan”. Sayyidina Umar bin Khatab Ra balik bertanya ke para sahabat
: “menurut kalian sebenarnya hukum syariah ditegakkan untuk apa sih ? ”Para
Sahabat : “Ya untuk menciptakan keadilan ”Sayyidina Umar bin Khatab Ra : “apakah
adil saya memotong tangan pencuri yang mencuri karena kelaparan? ”Para Sahabat
: “Ya tidak adil” Sayyidina Umar bin Khatab Ra : “Ya sudah, karena itu tidak
usah dipotong tangannya”
Inilah yang dinamakan tujuan utama perintah Allah itu untuk apa. Maka
dari itu ada wilayah-wilayah ijtihadiyah. Sedangkan wilayah non ijtihad yaitu
Iman yang berada di wilayah Qolbu. Misal bahwa Allah itu Esa, itu tidak
ada wilayah ijtihad. Tidak ada satupun orang yang akan mempertanyakan Ke-MAHA
ESA-an Allah Swt."
D.
Tingkatan,
Macam-Macam, dan Syarat-Syarat Mujtahid
Ø Abu-Zahra
membagi mujtahid menjadi 4 tingkatan, yaitu:
1. Mujtahid
Mustaqil (independen) adalah tingkatan tertinggi, oleh abu Zahra disebut juga
sebagai Al-mujtahid fi Al-Syar’i, atau disebut juga mujtahid mutlaq.
2. Mujtahid
Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam masalah ushul fiqh, meskipun dari segi
kemampuannya ia mampu merumuskannya, namun tetap berpegang kepada ushul fiqh
salah seorang imam mujtahid mustaqil, seperti berpegang kepada ushul fiqh abu
hanifah.
3. Mujtahid
fih Al-madzab, yaitu tingkatan mujtahid yang dalam ushul fiqh, dan furu’
bertaqlid kepada imam mujtahid tertentu (ijtihad dengan meng-istinbat-kan hokum
kepada permasalahan yang tidak ditemukan dalam buku madzab imam mujtahid yang
jadi panutan).
4. Mujtahid
fi at-Tarjih, yaitu mujtahid yang kegiatannya bukan meng-istinbat-kan hokum
tetapi terbatas memperbandingkan berbagai madzhab atau pendapat, mempunyai
kemampuan untuk mentarjih atau memilih salah satu pendapat terkuat dari
pendapat-pendapat yang ada, dengan memakai metode tarjih yang telah dirumuskan
oleh ulama’-ulama’ mujtahid sebelumnya.
Ø Macam-macam
ijtihad
Ijtihad
dilihat dari jumlah pelakunya dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Ijtihad
fardi. Menurut al-Tayyib Khuderi al-Sayyid, ijtihad fardi adalah ijtihad yang dilakukan
oleh perorangan atau hanya beberapa orang mujtahid.
2. Ijtihad
jama’I yaitu apa yang dikenal dengan ijma’ dalam kitab-kitab ushul fiqh yaitu
kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW.setelah Rasulullah wafat dalam
masalah tertentu.
Ø Syarat-Syarat
Mujtahid
Menurut
Muhammad bin Ali bin Muhammad al Syaukani, syarat-syarat Mujtahid ada 5 antara
lain :
1. Mengetahui
al quran dan as sunah yang bertalian dengan masalah masalah hukum.
2. Mengetahui
ijma’ sehingga tidak berpendapat yang menyalahi ijma’ ulama.
3. Mengetahui
nasikh mansukh sehingga tidak berpendapat berdasarkan dalil yang mansukh
4. Mengetahui
bahasa arab.
5. Mengetahui
ilmu ushul fiqh yang merupakan ilmu terpenting bagi mujtahid karena membahas
dasar dasar yang berkaitan dengan ijtihad.
Ø Abu-Zahra
membagi mujtahid menjadi 4 tingkatan, yaitu:
1. Mujtahid
Mustaqil (independen) adalah tingkatan tertinggi, oleh abu Zahra disebut juga
sebagai Al-mujtahid fi Al-Syar’i, atau disebut juga mujtahid mutlaq.
2. Mujtahid
Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam masalah ushul fiqh, meskipun dari segi
kemampuannya ia mampu merumuskannya, namun tetap berpegang kepada ushul fiqh
salah seorang imam mujtahid mustaqil, seperti berpegang kepada ushul fiqh abu
hanifah.
3. Mujtahid
fih Al-madzab, yaitu tingkatan mujtahid yang dalam ushul fiqh, dan furu’
bertaqlid kepada imam mujtahid tertentu (ijtihad dengan meng-istinbat-kan hokum
kepada permasalahan yang tidak ditemukan dalam buku madzab imam mujtahid yang
jadi panutan).
4. Mujtahid
fi at-Tarjih, yaitu mujtahid yang kegiatannya bukan meng-istinbat-kan hokum
tetapi terbatas memperbandingkan berbagai madzhab atau pendapat, mempunyai
kemampuan untuk mentarjih atau memilih salah satu pendapat terkuat dari
pendapat-pendapat yang ada, dengan memakai metode tarjih yang telah dirumuskan
oleh ulama’-ulama’ mujtahid sebelumnya.
Sedangkan
menurut Khalaf dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqih menyatakan bahwa syarat mujtahid
ada 5, antara lain :
1. Menguasai
bahasa arab dan segala aspeknya, seperti nahwu, sharaf, balaghah serta seluk
beluknya.
2. Mengetahui
pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat alquran yang berhubungan dengan masalah
hukum.
3. Mengenal
dan mengerti hadist nabi yang berhubungan dengan masalah hukum, baik qauliyah
(perkataan), fi’liyah (perbuatan), dan taqririyah (ketetapan).
4. Mengerti
tentang ushul fiqh sebagai sarana untuk istinbath hokum.
5. Mengenal
ijma’ sehingga tidak memberikan fatwa yang bertentangan dengan ijma’ tersebut.
Syarat-syarat umum yang di sepakati oleh para ulama menurut Dr.
Yusuf Qordhowi yaitu:
1.
Harus
mengetahui Al-Qur’ab dan ulumul Qur’an
2.
Harus
mengetahui sebab-sebab turunnya ayat al-qur’an
3.
Mengetahui
sepenuhnya sejarah pengumpulan atau penyusunan al-qur’an
4.
Mengetahui
sepenuhnya ayat-ayat makiyah dan madaniyah, nasikh dan mansukh, dan mutasyabih
5.
Menguasai ilmu
tafsir diantaranya yaitu:
a.
Mengetahui
tentang pemahaman al-qur’an
b.
Mengetahui
as-sunah dan al-hadist
c.
Mengetahui
bahasa arab
d.
Mengetahui
tema-tema yang sudah merupakan ijma’
e.
Mengetahui usul
fiqih
f.
Mengenal
manusia dan alam sekitarnya
g.
Mengetahui ilmu
ushuluddin
h.
Mengetahui ilmu
mantiq
i.
Mengetahui
cabang-cabang fiqih
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa pengertian ijtihad adalah pengarahan segala
kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Perkembangan ijtihad
dikalangan kaum muslimin berkenaan dengan hukum-hukum syariat, secara singkat
dapat dibedakan dengan cara penerapan dan penyimpulannya.
Bahwasanya ruang lingkup berijtihad pada dasarnya disimpulkan dari
prinsip-prinsip umum Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
1.
Ijtihad
merupakan sumber hukum islam setelah Alquran dan Assunah. Yang merupakan sebuah
usaha penafsiran dalil-dalil tersebut untuk mengetahui hukum islam yang masih
membutuhkan penafsiran lebih mendalam
2.
Ijtihad tidak
bisa dilakukan oleh semua orang. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi
oleh seseorang sehingga dia bisa menjadi seorang mujtahid.
3.
Dalam
pelaksanaannya, seorang mujtahid dapat digolongkan menjadi beberapa golongan-
golongan atau kelompok- kelompok.
4.
Ijtihad tidak
bisa dilakukan dalam seluruh aspek agama, melainkan hanya pada hal-hal yang
bersifat amaliyah dan yang membutuhkan penafsiran lebih rinci mengenai
dalil-dalil muthlaq. Sedangkan dalil-dalil yang sudah tidak membutuhkan
penafsiran lagi tidak bisa dijadikan objek dalam ijtihad.
5.
Dapat dijumpai
perbedaan hasil ijtihad. Hal itu dikarenakan oleh beberapa faktor.
Faktor-faktor tersebut bisa berasal dari mujtahidnya atau subjeknya dan ada
pula dikarenakan oleh faktor sekitarnya.
Ijtihad
dilihat dari jumlah pelakunya dibagi menjadi dua, yaitu Ijtihad fardi dan Ijtihad
jama’i.
Syarat-syarat
mujtahid menurut Muhammad bin Ali bin Muhammad al Syaukani, syarat-syarat
Mujtahid ada 5 antara lain :
1. Mengetahui
al quran dan as sunah yang bertalian dengan masalah masalah hukum.
2. Mengetahui
ijma’ sehingga tidak berpendapat yang menyalahi ijma’ ulama.
3. Mengetahui
nasikh mansukh sehingga tidak berpendapat berdasarkan dalil yang mansukh.
4. Mengetahui
bahasa arab.
5. Mengetahui
ilmu ushul fiqh yang merupakan ilmu terpenting bagi mujtahid karena membahas
dasar dasar yang berkaitan dengan ijtihad.
Sedangkan
menurut Khalaf dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqih menyatakan bahwa syarat mujtahid
ada 5, antara lain :
1. Menguasai
bahasa arab dan segala aspeknya, seperti nahwu, sharaf, balaghah serta seluk
beluknya.
2. Mengetahui
pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat alquran yang berhubungan dengan masalah
hukum.
3. Mengenal
dan mengerti hadist nabi yang berhubungan dengan masalah hukum, baik qauliyah
(perkataan), fi’liyah (perbuatan), dan taqririyah (ketetapan).
4. Mengerti
tentang ushul fiqh sebagai sarana untuk istinbath hokum.
5. Mengenal
ijma’ sehingga tidak memberikan fatwa yang bertentangan dengan ijma’ tersebut.
Abu-Zahra membagi mujtahid menjadi 4 tingkatan,
yaitu: Mujtahid Mustaqil (independen), Mujtahid Muntasib, Mujtahid fih
Al-madzab, dan Mujtahid fi at-Tarjih
DAFTAR
PUSTAKA
Effendi, H. Satria. 2012. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Hasan,
M. Ali. 2003. Perbandingan Mazhab. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Khallaf, Abdul Wahab. 2003. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta:
Pustaka Amani
Rifa’i,
Moh. 2003.
Fiqh.
Semarang: CV Wicaksana
Syafe’I, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka
Setia
Zahrah, Muhammad Abu. 2011. Ushul Fiqih. Jakarta: PT.
Pustaka Firdaus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar